Kacamata.

Kacamata.

janettra

Hari itu dia memilih menemaniku mengerjakan kumpulan tugas yang tak kunjung usai. 


Aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi sambil menghela nafas panjang.


Dia langsung menatapku dengan khawatir saat aku menghebuskan nafas. “Kenapa?”


Aku menggeleng perlahan. “Gak apa-apa. Capek, gak selesai-selesai, pusing, terus pegel banget mata sama tangan aku.” Yang aku tutup dengan hembusan nafas lebih lelah.


Dia hanya mendengarkan sambil menatapku. Iya, dia juga kerja kok, lagi men-design untuk jadwal barunya, belakangan ini dia memang sibuk, tapi selalu menyempatkan waktu untuk bertemu denganku walau sejenak.


Kak.“ Panggilku, saat dia kembali melanjutkan pekerjaannya.


“Kenapa Fay?” Nadanya lembut, begitu hangat dan menenangkan, walaupun wajahnya masih fokus pada pekerjaannya. Ah, suara dia kan memang begitu.


Aku menyandarkan kepalaku pada bahunya, “Aku gak suka gak pake kacamata.”


“Suruh siapa nyimpen sembarangan.” Katanya, sambil terkekeh meledek.


Seketika aku menatapnya dengan wajah kesal, “Iyakan, aku gak tau kalau dia bakal hilang, toh aku ingat aku simpennya di atas kasur, hilang sendiri aja dia!”


Dia tersenyum kecil, lalu berbalik dan menatap ke arahku, “Iyaa, iyaa. Kenapa gak suka? Pegel?”


“Iya, tapi aku juga jadi gak bisa lihat muka kamu dengan jelas, walau masih terlihat jelas sedikit, tapi tetep aja! Gak jelas.“ 


Dia terkekeh kecil, melepas kacamatanya yang terlihat tebal, padahal minusnya dibawahku. Lucunya, kacamata itu dia kenakan di aku.


Sedikit terkejut, aku mengerjapkan mata saat tangannya menjauh dari wajahku. 


“Gimana? Sekarang jelas?” Ucapnya, dengan nada yang begitu lembut.


Astaga Tuhan, kenapa pertanyaan dia bisa begitu tenang sedangkan aku hampir menjatuhkan diri ke lantai. 


Dia kembali bertanya, memastikan apakah aku bisa melihatnya dengan jelas, “Fay? Jelas lihat akunya?” Masih dengan nada yang begitu lembut.


Aku mengangguk perlahan, tidak sanggup berkata-kata. Dia tersenyum kecil sambil menatapku. Aku benar-benar tidak sanggup, terlalu jelas, wajahnya terlihat begitu jelas, indah, jantungku rasanya mau copot! 


Aku melepas kacamatanya, dan memberikannya kembali kepada dia. Bahaya kalau terus aku kenakan, bisa-bisa, aku pingsan kehabisan nafas. 


Dia menerima dan mengenakan kembali kacamatanya, melanjutkan pekerjaannya, dan aku kembali menulis tugas yang perlu diselesaikan.


Tuhan, tangannya mendarat dengan sangat lembut di pucuk kepalaku, dia mengusapnya dengan hangat. “Nanti beli kacamata ya? Biar kamu puas lihat aku dengan jelas. Kali ini beli yang ada gantungannya, biar gak hilang, biar kamu gak sembarangan.” Suaranya begitu hangat, lembut. Bukan dengan nada yang marah tapi nada yang menenangkan.


Aku hanya mengangguk kecil karena, sumpah! Aku hampir pingsan melihat wajahnya begitu jelas, senyuman manisnya, matanya yang indah dan bagaimana rona pada pipinya dapat terlihat jelas saat dia tersipu malu. Apa lagi ketika tangannya mengusap pucuk kepalaku, begitu menenangkan.


Tuhan, tolong aku! Dia manis sekali.


Report Page