(2) Sajak Bumi; Romansa Yogyakarta.
Ratu Chandramaya
Titik 0 KM Yogyakarta, DIY.
Sandyakala; cahaya merah di saat senja. Indah mungkin tidak akan cukup untuk mendeskripsikannya. Rona-rona jingga merambat menguasai nabastala, menciptakan binar bahagia bagi setiap netra yang menatapnya.
Seolah memancarkan cahaya penuh cinta, langit senja selalu memberikan rasa tenang bagi setiap insan. Aman, menatapnya memberikan perasaan damai. Dari senja, banyak insan yang mendapatkan sebuah makna. Bahwasanya, segala hal indah yang ada di dunia tidak akan amerta; tidak akan abadi keberadaannya. Tetapi, meskipun seperti itu masih banyak orang yang mendambakan hadirnya senja. Katanya, meskipun hanya sementara, kehadiran senja itu terlalu berharga, sayang jika harus melewatkannya.
Pandanganku masih tertuju pada langit yang membentang, warna kemerahan jelas menguasainya. Tampak begitu indah.
Kukira jatuh cinta pada pandangan pertama itu sebuah dusta. Namun, enam bulan sudah berlalu dan aku masih terus memikirkannya. Kedua bola mata hitam legam itu terus-menerus menyelinap memasuki mimpi-mimpiku.
“Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini?”
Pandanganku mengembara, memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang berlalu lalang. Sudah enam bulan aku selalu berkunjung ke tempat ini dengan harapan aku bisa kembali menemuinya. Menemui seseorang yang bahkan tak 'ku ketahui siapa namanya.
Aku menghela napas berat. “Kurasa aku benar-benar sudah tidak waras.”
Embusan anila menerpa rupa, kesejukan perlahan menyelinap masuk ke dalam rongga dadaku. Rasanya benar-benar begitu damai. Kedua mataku terpejam, dan secara bersamaan bayangan perihal wajah dan kedua bola mata hitam legam itu melintas dalam benakku membuatku tidak mampu menahan senyumku.
“Kuharap ada kesempatan kedua untuk kembali bersua.”
