Menghitung Manfaat dan Mudarat Puasa Ramadan Saat Pandemi dengan Puasa di luar Bulan Ramadan yang Bebas Pendemi

Menghitung Manfaat dan Mudarat Puasa Ramadan Saat Pandemi dengan Puasa di luar Bulan Ramadan yang Bebas Pendemi

i.a.w (Ketua Tim Penyusun Kurikulum Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah al-Hadid, Yayasan al-Kahfi)

Menghitung adalah upaya tertinggi dalam memahami realitas, alam semesta yang bersifat empiris, baik mikro maupun makro sering terpecahkan dengan hitungan matematis. Semua peraturan yang bersifat teknis atau yang berstatus wajib, sunah, makruh, bersumber dari hitungan nilai baik dan buruk. Dan nilai itu bersumber dari hitungan manfaat dan mudarat riil di lapangan. Tidak terkecuali hukum-hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunah. Allah sering secara tidak langsung menyampaikan paradigma yang demikian itu, semisal pada surat Al-Baqarah ayat 219 yang berbunyi, “mereka menanyakan tentang khamr dan judi, katakanlah pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosanya (kerusakan yang ditimbulkan) lebih besar daripada manfaatnya, … demikian Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu merenungkan (dengan seksama)".

Pada perilaku minum khamr dan bermain judi, Allah menyatakan kerusakan yang akan ditimbulkan keduanya lebih besar dari pada manfaatnya bagi kehidupan manusia. Maka bisa kita pastikan bahwa kesimpulan yang demikian itu berpijak pada hitungan riil matematis di lapangan sosial, lewat berbagai aspek, jangka pendek dan panjang. Allah tidak merincinya secara detail, hal itu diserahkan kepada umat islam lewat perintah penggunaan akal. Kemudian nilai khamr menjadi buruk, dan pada tataran fikih bersifat wajib untuk ditinggalkan. Ayat ini juga menjadi petunjuk bagi umat islam supaya menggunakan metode di atas untuk menilai atau mengukur suatu perbuatan, positif atau negatif, merugikan atau menguntungkan, haram atau halal.

Dari petunjuk tersebut akan saya jadikan pijakan untuk menghitung mana yang lebih menimbulkan kerusakan bagi kehidupan manusia, “berpuasa ramadan di masa pandemi covid-19 (A) atau berpuasa ramadan di luar bulan ramadan yang bebas pandemi covid-19 (B)“. Saya tidak menghitung dan membandingkan aspek kemanfaatan pada perbuatan yang memiliki kesamaan seperti menjalankan ibadah puasa, hanya berbeda pada bulannya, hal itu tidak signifikan. Dan pula keduanya sama-sama dibenarkan oleh syar’i, pada artikel ke-2 saya sudah banyak membicarakan tentang kemanfaatan menunda puasa sacara kolektif. Disini lebih memfokuskan pada kemudaratan atau kerusakan yang ditimbulkan pada kehidupan manusia. Analisa perbandingan ini mengasumsikan, puasa dapat menurunkan imunitas (artikel 3) dan memudahkan virus menyerang tubuh manusia.

Puasa (A), karena berada di tengah pandemi, pasti punya potensi tertular covid 19, sakit, dalam isolasi, bisa sembuh atau berakibat kematian serta menularkan pada keluarga dan orang lain. Misal yang terinfeksi berusia 40 tahun, memiliki keluarga 4 orang, penanggung jawab ekonomi keluarga, hidup di tengah perumahan dan bekerja pada lingkungan perusahaan. Secara karir bisa sebagai ilmuwan baik sosial, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Bila sampai meninggal dunia maka akan rugi waktu produktif selama 30 tahun, asumsinya usia harapan hidup bisa hingga 70 tahun. Kerugian finansial (asumsi pendapatan bisa 10juta), 10 juta x 12 x 30 = 3.6 miliar, hal itu pasti berpengaruh terhadap kehidupan keluarga yang ditinggalkan. Tidak jarang anak-anak mereka harus memutus sekolah/kuliah, jika langsung beralih bekerja, tentu belum memiliki kompetensi, cita-cita seketika menjadi gagal, hidup menjadi sangat berat. Bila mereka seorang ilmuwan, terdapat potensi 15–20 karya ilmiah tidak dapat dibuat. Mungkin ratusan atau ribuan orang yang membutuhkan karya tersebut, menjadi tidak memiliki pegangan kuat. Atau jika ia seorang dosen atau seorang pengusaha yang banyak membantu orang-orang yang dalam kesulitan, publik akan menangisinya. 30 tahun potensi yang ada tidak bisa digunakan untuk beribadah, mengabdikan diri kepada Allah untuk bekal atau tabungan akherat. Bila sampai menularkan kepada keluarga, teman pergaulan dan rekanan kerja, ini seperti pembunuhan berantai. Secara fikih apakah mereka ini tidak tergolong melakukan pembunuhan karena kelalaian? Suatu misal orang diwajibkan memakai masker supaya tidak menularkan virus pada orang lain karena dapat berakibat fatal (kematian), lalu dia melalaikan hal itu, kemudian menularkan dan berakibat kematian, apakah ini tidak bisa dikategorikan pembunuhan karena kelalaian? Mungkin sekarang hal seperti ini masih kontroversial. Tapi kita tidak mengetahui, bila nanti pada sidang penghisaban di akherat hal itu masuk kategori pembunuhan, berapa besarnya dosa yang kita tanam?

Daya kerusakan kehidupan yang ditimbulkan oleh pandemi, bisa kita lihat pada: luasan negara yang tertular; jumlah yang terinfeksi dan korban kematian; penderitaan ekonomi pada rakyat menengah ke bawah karena tidak dapat bekerja, jika memaksakan bekerjapun dengan resiko tertular; dana yang digelontorkan oleh masing-masing negara hampir puluhan dan ratusan triliun, bahkan ada negara yang harus mengambil jalan menambah hutang, yang hal ini tentu akan terjadi penurunan tingkat kemajuan, dari negara maju menjadi berkembang, dari berkembang menjadi negara terbelakang atau miskin; bahkan sampai mengeluarkan kebijakan membuat penjara kota, seperti di Italia, Wuhan dan sebagainya; mengeluarkan ribuan orang-orang yang sedang di penjara, yang bahkan di Indonesia, seperti disampaikan di ILC, perkirakan bisa sampai 30 ribu narapidana/tahanan yang dikeluarkan, kecuali narkoba, koruptor dan teroris; dan tidak sedikit tenaga medis yang meninggal dunia. 

Belum cukupkah fenomena-fenomena itu untuk menyimpulkan demikian dahsyat kerusakan kehidupan manusia yang diakibatkan oleh pandemi covid-19? Sekiranya dipandang cukup maka faktor-faktor yang dipandang memiliki potensi memudahkan penularan harus dikategorikan sebagai perbuatan yang bernilai negatif, dan secara fikih bersifat wajib untuk ditinggalkan atau haram dilakukan. Sekarang yang sudah dilakukan oleh banyak negara islam yaitu: a) melarang (haram) sholat jum’at, padahal sebelumnya bersikap wajib; b) melarang umrah dan haji, sebelumnya wajib bagi yang mampu; c) melarang sholat terawih, idul fitri, sebelumnya bersifat sunah sekarang menjadi haram; d) membolehkan tenaga medis tidak berpuasa dan sholat boleh tanpa wudhu dan tayamum, dimana sebelumnya juga bersikap wajib sekarang menjadi haram; e) beberapa narapidana/tahanan yang sebelumnya wajib ditahan/dipenjara sekarang justru harus dilepaskan (haram ditahan).

Sebenarnya dengan logika sederhana bisa disimpulkan puasa yang bersikap wajib dapat menjadi haram atau dilarang ketika terjadi pandemi, sebagaimana para ulama atau negara menghalalkan yang sebelumnya diharamkan, mengharamkan yang sebelumnya diwajibkan untuk dilakukan (fatwa diatas). 

Kadang yang menyedihkan adalah melihat cara mereka memandang. Kita tidak meninggalkan puasa tapi mengganti dengan hari lain di luar ramadan. Atau juga tidak mengganti puasa dengan fidiah yang secara fikih juga tidak dilarang, kenapa harus keberatan mengganti puasa dengan resiko demikian besar. Menurut saya mungkin mereka: kurang memahami filosofi atau anatomi fikih islam; kurang teliti memandang fenomena kemudaratan atau rumusan pemecahan masalah; atau memiliki masalah psikologis, ekonomi atau politik. 

Puasa model (B) karena tidak berada dalam kondisi pandemi, pasti terhindar dari kerusakan sosial yang ditimbulkan pandemi, mereka berpuasa dengan perasaan tenang, akan lebih baik jika dilakukan secara kolektif, suasana dan ibadah-ibadah ramadan dapat dilaksanakan seperti bulan ramadan. Jika dilakukan antar personal, memang cukup berat khususnya pada aspek manajemen dan psikologis karena berpuasa di tengah orang yang tidak berpuasa, harus dilakukan selama 30 hari. Tentu dibutuhkan ketahanan dan kesabaran, sebab kalau gagal akan mendapatkan dosa melalaikan kewajiban puasa ramadan. Tapi hal itu dapat diringankan dengan berpuasa kolektif yang bersifat lokal, sebatas pada perusahaan, diberikan ceramah sebelum berbuka dan/atau berbuka bersama. 

Dari perbandingan puasa model (A) dan (B), dilihat dari aspek kerusakan kehidupan sosial yang ditimbulkan, maka kedudukan nilai maka puasa (B) lebih baik dibandingkan (A). Bahkan model (A) seharusnya bisa menjadi haram (dilarang) tapi ini sebuah pemikiran, siapapun boleh menerima atau menolak.


versi bahasa inggris di sini


bagian pertama: Hukum Puasa Ramadan Pada Masa Pandemi Covid-19
bagian kedua: Mengganti Puasa Ramadan Secara Kolektif
bagian ketiga: Seberapa Daya Tahan Puasa Ramadan Menghadapi Serangan Corona
bagian keempat : Apakah Berpuasa Lebih Baik Daripada Menerima Dispensasi?


Report Page