Hukum Puasa Ramadan Pada Masa Pandemi Covid-19

Hukum Puasa Ramadan Pada Masa Pandemi Covid-19

i.a.w (Ketua Tim Penyusun Kurikulum Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah al-Hadid, Yayasan al-Kahfi)

Menjelang akhir April nanti, umat Islam akan menjalankan kewajiban berpuasa, namun pada saat ini telah terjadi pandemi virus Corona, pemerintah menetapkan masa darurat bencana wabah virus Corona sampai tanggal 29 Mei 2020. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah umat Islam masih tetap berkewajiban menjalankan puasa sebagaimana tahun sebelumnya? Dimana puasa dipandang menurunkan imunitas tubuh, dan menjadi rawan atau sangat berbahaya jika terinfeksi virus Corona. Atau apakah diperlukan syarat detail seperti pelaksanaan sholat Jumat saat ini, yang mana jamaah diharuskan memakai masker dengan batasan jarak sekira 2 meter antar orang dan lain-lain. Atau apakah waktu kewajiban berpuasa diganti dengan hari lain, misal setelah masa pandemi berakhir. Menurut pendapat saya, lebih utama alternatif ke-dua, yaitu umat Islam tidak perlu berpuasa di bulan Ramadan, nanti setelah masa pandemi berakhir, umat Islam berkewajiban menjalankan puasa, lebih diprioritaskan bagi mereka yang masih terikat belajar, kerja, dan pengabdian sosial di luar rumah. Ada beberapa pendasaran antara lain sebagai berikut.

Pertama

Tiap-tiap kewajiban pada perintah Allah, baik untuk melaksanakan atau meninggalkan perbuatan, senantiasa terdapat keringanan, kemudahan, dan pemberian kompensasi. Jika umat Islam menghadapi ketidakberdayaan atau ancaman yang membahayakan ketika kewajiban itu dilaksanakan, termasuk menjalankan puasa Ramadan. Bagi mereka yang tidak dapat menjalankan puasa karena suatu hal seperti di atas, ada 2 alternatif: yaitu membayar fidiah (memberi makan fakir miskin) dan meng-qadha (mengganti) puasa pada hari lain. Dalam Qs. al-Baqarah [2] ayat 184 disebutkan, “… barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka wajib mengganti pada hari yang lain dan bagi orang yang berat untuk melaksanakan, wajib membayar fidiah yaitu memberi makanan seorang miskin, tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (tetap menjalankan puasa) maka itu lebih baik bagimu dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Orang yang sakit ringan atau sedang, berapapun harinya (bisa 7 sampai 15 hari), atau bepergian keluar negeri, baik untuk acara rekreasi, keluarga, atau kerja, misalkan sampai 15 atau 30 hari, dibolehkan menunda puasanya. Namun mereka harus membayar puasa setelah sehat atau kembali ke kampung halaman dan dilakukan secara masing-masing personal. 

Beberapa ulama mengartikan orang yang berat dalam menjalankan puasa adalah orang yang sudah sangat tua, orang sakit yang tidak ada harapan untuk sembuh, orang-orang yang mendapatkan pekerjaan sangat berat, ibu hamil, nifas, menyusui ada kekhawatiran kesehatan anak. Bagi mereka-mereka ini, boleh mengganti dengan fidiah. 

Dari Ibnu Abbas, “diberikan keringanan bagi orang tua lanjut usia untuk berbuka dan setiap hari hendaknya ia memberikan makan seorang fakir miskin dan tidak perlu ia meng-qadha. “

Pada hadis lain, diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim, “kami berperang bersama Rasulullah pada bulan Ramadan, maka di antara kami ada yang berpuasa dan ada pula yang berbuka, yang berpuasa tidak menyalahkan yang berbuka dan sebaliknya. Mereka berpendapat orang yang merasa dirinya kuat lalu tetap berpuasa maka itu baik, mereka yang merasa dirinya lemah, lalu berbuka itu adalah baik,“ (dari buku Fikih Sunnah Sayyid Sabiq). Secara prinsip, Allah memberikan 2 keringanan untuk berbuka (tidak berpuasa), tapi yang tidak mengambil keringanan dan memilih tetap berpuasa masih diperbolehkan, dalam hal ini bagi orang sakit dan dalam perjalanan (bukan situasi darurat). 

Kedua

Konsepsi ajaran Islam sangat tinggi menghargai, memelihara, dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup. Allah menjadikan bumi dipenuhi berbagai sumber kehidupan seperti oksigen, air, berbagai ragam tumbuhan, bahan tambang, disediakan beragam hewan yang hidup di laut, darat dan udara, agar manusia mudah melanjutkan kehidupan dan bersyukur kepada-Nya. Ia juga memperingatkan jangan saling membunuh di antara manusia, karena membunuh itu perbuatan setan (Qs. al-Qasas [28]: 15), jangan membunuh anak-anak karena takut kemiskinan (Qs. al-An’am [6]: 151), Allah murka dan melaknat pembunuhan (Qs. an-Nisa’ [4]: 93), dan siapa yang membunuh tanpa alasan yang benar dibalas dengan hukum bunuh, agar tidak banyak terjadi pembunuhan. 

Bagi orang-orang yang kesulitan menjalani kehidupan, entah itu karena kemiskinan, bencana, kesehatan, perbudakan atau penindasan, Allah mewajibkan untuk membantu. Sebaliknya Allah mengancam dengan ancaman keras bagi mereka yang melalaikannya, “Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kemungkaran) tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir“ (Qs. al-Balad [90]: 10-16).

Allah memberikan ancaman siksa neraka bagi orang yang memberikan bunga pinjaman terhadap fakir miskin (ayat riba), Allah memaafkan tindakan kesyirikan yang terdapat ancaman pembunuhan seperti pada kasus Amar bin Yasir. Allah membolehkan makanan yang diharamkan ketika sudah tidak ada makanan lagi untuk menyambung kehidupan (Qs. al-Baqarah [2]: 173).

Jadi apapun yang mengancam kehidupan manusia, Allah mewajibkan secara totalitas untuk memberikan pemecahan dan pertolongan. Kepada mereka yang hanya berdiam diri, berpangku tangan, dan membiarkan saja, akan mendapatkan dosa. Bahkan demi kehidupan, dapat mengubah yang haram menjadi halal, dan mendapatkan ampunan bagi pelaku kesyirikan. Sehingga pada hakekatnya sebagian besar peribadatan dalam ajaran Islam adalah sebagai upaya melindungi kehidupan. 

Ketiga 

Ancaman virus Corona merupakan wabah yang bersifat pandemik, yang mana telah menginfeksi 168 negara, sangat cepat menular, dan hingga sekarang belum ada obatnya, ribuan orang meninggal dunia. Tidak berhenti di situ, sektor ekonomi juga terkena dampak signifikan, resiko kemanusiaan yang ditimbulkan juga tidak kecil. Semua negara mempersiapkan dan mengeluarkan semua kemampuan untuk mengatasinya, dana, tim kesehatan, TNI/Polri, relawan, ulama dengan membuat berbagai kebijakan, dan pembelian alat-alat kesehatan. Sampai-sampai semua perangkat kesehatan habis di pasaran, jika ada pun harus ditebus dengan harga yang tinggi. 

 Dari sisi tinjauan syar’i (pada point satu), kalau sekedar sakit, orang bepergian, menstruasi, ibu hamil, nifas, menyusui anak, dibolehkan meninggalkan puasa dengan kompensasi, maka ancaman virus Corona sudah pada tahap pandemik, tidak hanya mengancam jiwa seseorang melainkan dapat mengancamkan jiwa-jiwa keluarga dan masyarakat luas, maka meninggalkan puasa untuk membangun ketahanan tubuh sehingga tidak mudah terserang Corona, jauh lebih prioritas bahkan bisa jadi wajib dilakukan (tidak berpuasa) untuk menjaga banyak kehidupan (syar’i point dua). 

Memang dalam al-Qur’an dan hadis ada alternatif boleh tetap berpuasa saat bepergian, sakit, atau menghadapi musuh ketika mereka memandang masih kuat, hal itu mudah diterima karena potensi ancamannya tidak menyangkut pandemi virus. Orang yang sakit tertentu, barangkali masih kuat untuk menjalankan puasa, demikian juga yang sedang bepergian. Atau orang yang menghadapi musuh yang perannya tidak membutuhkan tenaga seperti pemanah, ahli siasat atau manager, sehingga kebebasan berpuasa atau tidak, dalam konteks ini bisa menjadi alternatif.

Pertanyaan besarnya adalah siapa yang kuat menghadapi infeksi virus Corona, dimana resiko kematian juga menyertai? Jika tidak ada dan secara syar’i juga tidak bertentangan, bahkan sangat positif (point dua), menunda/tidak berpuasa di bulan Ramadan kemudian dibayar/diganti pasca pandemi, adalah pilihan utama. Meskipun sangat berat menjalankan puasa di luar bulan Ramadan, tapi masih lebih berat masuk ruang isolasi rumah sakit dengan resiko kematian.

Kalau berpijak pada point ke-dua, jalan penundaan puasa Ramadan dalam masa pandemi merupakan kewajiban, maka otomatis akan mendapat dosa bagi mereka yang menjalankannya. Ini tidak bertentangan dengan prinsip pemecahan dalam al-Qur’an dan sunnah (di atas), karena masalah yang dihadapi berbeda, sehingga pemecahannya juga berbeda. Pemecahan al-Quran/sunnah berkaitan masalah sakit, bepergian, dan menghadapi musuh, sedangkan sekarang ini masalahnya adalah pandemi virus Corona, juga mendasarkan pada al-Qur’an (point satu dan dua).

Bagaimana jika ada pertanyaan, apakah masih dibolehkan berpuasa jika semua ancaman penularan sudah bisa diatasi dengan sistem pencegahan? Jika memang mampu mengatasi, maka secara teoritis sudah tidak ada ancaman sehingga puasa di bulan Ramadan dapat dijalankan. Tapi kalau sekedar imbauan jaga jarak, pakai masker, cuci tangan, tinggal di rumah, olah raga, tutup wilayah terhadap 260 juta rakyat Indonesia dengan budaya kedisiplinan yang rendah, jumlah kemiskinan, tingkat kesulitan penerapan di lapangan, sumber penularan yang demikian banyak, dan jalan-jalan medis, probabilitasnya tidak tinggi. Kalau berkaca pada kasus Tiongkok dan Korea Selatan yang dipandang berhasil menghadapi penularan virus, faktor dana, teknologi dan kedisiplinan masyarakat menjadi faktor utama. Namun demikian korban terinfeksi dan yang meninggal juga masih cukup tinggi. Pengamatan saya di lapangan, bersumber dari informasi televisi, super market dan mall, semisal dalam hal pemakaian masker. Berapa jam orang bisa bertahan dengan kesulitan bernafas dan berkomunikasi? Beberapa waktu yang lalu, Presiden dan Gubernur Jawa Tengah pada acara proses pemakaman ibunda Presiden Joko Widodo, harus melepaskan masker ketika berkomunikasi dengan wartawan. Tentu saja petugas kasir, pedagang di pasar tradisional, akan mengalami kesulitan serupa.

Demikian juga dengan jaga jarak, banyak benturan seperti budaya sungkan, kebutuhan di transportasi, tingkat pemahaman resiko, dan lain-lain. Cuci tangan juga membutuhkan kedisplinan tingkat tinggi karena harus dilakukan sebelum makan, dalam pertengahan dan sesudahnya, mematikan kran bukan dengan jari dan dibasuh dengan tisu, bisa jadi hanya 1 di antara 100 orang yang bisa melakukan itu semua. Begitu pula dengan imbauan harus tinggal di rumah, beberapa polisi harus mengobrak mereka di warung-warung kopi, mall, dan lain-lain.

Dari sini saya menyimpulkan, menjaga ketahanan tubuh (minimal tubuh tidak menjadi lemah, baik karena tidak puasa atau selainnya, syukur bila dengan asupan nutrisi) menjadi penangkal utama dalam menghadapi serangan virus corona, tentu dengan langkah-langkah penunjang lainnya (di atas). Sebagaimana dikatakan menteri kesehatan, 180 orang di kapal pesiar yang akan berlabuh di Hongkong, mereka bersentuhan dengan positif Corona, tapi tidak tertular karena memiliki ketahanan tubuh yang baik. Diduga 50 tenaga medis di rumah sakit di Jakarta, di samping kurang pelindung diri, makanannya setiap hari hanya telur saja, sehingga diri tidak mempunyai ketahanan. Kemudian direspon oleh Gubernur Jakarta dan beberapa donatur, akan diberikan makanan bergizi dan hotel tempat istirahat, dengan harapan tenaga medis yang bertugas di garis depan memiliki imunitas. 

Bagaimana kalau ada pertanyaan orang mampu meningkatkan ketahanan tubuh meskipun dengan puasa, melewati asupan makanan bergizi saat sahur dan berbuka, apakah masih dibolehkan menjalankan puasa di bulan Ramadan? Secara teoritis jika ada jaminan demikian tentu dibolehkan. Namun sekiranya masih spekulasi atau sulit dalam pelaksanaan di lapangan atau membutuhkan syarat ekonomi yang cukup tinggi, menurut saya lebih aman dan utama menjalankan puasa setelah berakhir masa pandemi. Cuma kelemahannya, di samping berat, akan terasa hambar karena tidak pada suasana psikis berpuasa bulan Ramadan, sholat tarawih, tadarus, menanti suasana Lailatul Qadar, zakat fitrah, sholat Idul Fitri atau mudik dan halal bihal. Namun ini bisa dipecahkan jika pembayaran puasa dijalankan secara kolektif atau berjama’ah, misal untuk wilayah Indonesia bisa lewat instruksi Presiden atau Kementerian Agama atau MUI. Kalau dipandang hal ini adalah masalah internasional, instruksinya bisa lewat perwakilan umat Islam di dunia. Ini sama dengan mengganti puasa Ramadan pada bulan lain, tentu setelah pandemi usai. Dengan begini, umat Islam dapat beribadah puasa dengan segala sunnah-sunnahnya (di atas) sebagaimana di bulan Ramadan. Sebagai dalil penunjang, kita bisa belajar pada kasus perubahan kiblat dari Masjidil Aqsha ke Masjidil Haram, pada kasus itu yang substansi bukan pada masjidnya, tapi adanya kesamaan arah. Demikian pula dengan puasa Ramadan, bukan hari/bulan yang substansi, melainkan kegiatan berpuasanya, hari/bulan sekedar pembentukan koletivitas saja. Untuk non pandemi atau kepentingan universal dapat menjadi persoalan. 

Bagian kedua nanti, saya ingin membahas teknisnya dan menjawab kemungkinan-kemungkinan persoalan yang muncul, atau pertanyaan di sekitar ibadah puasa di luar bulan Ramadan yang dilakukan secara kolektif.


versi bahasa inggris di sini


bagian kedua: Mengganti Puasa Ramadan Secara Kolektif
bagian ketiga: Seberapa Daya Tahan Puasa Ramadan Menghadapi Serangan Corona
bagian keempat : Apakah Berpuasa Lebih Baik Daripada Menerima Dispensasi?
bagian kelima: "Menghitung Manfaat dan Mudarat Puasa Ramadan Saat Pandemi dengan Puasa di luar Bulan Ramadan yang Bebas Pendemi"

Report Page