Losing You
purplenayManik mata dari balik kacamata baca itu terlihat membulat saat menangkap sebuah kertas palaroid terjatuh dari buku yang ada di pelukannya. Sudah hampir tahun ketujuh ia tidak melihat dua sosok bahagia dari foto tersebut, gadis itu berlutut. Memandang foto palaroid tersebut dengan saksama. Tujuh tahun lalu, dua remaja ini bahagia karena cinta. Namun, yang kita tahu bahwa cinta bisa menyakiti suatu waktu. Lebih tepatnya, rasa menyakitkan itu berasal dari cinta pertama. Perasaan bahagia, kenangan masa remaja, dan juga rasa sakit tersimpan dengan baik di dalam photograph ini. Gadis bersurai panjang yang diikat asal itu tersenyum tipis, membersihkan debu-debu yang tersisa di foto tersebut. Selama ini, ia tidak pernah kehilangan cinta pertamanya. Ia selalu menyimpannya di dalam pelukannya. Setetes krystal jatuh dari sudut mata sang gadis, menyesakkan bila mengingat semuanya. Dalam satu waktu ia akan menangis sembari tertawa bila mengingat sosok terpenting dalam alur kehidupnya.
"Terima kasih telah hadir, Jenderal."
Kali ini, sang gadis tidak ingin menangis. Menangis hanya akan membuatnya semakin teringat masa lalunya, Jenderal.
"Bunda..."
Lavender langsung terkekeh geli, saat suara anak perempuan memasuki gendang pendengarannya.
"Bundaaaaaa...."
"Sebentar, Loona."
Anak perempuan berusia empat tahunan itu tidak berhenti merengek sebelum Lavender memeluknya.
"Bunda sedang memeluk buku-buku ini, sebentar yah."
Loona menggeleng.
Tidak membiarkan Lavender untuk pergi, seperkian detik dari sisinya.
"Apakah kamu mau susu?"
Bukannya mengangguk, anak perempuan itu langsung menangis sejadi-jadinya. Membuat Lavender berada di dalam dilemanya, lagi dan lagi.
"Baiklah, Bunda akan memel–"
Suara dari saklar lampu yang ditekan membuat penerangan di dalam ruang baca itu terlihat dengan jelas, namun itu menciptakan kebutaan bagi Lavender. Loona menghilang. Gadis itu langsung histeris saat menyadari putri yang telah ia kandung selama delapan bulan menghilang dari pandangannya, tak terkecuali Ghea yang berlari untuk menenangkan Lavender.
"La, Loona sudah tidak ada sejak tiga tahun lalu." Ghea hanya bisa menepuk pelan bahu Lavender yang tidak hentinya berteriak histeris, mencari keberadaan Loona yang sudah menetap di langit.
"Loona!" isak Lavender, dengan suara paruhnya. "Bunda di sini... Bunda di sini, sayang!" Bahkan, angin tidak bisa menghalangi suara pantulan dari teriakan seorang ibu yang kehilangan putri kecilnya.
Ghea hanya mendongak, memandang langit-langit ruang baca dengan perasaan sesak. Kehilangan adalah sebuah hal yang menyiksa bagi Lavender, itu lah mengapa ia tidak akan pernah meninggalkan adik iparnya di situasi apapun. Gumaman dari bibir tipis Lavender yang telah memucat kembali membuat Ghea harus menahan tangisnya. Perasaan menderita Lavender selalu sampai di relung terdalam hatinya, ia merasa bersalah. Sangat.
"La, Loona sudah bersama Ayahnya."
"Mengapa tidak bersama dengan ibunya, Kak?"
"Karena Jenderal belum melihat Loona sejak ia masih bayi." Pertahanan Ghea runtuh, nada suaranya yang selalu tenang dan tegas kini berganti dengan getaran. "Biarkan ia menemani Jenderal, La." Ghea menunduk, berusaha menetralkan kembali perasaannya sampai-sampai ia tidak bisa menahan Lavender untuk memungut kembali foto palaroidnya bersama Jenderal.
"Jenderal, did you ever really love me?" tanya Lavender, dengan nada terisak. "Tapi kenapa kamu selalu merebut dunia aku berkali-kali saat aku yakin kamu adalah dunia aku, Jenderal. Kenapa? Kenapa kamu juga mengambil anak kita yang menjadi penguat aku saat kamu diambil Tuhan karena keegoisan aku?"
"Maaf Jenderal, selama ini aku serakah akan kamu."
Lavender mencintai Jenderal secara serakah, namun Jenderal selalu ingin mencintai Lavender sederhana.
Itulah, mengapa cinta mereka selalu menyakitkan di setiap waktu.
Mereka ingin tarik-menarik dengan cara berbeda, hingga benang merah harus terputus karena sebuah duri yang berasal dari cinta mereka.
Lavender kehilangan Jenderal,
dan juga Loona, putri kecil mereka.