The silent in Midnight #14

The silent in Midnight #14

@gabutteverytime

HARI YANG BURUK


Deon menunggangi sepedanya menuju ke rumahnya. Adiknya sedari tadi sudsh menunggunya dengan tidak sabar.


"Kakak, kau lama sekali!" seru Lia kesal.


"Maafkan aku, cepatlah naik! Sebelum waktu semakin sore," ajak Deon.


 Lia kemudian berlari mendekati Deon dan naik di kursi belakang yang telah disediakan untuknya. 


"Sudah siap?" tanya Deon memastikan.


"Um! Berangkat!!" seru Lia bahagia.


 Deon kemudian melajukan sepedanya dengan alon-alon. Hari yang cerah mereka lalui dengan bahagia dan ceria. Deon merasa senang karena pada akhirnya Lia kembali tertawa bahagia.


 Lia kembali ceria dan ia tak akan meragukan kembali bagaimana nanti jika ibunya akan memarahinya saat banyak surat yang dikirim dari sekolah untuk Lia.

 

 Mereka bersepeda mengelilingi kompleks. Deon dan Lia menyapa semua orang yang berpapasan dengan mereka. Orang-orang di kompleksnya sebenarnya ramah-ramah. Mereka bahkan suka menyapa dengan baik namun tidak bagi Beni.


 Selama hidupnya, Beni selalu dikucilkan. Beni selalu mendapatkan perlakuan tidak baik dari orang-orang karena mereka khawatir penyakit kulit Beni akan menular pada anak-anaknya juga mereka. Beni benar-benar anak yang malang.


 Deon bahkan sampai sekarang masih saja memikirkan bagaimana ia bisa menjalin kembali hubungan yang baik dengan Beni. Seminggu sudah Beni pergi, ia benar-benar merasa kehilangan.


 Beni benar-benar teman yang baik. Seumur hidupnya, mereka saling bertukar makanan. Saling membantu dan main bersama. Tak pernah ada rasa kapok ketika mereka bermain bersama. Padahal, mereka akan disiksa habis-habisan oleh ayah dan ibu mereka.


 Deon hanya bisa berpikir, kemana Beni pergi. Ia tak mengatakan kemana Beni akan pergi karena sepertinya anak itu sudah membencinya semenjak Beni dikasari olehnya karena Aisha.


 Ah ya, gadis itu. Deon benar-benar menyesal karena harus memiliki kekasih seperti Aisha dulu. Gadis yang penuh menuntut dan banyak maunya. Benar-benar membuat Deon muak!


 Mungkin, itulah yang membuat ayahnya melarang Deon berpacaran di usianya yang masih remaja. Karena, benar apa yang mereka katakan jika jatuh cinta akan sepaket dengan namanya sakit hati.


 Setelah ini, Deon akan lebih fokus kepada masa depan dan jenjang karirnya. Ia harus menjadi pribadi yang sukses demi membanggakan kedua orang tuanya. Barulah setelah itu, ia akan mencari belahan jiwanya.


"Kakak! Aku mau beli es krim!" seru Lia kala mereka melewati taman bermain anak-anak yang ada di komplek dan disana banyak sekali anak-anak seumurannya yang sedang bermain. Ditambah para pedagang yang ramai menongkrong di tempat ini. Termasuk si penjual es krim.


"Baiklah, kita akan berhenti sejenak jika kau mau," sahut Deon.


 Ia kemudian menghentikan sepedanya tepat di hadapan penjual es krim tersebut. Lia pun langsung dengan bersemanga turun dan mencari es krim yang ia inginkan.


"Mau es krim apa, dek?" tanya Penjual Es Krim pada Lia yang asyik mengacak-acak wadah es krim tersebut.


"Aku mau es krim dengan cone!" seru Lia.


"Oh, ada-ada! Mau rasa apa?" tanya Penjual tersebut.


"Aku mau rasa coklat!" sahutnya.


 Penjual tersebut kemudian mendapatkan es krim yang Lia inginkan dan memberikannya pada Lia. Gadis cilik itu pun dengan senang hati langsung menerimanya.


"Berapa pak?" tanya Deon pada sang penjual.


"Hanya 2 dollar," sahut penjual tersebut.


 Deon pun langsung memberikan uang kepada penjual tersebut. Lia pun dengan senang hati langsung membuka pembungkus es krimnya.



"Makanlah dengan hati-hati!" ujar Deon memperingati.


"Um! Kakak, aku mau bermain disana!" tunjuk Lia pada taman bermain yang ramai dipenuhi oleh anak-anak.


"Baiklah, kau mau istirahat dulu. Aku akan menunggumu disini," sahut Deon.


"Yeay!!" seru Lia senang. 


 Anak gadis itu pun lantas berlari menuju ke taman bermain dan bergabung dengan anak-anak yang seumuran dengannya. 


"Pak, saya titip sepeda ya!" ujar Deon.


 Penjual es krim itu pun mengangguk. Deon berjalan ke sebuah tempat minuman yang disediakan di pinggir jalan. Ia kemudian memasukkan koin 50 sen dan memencet botol cola untuk minumnya. Ia juga lumayan haus karena taman komplek lumayan jauh dari rumahnya yang berada di ujung jalan.


 Ia kemudian meraih botol cola yang baru saja dibelinya dari mesin minuman kemudian membukanya. Ia lantas meneguk cola tersebut, dan meminumnya dengan cepat. Ia benar-benar haus sekali.


 Deon lalu berjalan ke kursi taman. Ia harus memantau adiknya supaya baik-baik saja dan berada dalam pengawasannya. 


"Ah.. Aku senang dia sebahagia ini," gumam Deon melihat adiknya yang tengah bermain serodotan dengan anak-anak yang lain.


"Kakak!!!" seru Lia dari atas melambaikan tangan pada Deon. Deon pun melambaikan tangannya dan tersenyum manis kepada Lia.


 Dia adalah gadis yang baik dan ceria. Percayalah, tak ada hal lain yang menjadi alasannya hidup selain karena Lia. Lia adalah adik satu-satunya yang sangat Deon sayangi.


 Tak ada alasan lain untuknya hidup selain membahagiakan Lia. Gadis itu bagaikan cahaya baginya. Dia paling pengertian saat Deon kesepian. Ketika orang tuanya memarahinya dan menekannya dengan semua tuntutan, Lia selalu hadir dan menyembuhkannya.


 Memberikan Deon semangat dan sering mengembalikan senyumnya yang sempat hilang. Deon itu kaku, dia tak bisa mengekspresikan perasaan yang ia rasakan. Namun, Lia selalu berhasil menghangatkan hatinya. Lia benar-benar malaikat kecil dari Tuhan yang dikirimkan untuknya.



"Lia, ayo pulang!" ajak Deon. Hari semakin sore, mereka harus segera pulang karena besok ia harus bersekolah dan ia sama sekali belum mengerjakan tugas-tugasnya. Jika orang tuanya tahu, ia akan mati dimarahi habis-habisan karena malah bermain dengan Lia.


"Aaa! Aku tidak mau pulang kakak, aku masih ingin bermain!" rengek Lia.


"Hei, kita harus pulang. Kau tak mau ayah dan ibu memarahiku 'kan? Aku belum mengerjakan tugas-tugasku, hari pun mulai sore. Kita harus pulang!" bujuk Deon.


"Tapi aku masih ingin bermain!" rengek Lia lagi. Dia memang sangat manja sekali kepada Deon.


"Kau bisa kembali lagi besok, mereka juga akan bertemu denganmu lagi besok," sahut Deon.


 Lia mencebikkan bibirnya kesal. Ia tak mau pulang, tapi jika ayah dan ibunya tahu. Kakaknya akan habis dimarahi habis-habisan. Lia menyadari bahwa tetap saja tak ada orang tuanya, mereka harus menjalankan peraturan yang telah ada.



"Baiklah, ayo pulang! Tapi janji, besok kita harus kembali kesini!" ujar Lia.


"Baiklah, aku berjanji!" ucap Deon mengaitkan jemari kelingkingnya pada jari kecil milik Lia.


 Mereka kemudian bergegas pulang. Deon mengangkat Lia ke jok belakang sepedanya dan mengenakan helm kecil untuk Lia. Setelah itu, Deon kemudian melajukan sepedanya meninggalkan taman bermain yang sangat Lia senangi.


 Semoga saja, besok Deon akan menepati janjinya untuk kembali kemari. Sebab, mendekam satu minggu di kamar dengan leggo dan barbienya benar-benar membuat Lia bosan.

Report Page