September.

September.


Dia datang lagi, sapaannya begitu hangat. "Sebentar lagi ulang tahunmu, bukan?" Sambil duduk di sebelahku dengan santai.


Aku hanya mendongak, menatap langit-langit dan tidak menatapnya. "Bukan. Itu adalah hari sedih sedunia."


Ia menatapku, dengan terkejut. "Astaga Fay ... Masih sama?"


"Aku sedang malas berdebat, jika kamu datang hanya untuk memberi kata-kata menyebalkan yang membuatku mengantuk, lebih baik kamu pulang,"


Lucu, dia terkekeh kecil sambil mendongakkan kepalanya ke arah langit-langit sore yang, sialnya, begitu cantik hari itu. "Tidak. Tidak ada kata-kata menyebalkan yang keluar dari mulutku, hanya ada aku yang memilih diam menemani."


Bodoh. Bagaimana bisa dengan keberadaannya, aku bisa merasa begitu hangat hingga tangisku pecah seketika.


"Tidak apa, aku tahu rasanya kamu ingin terus menangis tanpa henti, tetapi hidup dalam kesedihan tidak akan menyelamatkanmu dari apapun." Dia menggenggam tanganku yang sudah basah karena air mata, menatapku dengan penuh kehangatan. "Istirahatlah, hatimu juga butuh waktu, Fay. Tidak apa-apa, tidak semua harus ketemu jawabannya sekarang. Aku tahu kamu juga sudah tidak membutuhkan aku lagi, tapi aku akan tetap disini. Setidaknya untuk memberitahumu, pilihan mana yang tepat untuk kamu."


Nyatanya, ucapan dia sore itu salah. Yang terjadi sesungguhnya adalah, kesedihan berhasil menyelamatkan-ku. Menyelamatkan dari rasa senang yang salah, dari harapan yang hanya akan membawaku ke tujuan yang tidak pernah ada nyatanya. Sebuah titik yang hanya akan ada ruang hitam di dalamnya. Ya, kesedihan itu menyelamatkan sekaligus menyebalkan.


Report Page