Pecel Ayam.
Jam menunjukkan pukul delapan, seharusnya dia sudah pulang sejak tadi, tapi entah mengapa, langkah kakinya terasa sangat berat untuk segera merapihkan barang-barang dan pulang. Ketika fokusnya masih pada naskah cerita yang sedang mengejar deadline, ponselnya berdering, membuat fokusnya sedikit terganggu untuk memeriksa siapa yang menelepon. Berjaga-jaga, takut bunda yang meneleponnya bertanya, jam berapa dia akan pulang. Ternyata bukan, bukan bunda yang menelepon, itu adalah seseorang yang sudah sangat lama sekali tidak ia lihat namanya di daftar panggilan.
Ada keraguan yang muncul di sana, keraguan yang membuatnya berpikir haruskah dia mengangkatnya, atau mendiamkan, tetapi dia merasa bahwa ada sesuatu yang penting terjadi ketika dia mengangkat telepon itu.
“Halo?” Nadanya sedikit lembut, berusaha memastikan apakah seseorang ini benar meneleponnya, atau hanya sekadar tertekan.
“Fay? Kamu masih di sana?” Balasnya, dengan nada yang terdengar terburu-buru.
Astaga, suaranya tidak berubah, tetapi bagaimana dia tahu aku ada di sini? Pikirnya. Lalu, dia menengok ke arah belakang, ke arah barista yang tengah meracik menu baru.
Keheningan yang ada, membuat lawan bicara gadis yang mengangkat telepon itu kebingungan, “Fay? Faya? Hello? Kamu masih di sana?” Pertanyaan itu di ulang kembali olehnya, memastikan apakah perempuan ini masih di tempat, atau sudah pergi.
“Eh iya, Kak! Aku masih di sini, masih di toko kopi. Kenapa ya?” Jawabnya perlahan, jantungnya berdegup benar-benar cepat, sudah lama dia tidak mendengar suara laki-laki ini, ditambah rasanya seperti laki-laki ini mau menghampirinya.
Pria itu menjawab pertanyaannya, terdengar bahwa dia sedang berada di jalan, “Iya udah, kamu jangan kemana-mana dulu. Aku lagi jalan ke sana, tungguin.” Lalu teleponnya terputus, dimatikan oleh laki laki tersebut.
Perempuan itu benar-benar merasa terkejut dan kacau mendengar ucapan laki-laki yang tadi meneleponnya, karena mereka berdua sudah lama sekali tidak bertemu, dan perempuan tersebut belum sama sekali mempersiapkan dirinya untuk kembali bertemu dengan seseorang yang sudah mati-matian ia usaha untuk lupakan. Nyatanya, mereka kembali bertemu hari ini.
Tanpa berpikir panjang, perempuan itu bersegera membereskan barang-barangnya, dengan wajah yang pucat dan khawatir karena kemungkinan besar yang terjadi adalah, dia akan merasa sangat menyesal dengan keputusannya.
Selagi sibuk membereskan barang-barang, barista yang ia curigai mengatakan bahwa dia ada di toko kopi, menghampirinya dan menepuk bahunya, “Mau kemana, Na?” Tanya barista tersebut.
“Mau balik gue, dia lagi di jalan ke sini.”
“Dia?” Barista itu menatap dengan penuh tanda tanya, menciptakana keheningan sejenak hingga, “Oh! Anak bayi?“
Sebenarnya barista itu menyebutkan nama laki-laki tersebut dengan spesifik, tetapi rasanya jauh lebih baik jika namanya kita samarkan di sini.
Perempuan yang di ajak bicara tersenyum kecil sambil mengangguk.
“Terus? Lu ngapain beres-beres? Kan, dia mau ke sini?”
Perempuan itu menghela nafasnya dengan lelah, “Itu masalahnya. Karena dia mau ke sini, aku harus buru-buru pergi. Kakak tahukan, seberapa keras usaha aku buat menghindari dia?” Katanya dengan mata yang menyelidik ke arah barista itu.
Yang akhirnya, membuat barista itu salah tingkah karena merasa terciduk, “Iya, iya, gue tahu. Tapikan, kalian udah lama gak ketemu, ada yang mau dia sampein kali makanya ngajak lu ketemu.”
“Iya tapi aku gak mau tahu.” Ketusnya.
Barista tersebut terkekeh, lalu duduk di kursi yang ada di meja tempat perempuan tadi tempati, “Na, gue temennya. Gue yang tahu apa yang ada dipikiran dan hatinya dia, gue yang tahu mau dia apa, dan yang dia mau itu lu.”
“Halah, gue gak semudah itu percaya sama bualan laki-laki ya.” Nadanya lebih tegas dan ketus, tapi kali ini, dia sambil memesan ojek online untuk segera membawanya pulang.
Tangannya tiba-tiba ditahan oleh seseorang, membuatnya terhenti untuk memesan ojek online itu.
Dia mendongak, menatap siapa yang menahan tangannya dan berhasil membuat jantungnya terasa mau copot.
“Mau kemana? Aku bilang jangan kemana-mana dulu,” Ucap lelaki itu dengan nada lembut serta nafas yang terengah-engah, terlihat jelas bahwa dia benar terburu-buru untuk pergi ke toko kopi itu.
“Halo, Anak bayi! Darimana? Kok kayak ngos-ngosan gitu? Buru-buru ke sininya?” Tanya barista itu sambil memperhatikan mereka berdua.
Lelaki itu tersenyum, melepas cengkraman pada lengan perempuan tersebut dan bersalaman dengan barista itu, kebetulan mereka berdua adalah sahabat dekat, “Abis dari rumah, cuman emang buru-buru ke sini, takut Faya keburu pulang.” Kalimat tersebut ditutup dengan dia menatap ke arah perempuan yang saat ini tengah menundukkan kepalanya.
Barista tersebut menatap keduanya sekilas, lalu bangkit ke dalam untuk melayani pelanggan yang datang.
Jari telunjuk itu perlahan menyentuh dagunya, mendongakkan wajah perempuan itu secara perlahan agar menatap wajahnya, “Hello, Faya! Sudah lama gak ketemu ya?” Senyumnya merekah setelah kalimat tersebut ia ucapkan, terlihat begitu cerah.
Perempuan itu mendongak secara terpaksa dan menatap wajah lelaki di hadapannya, benar, tidak ada perubahan di wajah itu, bahkan kacamatanya pun tidak berubah. Tidak ada yang berubah sama sekali.
Senyuman kecil pun ia tunjukkan, sambil mencengkram tangan laki-laki tersebut agar menjauh dari dagunya, “Iya, udah lama gak ketemu,” Bisiknya.
Laki-laki tersebut melihat meja yang sudah rapih tidak ada barang di sana, lalu menatap ke arah perempuan di hadapannya, “Kamu sudah makan? Temenin aku makan mau gak?”
“Tapi, aku harus pulang,” Nadanya sedikit terbata-bata dan pelan.
Lelaki di hadapannya tersenyum, mengusap pucuk kepalanya dan, “Aku sudah bilang sama bunda, kamu lagi sama aku. Bunda nyariin kamu tadi, tapi kamu gak bisa di telepon katanya, kamu lagi mode itu ya? Makanya pas aku telepon malah masuk.”
Perempuan itu menatap bingung, “Kamu nanya ke Kak Ilham aku di sini?”
Dia mengangguk kecil sebagai jawaban, lalu mengambil tas perempuan itu agar dia yang membawanya, kemudian, dia menggenggam tangannya dan membawanya menuju parkiran toko kopi, “Duluan ya! Nuhun pisan,” Ucapnya, berpamitan dengan barista yang tengah membuat kopi.
Setibanya di parkiran, tas tersebut ia simpan di gantungan pada motor, mengambil helm lalu mengenakannya kepada perempuan di hadapannya, lalu dia mengenakan helm dan menaiki motor tersebut diikuti oleh perempuan itu.
Motor mulai keluar dari toko kopi, menyusuri jalan kecil hingga menemukan jalan raya, Bandung memang padat pada malam itu, entah kemana orang perginya, tapi jalanan memang ramai. Anehnya, keramaian itu menciptakan keheningan di antara mereka, perempuan yang biasanya memeluk di atas motor, memilih untuk menyembunyikan tangannya, membuat laki-laki yang sedari tadi fokus menyetir, merasa ada yang berubah.
“Peluk aja kalau mau peluk, Fay. Kamu masih boleh meluk aku kok,” Ucapnya sambil tersenyum kecil.
Dengan hati-hati, gadis itu memeluknya, perlahan, tidak erat, tetapi pas.
“Macet banget jalanan, orang-orang mau pada kemana ya?”
“Bukannya hari ini ada konser ya? Baru pulang nonton konser kali,”
“Oh? Emang iya? Kok aku gak tahu?”
“Kakak jarang buka Instagram, wajar kalau gak tahu,”
“Iya ya, aku belakangan emang lagi males buka Instagram sih,”
“Masih males bales pesan, Kak?“
Itu seakan pertanyaan skakmat bagi dirinya, karena yang mengakhiri obrolan hingga mereka tidak berbincang untuk waktu yang lama, adalah dirinya, “Hmm, udah gak terlalu sih, banyak kerjaan, jadi terpaksa harus bales pesan orang-orang.”
Perempuan yang di ajak bicara itu hanya mengangguk-angguk kecil, mereka hanya berbincang-bincang kecil di atas motor. Perihal tadi dia ngapain aja di kedai kopi, naskah cerita yang sudah sampai bab berapa, orang-orang tidak sabaran di motor, atau dia yang segaja ikut-ikutan mengklakson karena katanya, dia hanya ingin ikut meramaikan jalanan saja.
Tidak terasa, mereka tiba di tujuan, “Inikan —”
“Iya, tukang pecel kesukaan kamu, dekat rumah kamu, ayo makan!” Serunya sambil melepaskan helm dari kepala perempuan itu.
Agar mereka tidak khawatir, tas yang dibawa ia simpan di dalam jok motor, biar gak ribet bawa-bawa tas berat, katanya.
Tangan itu kembali lelaki tersebut genggam, membawanya masuk dan menyuruh agar gadis tersebut duduk manis menunggu pesanan, “Bu, pesen pecel ayamnya dua, bagian paha bawah, kulitnya dua, ususnya satu.”
Itu adalah pesanan yang selalu gadis itu pesan setiap kali makan pecel, lucunya, laki-laki tersebut mengingat pesanan wajib itu, membuat gadis yang tadi hanya mendengarkan, menjadi salah tingkah.
“Ada lagi, Mas?” Tanya Ibu penjual pecel.
“Ada air mineral botol yang dingin?”
“Ada,” Ibu penjual tersebut mengambil botol air mineral dingin yang lelaki tersebut pesan dan menyimpannya di atas meja agar dapat di ambil oleh lelaki tersebut, “Sudah, ada lagi?”
“Itu aja, Bu. Terimakasih.”
“Tunggu ya.”
Lelaki itu balas mengangguk dan membawa air mineral botol itu ke meja yang perempuan tadi duduki. “Aku inget, kamu gak suka kalau makan duduk depan-depanan, jadi aku duduk di samping kamu.” Ucapnya sambil tersenyum lalu menyerahkan botol air mineral yang sudah dia buka, “Aku juga inget kamu gampang haus dan dehidrasi, jadi aku beliin kamu air mineral dulu, nih minum.”
Perempuan itu berusaha menutupi salah tingkahnya dengan tersenyum kecil, meminum air yang diberikan lelaki tersebut. Dia tidak menyadari bahwa sedari tadi, wajahnya tidak dapat berbohong bahwa dia benar-benar salah tingkah. “Kakak juga masih inget, sama pertanyaan yang aku suka?”
“Kamu sudah makan?”
Keduanya terkekeh, iya. Pertanyaan sudah makan? Adalah pertanyaan yang paling disukai gadis tersebut, karena menurut dia, “Itu adalah pertanyaan paling perhatian yang pernah aku tahu,”
“Kenapa bisa gitu?”
“Karena bagi aku yang suka nunda makan dan sering telat makan, pertanyaan itu kayak reminder yang bermakna banget buat aku, seakan ngasih tahu, kalau makan itu penting. Apa lagi kalau di ajakkin, makin serasa di perhatiin aku.”
“Kamu lebih suka di ajak makan, atau ditanya udah makan?”
“Kalau bisa dua, kenapa harus satu?”
Mereka pun kembali tertawa kecil, suasana malam itu benar hangat, mereka menikmati makan malam mereka dengan lelaki yang memberikan kulit ayam kepada perempuan itu, karena dia tahu, seberapa cintanya perempuan tersebut terhadap kulit ayam.
Semesta seakan turut senang dengan kembalinya dua insan muda itu, setelah perut mereka terisi dengan cukup, langit malam menunjukkan bulan dan bintang yang bersinar begitu cantik, rasanya tidak hanya perut mereka yang penuh, kebahagiaan mereka pun terisi dengan baik.
Walaupun keduanya tahu, setelah pertemuan ini, mereka akan kembali menjadi dua manusia asing yang seakan tidak pernah hadir di hidup satu sama lain.