Jeruk Masam
Elphraim ElderberryKu dengar suara alarm membangunkanku. Tak terasa aku sudah hampir terlambat. Aku bergegas ke kamar mandi, meninggalkan kasurku yang masih berantakan. Sepertinya aku tak akan membereskannya pagi ini.
Aku mengenakan jaket, Seperti biasa. Belakangan ini aku agak malas pergi ke sekolah. Sekolah membuat pikiranku makin kacau. Tapi aku akan tetap berangkat.
"Hei, kau kelihatan tidak sehat." Ucap teman kamarku, Stella.
"Tak apa. Aku baik-baik saja."
Aku mengambil jatah sarapanku dan langsung bergegas ke kelasku.
Aku sampai di aula sekolahku. Aku sempatkan mampir ke lokerku. Aku melihat banyak kertas-kertas tertempel di sana.
'DASAR ORANG ANEH!', 'PERGILAH ADELLINE!' Begitulah kira-kira tulisan yang tertempel.
Perasaanku bercampur aduk. Aku memasuki ruang kelasku yang menyambutku dengan bisikan-bisikan 'hangat' khas anak perempuan. Aku tak ambil pusing dengan itu. Tapi itu memang menjengkelkan.
.
.
.
Aku sudah menyelesaikan beberapa kelas. Sekarang pukul 11.15 dan tersisa dua kelas lagi. Aku tidak pegi ke kantin karena aku memang tidak lapar. Lagi pun aku tidak ingin mendengar celotehan orang-orang tentangku. Jam istirahat yang sebentar ini aku habiskan dengan melamun saja.
Tiba-tiba seseorang memukul mejaku. Dan aku terbangun dari lamunan indahku.
"Hei, orang aneh!" Aku kenal betul suara itu. Tina.
"Apa maumu?"
Tiba-tiba ia menarik rambutku. Mendekatkan wajahku ke pandangannya.
Seisi kelas mendadak bisu. Mereka terpaku dengan apa yang mereka lihat. Tapi tidak ada yang berani ikut campur.
"Berikan semua uangmu!" Bentak Tina.
"Untuk apa?"
"Cepat berikan saja!" Nada bicaranya semakin tinggi. Terlihat tatapan sinis dimatanya.
Aku mengeluarkan uang dari saku bajuku. Dengan cepat ia menyambar uang tersebut. Kemudian ia pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa.
Tina adalah anak angkat pemilik sekolah ini. Aku rasa ia bersikap seperti itu untuk menunjukkan siapa yang lebih dominan di kelas ini, tapi sebenarnya ia cengeng. Dan tidak ada yang berani melawannya karena takut dikeluarkan dari sekolah.
Tapi kali ini aku sudah cukup muak dengan semuanya. Ketika ia berbalik hendak keluar kelas, aku mengambil pulpen di mejaku dan berlari ke arahnya. Aku tancapkan pulpen itu di bahunya. Puas sudah rasanya.
Ia menangis sejadi-jadinya. Sialnya, seorang guru lewat dan menyaksikan hal ini. Aku dibawa ke ruang konseling.
Aku dicecar sejumlah pertanyaan yang aku pun sulit menjawabnya. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Bisa saja aku di keluarkan dari sekolah.
.
.
.
-Dua hari kemudian-
.
.
.
Aku bangun pagi kali ini. Tidak seperti biasanya.
Aku menuju dapur dan memakan bagian sarapanku. Stella sudah berpakaian rapi dan sedang duduk memakan sarapannya juga.
"Kau tidak ke sekolah, Adelline?"
"Tidak. Aku akan ke sekolah senin depan."
"Kenapa?"
"Aku dihukum."
"Oh, begitu." Sahut Stella sambil terus menghabiskan sarapannya.
"Kau tahu? Kau beruntung."
"Huh? Kenapa?" Sahutku penasaran.
"Seseorang mengajukan diri sebagai saksi atas kejadian itu. Dan dia bisa meyakinkan para guru kalau kejadian itu bukan salahmu."
"Tapi itu memang bukan salahku."
"Ya, ya. Tapi kau tahu kan bagaimana si Cengeng Tina itu?"
" Ya. Aku paham maksudmu."
Kami menyelesaikan sarapan kami dan membereskan meja makan. Suasana sedikit hening karena kami mengerjakan pekerjaan masing-masing.
"Ngomong-ngomong, siapa orang itu?" Sahutku memecah keheningan.
"Oh, kalau itu... Aku tidak tahu."
.
.
.
Stella bersiap pergi ke sekolah karena ia tidak ingin terlambat. Ia menyelesaikan bagian pekerjaan kamarnya lebih dulu dibanding aku. Aku dihukum tidak boleh ke sekolah seminggu ini. Jadi tidak ada alasan untuk terburu-buru.
"Elline, aku pergi dulu, ya!" Begitulah terkadang ia memanggilku. Elline. Adelline memang agak terlalu panjang untuk sebuah nama panggilan.
Stella menggendong tas ransel yang tadi tergantung di samping meja belajarnya dan pergi meninggalkanku di kamar.
"Ya, semoga harimu menyenangkan."