The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XXII

PADA tanggal dua puluh satu Mei dalam rumah di Rue du Helder No. 27 di Paris, segala sesuatu telah dipersiapkan Albert untuk menyambut tamunya.

Albert de Morcerf tinggal dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di salah satu sudut pekarangan luas, terpisah dari rumah induknya Hanya dua jendelanya yang menghadap ke jalan. Tiga buah lainnya menghadap ke pekarangan, dan yang dua buah lagi menghadap ke punggung kebun. Di antara pelataran dan kebun itu terdapat gedung besar dan megah, tempat tinggal Tuan dan nyonya de Morcerf. Menilik kepada pemilihan rumah untuk Albert, kita dapat membaca kebijaksanaan seorang ibu yang tidak mau terpisah jauh dari anaknya, tetapi juga menyadari bahwa pemuda seusia Albert memerlukan semacam kebebasan.

Pada hari itu, Albert duduk di ruang tamu yang kecil di lantai pertama Seperempat jam sebelum jam sepuluh seorang pelayan datang meletakkan beberapa surat kabar di atas meja dan menyerahkan setumpuk surat kepada Albert.

“Jam berapa Tuan hendak makan siang, Tuan?” tanya pelayan itu.

“Tepat jam setengah sebelas. Sebenarnya aku kurang percaya kepada janji Count of Monte Cristo itu, tetapi setidak-tidaknya aku ingin supaya yang menjadi kewajibanku semua terpenuhi.”

Pelayan mengundurkan diri. Albert merebahkan dirinya di dipan, mengambil surat kabar melihat-lihat acara teater. Ia agak kecewa karena malam nanti bukan balet yang akan dipertunjukkan melainkan sebuah opera. Dia melihat lagi surat-surat kabar lainnya satu demi satu. Tiga buah surat kabar yang paling banyak dibaca orang di Paris. “Surat kabar-surat kabar ini makin lama makin membosankan saja,” katanya sendiri di antara berkali-kali menguap panjang.

Sebuah kereta berhenti di muka pintu. Dan beberapa saat kemudian pelayan datang memberitahukan kedatangan tuan Lucien Debray, seorang berbadan tinggi, pucat, berambut pirang, berbibir tipis dan bersorot mata penuh percaya diri. Dia masuk ruangan tanpa berkata atau tersenyum.

“Selamat pagi, Lucien!” sambut Albert “Ketepatanmu agak menakutkan. Aku memperhitungkan engkau akan datang paling akhir, ternyata paling dahulu bahkan mendahului waktu. Aneh sekali! Apakah kementerianmu telah runtuh, barangkali?”

“Tidak, jangan khawatir. Memang jalan kami tertatih-tatih, namun tak akan jatuh.”

“Tuan Beauchamp!” kata pelayan memberitahukan kedatangan tamu lain.

“Silakan, silakan masuk, Pena Tajam!” kata Albert, berdiri dan melangkah menyambut kedatangan tamu baru. “Lihat, ini Debray yang membenci tulisanmu tanpa membacanya dahulu, setidak-tidaknya begitulah katanya.”

“Ia tidak salah,” kata Beauchamp. “Dia sama seperti aku. Aku merigritiknya tanpa mengetahui apa yang ia perbuat. Selamat pagi”

Sekretaris Menteri dan wartawan berjabatan tangan sambil tersenyum.

“Kita hanya menunggu dua orang lagi,” kata Albert, “setelah itu kita akan pindah ke meja makan.”

“Siapa mereka itu?” tanya Beauchamp.

“Seorang jentelmen dan seorang diplomat.”

“Berarti kita harus menunggu dua jam lagi untuk jentelmen itu, di tambah beberapa lama lagi untuk diplomat.”

“Tidak,” kata Albert mencoba meyakinkan. “Kita akan makan tepat jam setengah sebelas, apa pun yang terjadi.”

“Tuan de Chateau-Renaud dan Tuan Maximilien Morrel!” seru pelayan.

“Ah, sekarang lengkap sudah,” kata Beauchamp. “Bukankah mereka yang engkau nantikan, Albert?”

“Morrel . . .” Albert mengulang-ulang nama itu agak heran. Morrel? Siapa dia?” Tetapi sebelum dia habis berpikir, Tuan de Chateau-Renaud, seorang muda yang tampan, berumur kira-kira tiga puluhan, yang perlente sampai ke ujung jari-jarinya, memegang Albert di tangannya dan berkata, “Ijinkan saya memperkenalkan Kapten Maximilien Morrel, sahabat dan lebih dari itu, penyelamat jiwa saya. Terimalah pahlawanku, Viscount.”

Dia melangkah ke samping memberi kesempatan kepada Albert untuk memandang seorang tinggi kekar, berdahi lebar dan bermata tajam dengan kumis melintang di bawah hidungnya. Seragam yang indah menonjolkan dadanya yang bidang dihias dengan bintang kehormatan. Perwira muda itu membungkukkan badan memberi hormat. Gerakannya sangat mengesankan karena ia seorang yang gagah.

‘Tuan de Chateau-Renaud telah mengetahui terlebih dahulu betapa akan gembira saya dapat berkenalan dengan Tuan,” kata Albert ramah. ‘Tuan telah menjadi sahabatnya, terimalah saya menjadi kawan Tuan.”

“Bagus sekali,” kata de Chateau-Renaud, “saya harap, Viscount, bila ada kesempatan ia akan berbuat untuk Tuan sebagaimana ia telah melakukan untuk saya.”

“Apa yang telah dilakukannya?” tanya Albert.

“Ah ” kata Maximilien, “suatu hal yang tidak penting. Baron de Chateau-Renaud terlalu membesar-besarkannya.”

“Apa!” kata Baron Chateau-Renaud. “Tidak penting? Itu berarti bahwa nyawa tidak penting!”

“Jelas bagi saya, Baron, bahwa Kapten Morrel pernah menyelamatkan jiwa Tuan.”

”Begitulah.”

“Bagaimana kisahnya?” tanya Beauchamp.

“Seperti kalian tahu, pada suatu waktu timbul pikiran pada saya untuk pergi ke Afrika di mana sedang berlangsung pertempuran antara pasukan kita dengan orang-orang Arab,” kata Chateau-Renaud memulai “Dan oleh karena saya pikir akan memalukan sekali apabila saya menyia-nyiakan bakat saya, saya mengambil keputusan untuk mencoba dua buah pistol saya yang baru terhadap orang Arab. Sebab itu, mula-mula saya menuju ke Oran. Dari sana melanjutkan ke Istambul dan datang di sana tepat pada saat pengepungan terhadap orang Arab dikendurkan. Saya turut mengundurkan diri bersama yang lain. Selama empat puluh delapan jam saya harus menahan hujan di siang hari dan salju di malam hari. Tiba-tiba saya melihat enam orang Arab datang berkuda mendekat. Dua orang dari padanya saya tembak dengan senapan, dan dua orang lainnya dengan pistol.

Masih ada dua orang lagi dan senjata saya sudah kosong semua. Salah seorang dari mereka menjambak rambut saya, itulah sebabnya saya cukur pendek sekarang, siapa tahu kejadian seperti itu bisa berulang lagi, dan yang seorang lagi mengarahkan pedangnya ke leher. Saya sudah merasakan dinginnya pedang itu di tenggorokan ketika Tuan ini datang menyerang mereka. Dia menembak orang yang memegang rambut saya dan membelah kepala yang lainnya dengan pedangnya. Kapten Morrel telah mewajibkan dirinya untuk menyelamatkan jiwa orang lain pada hari itu yang baginya mempunyai arti yang istimewa. Dan ternyata takdir menentukan, sayalah orangnya yang diselamatkan itu.”

“Benar,” kata Maximilien, “hari itu tanggal lima September, hari diselamatkannya ayah saya dari suatu kematian dengan cara yang menakjubkan sekali. Sepanjang dalam batas kemampuan, saya mencoba untuk memperingati hari itu setiap tahun dengan perbuatan yang…”

“Perbuatan yang bersifat kepahlawanan, begitu bukan?” Chateau-Renaud menyela.

“Ceritera yang tadi disinggung sedikit oleh Tuan Morrel, merupakan kisah tersendiri yang cukup menarik. Pada suatu hari nanti, apabila kalian telah mengenalnya dengan baik, saya harap dia mau menceritera-kannya selengkapnya. Tetapi sekarang, lebih baik kita mengisi perut daripada mengisi pikiran. Jam berapa kita akan makan, Albert?”

“Setengah sebelas.”

“Tepat?” tanya Debray sambil mengambil arlojinya. Ijinkan saya menunggu lima menit lagi,” kata Albert, “karena saya pun menunggu seorang penyelamat.”

“Penyelamat siapa?”

“Aku, tentu! Apa kalian mengira aku tidak dapat diselamatkan seperti orang lain, dan bahwa orang Arab saja yang suka memotong leher? Tahun ini saya ke Roma untuk melihat karnaval…”

“Kami tahu itu,” kata Beauchamp.

“Ya, tetapi ada yang tidak engkau ketahui, aku ditangkap bandit.”

“Di sana tidak ada bandit,” kata Debray. “Mengapa tidak kauakui saja bahwa tukang masakmu terlambat dan bahwa engkau bermaksud menyuguhkan sebuah ceritera sebagai pengganti makanan? Kami cukup baik untuk memaafkan dan mendengarkan kisahmu yang kedengarannya sangat fantastis.”

“Aku akan mengisahkannya, tetapi, betapapun mengherankannya, aku bersumpah bahwa ceriteraku benar sejak awal sampai akhir. Bandit-bandit menangkap dan membawaku ke sebuah tempat yang mengerikan, terkenal dengan nama pekuburan Saint Sebastian. Aku ditangkap untuk mendapatkan uang tebusan sejumlah empat ribu piaster. Celakanya, di kantongku pada waktu itu hanya ada seribu lima ratus. Waktu kunjungan di Italia sudah hampir berakhir dan uangku sudah hampir habis. Aku menulis surat kepada Franz. Oh, ya! Aku pergi bersama Franz, jadi, kalau perlu, kalian boleh menyuratinya bertanya apakah aku bohong atau tidak. Aku menulis surat kepada Franz, kalau uang yang empat ribu piaster itu belum diterima pada jam enam pagi berikutnya aku akan segera bergabung dengan penghuni-penghuni kuburan itu. Dan aku dapat meyakinkan kalian bahwa Signor Luigi Vampa – itulah nama kepala bandit — akan memegang teguh kata-katanya”

“Dan Franz datang dengan uang yang empat ribu piaster itu, bukan?” kata Chateau-Renaud.

“Tidak. Sederhana sekali. Dia datang dikawani seorang jentelmen yang kedatangannya aku nantikan sekarang dan yang aku harapkan dapat memperkenalkannya kepada kalian. Orang itu mengatakan beberapa kalimat kepada kepala bandit, dan aku bebas.”

“Dan aku kira, bahkan mereka meminta maaf karena telah menahanmu,” kata Beauchamp menyindir.

“Ya, benar. Mereka meminta maaf,” kata Albert

“Orang itu mesti atasannya kepala bandit!”

“Bukan, orang itu adalah Count of Monte Cristo.”

‘Tidak ada orang yang bernama Count of Monte Cisrto,” kata Debray.

“Aku kira juga tidak ada,” tambah Chateau-Renaud dengan keyakinan seseorang yang mengenal semua bangsawan Eropah di telapak tangannya, “Adakah di sini yang pernah mendengar nama Count of Monte Cristo, di mana saja?”

“Barangkali ia datang dari Kota Suci,” kata Beauchamp. “Salah seorang leluhurnya mungkin pernah memiliki Calvari, sebagaimana halnya kaum Mortemart dahulu memiliki Laut Mati.”

“Maafkan saya,” kata Maximilien, “barangkali saya dapat menjelaskan. Monte Cristo adalah nama sebuah pulau kecil yang sering saya dengar dalam percakapan-percakapan awak kapal ayah saya. Sebuah pulau pasir di tengah-tengah kepulauan Mediterania.”

“Benar,” kata Albert “Dan orang yang aku maksud ini adalah pemilik dan raja pulau pasir itu. Mungkin saja dia membeli gelar Countnya di sesuatu tempat di Tuscani. Tetapi itu tidak merubah kenyataan bahwa Count of Monte Cristo memang ada.”

“Setiap orang ada, tak ada yang aneh dalam hal ini.”

“Setiap orang ada, memang benar, tetapi tidak seperti Count of Monte Cristo. Orang itu sering sekali membuatku gemetar. Pada suatu hari, umpamanya, kami menonton pelaksanaan hukuman mati. Aku kira aku hampir jatuh pingsan, tetapi lebih banyak disebabkan melihat dan mendengarkan dia berceritera tentang kekejaman-kekejaman di dunia ini daripada disebabkan melihat algojo melaksanakan tugasnya dan mendengar jeritan maut orang yang dihukum.”

“Setelah dia menolong jiwamu, apakah dia menyodorkan sebuah kontrak untuk engkau tandatangani, dalam mana engkau harus menyerahkan hidupmu kepadanya?”

“Silakan tertawa!” kata Albert sedikit tersinggung. “Tertawalah sebanyak dan selama kalian suka. Kalau aku melihat kalian sebagai orang-orang Paris yang rapih, yang terbiasa dengan kemewahan dan kemegahan, kemudian membandingkannya dengan dia, aku cenderung mengatakan bahwa kita berasal dari jenis yang lain daripada dia!”

“Terima kasih, saya merasa dipuji dengan kata-katamu itu!” kata Beauchamp.

“Bagaimana juga, Count of Monte Cristo itu tidak dapat disangsikan lagi seorang yang sopan dan terhormat, kecuali mengenai hubungannya dengan bandit-bandit Italia itu,” kata Chateau-Renaud.

“Bandit-bandit Itali itu tidak ada!” kata Debray.

“Juga tidak ada Count of Monte Cristo,” tambah lagi Beauchamp. “Dengar, lonceng telah berbunyi setengah sebelas. Anggap saja ceritera itu sebagai suatu impian dan mari kita makan.”

Belum lagi gema lonceng menghilang, pintu terbuka dan pelayan berteriak,

“Yang Mulia Count of Monte Cristo!”

Tak seorang pun dari mereka mendengar suara kereta datang atau suara orang berjalan di ruang tunggu, bahkan tidak juga ada yang mendengar pintu dibuka pelayan.

Count of Monte Cristo muncul di ambang pintu, berpakaian dengan amat sederhana, namun, seorang ahli busana pun tidak akan dapat menemukan kesalahan atau kecanggungan dalam pakaiannya itu. Dia tersenyum dan melangkah menghampiri Albert, yang sudah maju menyambutnya dan dengan gembira menjabat tangannya

“Count,” kata Albert, “saya baru saja memberitahukan kunjungan Tuan kepada sebagian dari kawan-kawan saya yang sengaja saya undang untuk kesempatan ini dan yang dengan senang hati ingin saya perkenalkan sekarang. Ini, Count Chateau-Renaud yang kebangsawanannya telah berumur tua sekali dan leluhur-leluhurnya semua termasuk golongan Ksatria. Tuan Lucien Debray, Sekertaris Menteri Dalam Negeri; Tuan Beauchamp wartawan yang tajam penanya, yang menjadi duri bagi Pemerintahan Perancis; dan akhirnya Tuan Maximilien Morrel, kapten dari Spahis.”

Mendengar nama terakhir ini, Count of Monte Cristo yang selama ini membungkukkan badan dengan dingin dan acuh tak acuh setiap kali diperkenalkan, tanpa disadarinya maju selangkah dan pipinya yang pucat berubah menjadi sedikit merah.

“Tuan mengenakan seragam Perancis yang baru.”

“Betul,” sahut Albert, “dan di balik seragam itu berdenyut jantung salah seorang yang paling berani dalam ketentaraan Perancis.”

“Ah, Tuan de Morcerf!” Maximilien menyela.

“Biarkan saya berkata terus, Kapten. Kami baru saja mendengar,” lanjut Albert, “bahwa Tuan Morrel telah melakukan suatu tindakan ksatria. Sekalipun saya baru hari ini untuk pertama kalinya bertemu, saya harap beliau tidak berkeberatan saya perkenalkan sebagai salah seorang sahabat saya”

“Kapten Morrel berhati mulia!” sambut Count of Monte Cristo. “Senang sekali saya rasanya!”

Pernyataan spontan dari Count of Monte Cristo ini mengejutkan semua, terutama Maximilien sendiri yang memandang kepada Count of Monte Cristo dengan rasa heran.

“Tuan-tuan,” kata Albert, “pelayan telah memberitahukan bahwa makanan telah siap. Ijinkanlah saya menunjukkan jalan, Count.”

Mereka semua masuk ke dalam ruang makan dan masing-masing mengambil tempat. Albert memperhatikan bahwa Count makannya sedikit.

“Saya khawatir bahwa makanan Perancis tidak sesuai dengan selera Tuan. Seharusnya sejak jauh-jauh hari saya sudah bertanya apa yang menjadi kesukaan Tuan.”

“Kalau Tuan mengenal saya cukup baik,” jawab Count tersenyum, “Tuan tidak perlu bersusah-payah memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting bagi seorang yang suka bepergian seperti saya. Saya dapat hidup dengan makaroni di Napoli, dengan polenta di Milan, olla podrida di Valensia, sayur kari di India, pilau di Istambul atau sarang burung di Negeri Cina. Saya makan segala makanan di segala tempat, tetapi sedikit. Dan hari ini, kebetulan sekali nafsu makan saya lagi baik karena saya belum makan sejak kemarin pagi.”

“Sejak kemarin pagi?” tamu-tamu lain berkata hampir berbarengan. “Tuan tidak makan selama dua puluh empat jam?”

“Benar,” jawab Count of Monte Cristo. “Saya agak terlambat dalam perjalanan kemarin, sehingga saya tidak mau berhenti untuk makan.”

“Apakah Tuan tidak makan dalam kereta?” tanya Albert.

‘Tidak, saya tidur, seperti biasa kalau saya merasa jemu dan tidak bernafsu menghibur diri, atau kalau saya lapar dan tidak mau makan.”

”Rupanya Tuan dapat mengatur tidur?” tanya Albert lagi.

“Begitulah kurang lebih.”

“Apakah ada resepnya?”

“Ada, dan manjur sekali”

“Bolehkah kami mengetahuinya?” tanya Debray.

“Mengapa tidak,” kata Count of Monte Cristo. “Saya tidak pernah merahasiakannya.

Campuran dari madat yang baik dengan ganja yang tumbuh di negri Timur. Untuk mendapatkan madat yang baik dan murni, sengaja saya pergi ke Canton. Campurkan kedua bahan itu dalam perbandingan yang seimbang lalu dibuat pil. Kalau Tuan memerlukannya, tinggal menelan saja. Akibatnya akan segera terasa dalam tempo sepuluh menit”

“Tetapi,” kata Beauchamp, yang sebagai seorang wartawan sangat tidak mudah percaya, “apakah Tuan membawanya obat itu setiap waktu?”

“Setiap waktu,” jawab Count of Monte Cristo.

“Tidak berlebih-lebihankah apabila saya meminta melihatnya?” tanya Beauchamp lagi, mencoba menjebak.

“Sama sekali tidak,? kata Count. Dia mengeluarkan sebuah kotak indah terbuat dari batu jamrud dari saku bajunya. Dalam kotak itu terdapat lima atau enam buah pil bundar sebesar-besar kacang. Warnanya kehijau-hijauan, baunya menusuk.

Kotak itu dikelilingkan, tetapi para tamu lebih tertarik oleh jamrudnya daripada oleh pil yang berada di dalamnya.

“Jamrud yang sangat menakjubkan,” kata Chateau-Renaud, “dan yang paling besar yang pernah saya lihat”

“Saya mempunyai tiga buah semacam itu,” kata Count of Monte Cristo. ”satu saya berikan kepada Grand Seigneur yang memasangnya pada pedangnya, dan sebuah lagi kepada Paus yang memasangnya pada mahkotanya berhadapan dengan jamrud lainnya yang sama jenisnya tetapi tidak begitu cantik. Jamrud yang ada pada beliau itu diterima dari Kaisar Napoleon oleh pendahulunya, Pius VII. Yang sebuah ini tetap saya pegang. Saya menyuruh mengoreknya menjadi sebuah kotak. Setengah dari nilainya hilang terkorek, namun kehilangan itu seimbang dengan kegunaan yang saya maksudkan.”

Setiap orang melihat kepada Count of Monte Cristo dengan penuh keheranan. Dia berbicara begitu polos sehingga menimbulkan kesan ia gila atau berkata sebenarnya.

Tetapi jamrud yang pernah dipegang masing-masing menjadi bukti nyata bahwa apa yang dikatakannya benar belaka.

“Dan apa yang Tuan terima dari kedua pembesar itu sebagai penukarnya?” tanya Debray.

“Grand Seigneur memberikan kebebasan kepada seorang wanita,” jawab Count, “dan Bapa Suci memberikan nyawa seseorang kepada saya.”

“Tentu Peppino yang jiwanya Tuan selamatkan itu, bukan?” tanya Albert.

“Mungkin,” jawab Count of Monte Cristo tersenyum.

“Tuan tentu tak akan dapat membayangkan betapa senang hati saya mendengar Tuan berbicara seperti itu!” kata Albert. “Saya tadi menggambarkan Tuan kepada teman-teman sebagai orang yang aneh, seperti seorang bijaksana dari ceritera Seribu Satu Malam, seperti seorang ahli sihir dari abad pertengahan. Tetapi orang-orang Paris ini suka menganggap suatu kebenaran yang tidak terbantahkan sebagai suatu permainan daya khayal belaka, apabila kebenaran itu tidak cocok dengan cara hidup mereka sehari-hari. Tolong Tuan ceriterakan bahwa saya ditangkap oleh bandit-bandit Italia dan bahwa jika tidak karena campur tangan Tuan mungkin sekarang saya sedang menantikan Pengadilan Terakhir di pekuburan Saint Sebastian, dan bukannya menjamu mereka sekarang di rumah saya yang sederhana ini. Selain dari itu, saya pun ingin mengetahui bagaimana Tuan telah menanamkan pengaruh yang begitu besar pada Luigi Vampa yang kita ketahui tidak banyak yang dia segani. Franz dan saya betul-betul merasa terkesan.”

“Saya telah mengenal Luigi Vampa kurang lebih sepuluh tahun lamanya,” kata Count of Monte Cristo. “Pada suatu hari, ketika ia masih kanak-kanak dan masih menjadi gembala yang sederhana, pernah saya memberinya sebuah mata uang emas sebagai hadiah karena telah menunjukkan jalan kepada saya. Supaya tidak merasa berhutang budi, dia memberikan sebilah belati yang dibuatnya sendiri sebagai penukarnya. Saya kira Tuan pernah melihatnya dalam koleksi senjata-senjata saya. Beberapa tahun kemudian, mungkin karena dia telah lupa kepada pertukaran hadiah yang sebenarnya dapat membuat kami bersahabat, atau mungkin juga karena dia tidak mengenali saya, dia mencoba menangkap saya. Tetapi kejadiannya, bukan saya yang dia tangkap, melainkan dia yang saya tangkap, termasuk selusin anak buahnya. Sebenarnya, pada waktu itu saya dapat menyerahkannya kepada pengadilan Roma yang tentu saja akan me-mashurkan nama saya dan pengadilan pun akan dengan senang hati segera mengadilinya. Tetapi saya tidak melakukannya. Saya membebaskan dia, juga anak buahnya.”

“Dengan syarat bahwa mereka tidak berbuat jahat lagi” kata si wartawan tertawa “Saya senang sekali mengetahui bahwa mereka memegang teguh janjinya.”

‘Tidak,” jawab Count of Monte Cristo, “hanya dengan syarat bahwa ia selalu akan menghormati saya dan kawan-kawan saya. Itulah sebabnya saya dapat melepaskan Tuan rumah kita dari tangannya. Saya mempunyai maksud tertentu dengan menyelamatkan Tuan. Saya ingin mengunjungi Tuan dan meminta pertolongan Tuan untuk memperkenalkan saya kepada masyarakat Paris apabila saya berkunjung ke Perancis. Ketika itu Tuan dapat menganggapnya sebagai suatu angan-angan selintas, tetapi sekarang telah benar-benar menjadi suatu kenyataan yang akan membuat Tuan menderita bila Tuan tidak memenuhi janji.”

“Saya akan memegang janji itu,” kata Albert, “tetapi saya khawatir Tuan akan kecewa Tuan telah biasa dengan pemandangan-pemandangan yang indah, kejadian-kejadian yang menakjubkan dan pengetahuan yang luas, padahal Perancis hanyalah sebuah negara yang menjemukan dan Paris hanya sebuah kota yang terkenal peradabannya saja. Sebab itu hanya ada satu hal saja yang dapat saya lakukan dan untuk itu saya menyerahkan segalagalanya yang ada pada saya, yaitu memperkenalkan Tuan ke mana-mana atau meminta sahabat-sahabat saya melakukannya. Saya tidak berani menawarkan Tuan tinggal bersama saya seperti yang telah Tuan lakukan kepada saya di Roma, karena tempat saya ini demikian kecilnya sehingga tak ada lagi tempat untuk Sebuah bayangan pun, kecuali sebuah bayangan seorang wanita.”

“Aha, saya ingat” kata Count, “di Roma Tuan pernah mengatakan tentang kemungkinan menikah apabila Tuan -kembali ke Paris. Apakah ucapan selamat sudah pada tempatnya sekarang?”

“Belum ada sesuatu kepastian, tetapi saya harap tak lama lagi saya sudah dapat memperkenalkannya, kalaupun tidak sebagai isteri, sebagai tunangan. Nona Eugenie Danglars.”

“Eugenie Danglars!” kata Count of Monte Cristo “Putri Baron Danglars?”

“Benar. Tuan mengenalnya?”

“Tidak, saya tidak mengenalnya,” kata Count polos, “tetapi mungkin sekali dalam waktu yang dekat ini saya akan menjadi kenalannya, oleh karena saya mempunyai suatu perhitungan keuangan dengan beliau melalui perusahaan Richard and Blount di London, Arstein and Eskeles di Wina, dan Thomson and French di Roma.”

Ketika menyebut nama yang terakhir ini Monte Cristo melirik kepada Maximilien Morrel dengan sudut matanya. Anak muda itu terkejut seakan-akan ia menerima sentakan aliran listrik.

“Thomson and French,” katanya. “Tuan mengenal perusahaan itu?”

“Mereka adalah bankir saya di Roma,” kata Count of Monte Cristo dengan tenang.

“Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan bagi Tuan sehubungan dengan perusahaan itu?”

“Barangkali Tuan dapat menolong kami mengetahui sesuatu perkara yang selama ini gelap bagi keluarga kami. Perusahaan itu pernah membuat sesuatu jasa yang besar sekali artinya bagi kami, tetapi, entah apa sebabnya, mereka selalu menyangkal telah melakukannya.”

“Saya akan merasa senang sekali membantu Tuan sepanjang dalam batas kemampuan saya, Kapten.”

“Maaf sebentar,” kata Albert, “kita telah menyimpang terlalu jauh dari pokok pembicaraan. Tadi kita sedang membicarakan rumah yang patut bagi tempat tinggal Count of Monte Cristo. Mari, kawan-kawan, kita pecahkan bersama-sama, di mana kita akan menempatkan tamu baru saya di kota Paris ini?”

“Di Faubourg Saint-Germain,” kata Chateau-Renaud. “Beliau akan mendapatkan rumah kecil mungil dengan pelataran dan kebun di sana.”

“Engkau tidak mengetahui lebih dari daerah yang suram itu,” kata Debray. “Jangan dengarkan dia, Count. Ambillah sebuah rumah di Chaussee d’Antin pusat kota Paris.”

“Jangan, lebih baik di Boulevard de L’Opera,” kata Beauchamp. “Tuan akan dapat melihat seluruh kota Paris dari sana.”

“Bagaimana pendapatmu, Morrel?” tanya Chateau-Renaud. “Ada usul?”

“Ada,” jawab perwira muda tersenyum. “Tadinya saya mengira Count of Monte Cristo akan tertarik kepada salah satu usul yang dikemukakan tadi. Karena beliau tetap diam, saya kira saya juga dapat menawarkan sebuah kamar dalam sebuah rumah kecil yang disewa adik perempuan saya beberapa tahun terakhir ini. Letaknya di Rue Meslay.”

“Apakah Tuan mempunyai saudara perempuan?” tanya Count of Monte Cristo.

“Betul, dan seorang adik yang baik.”

“Sudah menikah?”

‘Telah sembilan bulan.”

“Bagaimana, berbahagia?”

“Sebahagia yang diijinkan Tuhan bagi manusia. Dia menikah dengan laki-laki yang dicintainya, orang yang tetap setia kepada keluarga kami ketika kami ditimpa nasib buruk. Emmanuel Herbaut namanya. Saya tinggal bersama mereka selama cuti ini. Ipar dan saya sendiri siap melakukan apa saja yang Tuan perlukan.”

‘Terima kasih, Kapten. Saya akan merasa cukup puas dengan diperkenalkan kepada adik Tuan dan suaminya, seandainya Tuan sudi melakukannya. Sebabnya saya tidak menerima saran-saran, yang dikemukakan, hanya karena saya telah mempunyai sebuah rumah. Saya mengirimkan pembantu saya lebih dahulu ke Paris untuk membeli sebuah rumah, bahkan mungkin ia sudah selesai memperlengkapi-nya sekarang”

“Saya mengartikan bahwa pembantu Tuan telah mengenal Paris,” kata Beauchamp.

“Ini merupakan kunjungannya yang pertama kali ke Paris, dan ia seorang bisu.”

“Ali?” tanya Albert di tengah-tengah keheranan tamu-tamu lain.

“Benar. Ali orang bisu dari Nubia. Tuan telah melihatnya di Roma saya kira.”

“Ya. Saya ingat benar. Tetapi bagaimana Tuan dapat mengutus seorang Afrika Nubia lagi pula bisu untuk membelikan sebuah rumah di Paris dan memperlengkapinya? Saya yakin semuanya akan salah. Kasihan dia.”

“Bahkan sebaliknya. Saya yakin ia telah memilih segala-galanya sesuai dengan selera saya. Seperti Tuan ketahui, selera saya jauh berlainan dari selera orang lain. Dia sampai di sini seminggu yang lalu dan saya yakin telah menjelajahi seluruh kota Paris dengan ketajaman hidung seekor anjing pemburu. Dia mengetahui semua kebiasaan, kesenangan dan keperluan saya dan saya yakin juga ia telah mengatur segala-galanya sesuai dengan kemauan saya. Dia tahu bahwa saya akan datang hari ini pada jam sepuluh. Dia menunggu di Barriere de Fontainebeau untuk memberikan secarik kertas ini, alamat saya di sini. Silakan baca.” Count of Monte Cristo menyerahkan kertas itu kepada Albert.

“Champs Elysee No. 30.”

“Sungguh, suatu penemuan yang orisinil!” seru Beauchamp.

“Dan megah bagaikan rumah seorang putera raja,” tambah Chateau-Renaud.

“Apakah ini berarti bahwa Tuan belum pernah melihat rumah Tuan sendiri?” tanya Debray.

“Benar, saya belum melihatnya. Saya tidak ingin datang terlambat di sini. Sebab itu saya berganti pakaian dalam kereta dan langsung menuju pintu rumah Tuan de Morcerf.”

Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain. Mereka tidak yakin apakah Count of Monte Cristo ini bergurau atau bukan. Tetapi cara berbicaranya begitu sederhana dan tegas sehingga sukar untuk menyangkalnya sebagai suatu kebohongan. Lagi pula apa gunanya dia berbohong.

“Saya kira kita harus puas dengan jasa-jasa kecil yang masih dapat kita lakukan dalam batas-batas kemampuan kita,” kata Beauchamp. “Sebagai seorang wartawan saya dapat membukakan semua pintu gedung-gedung teater di Paris.”

“Terima kasih,” jawab Monte Cristo tersenyum. “Tetapi saya telah memerintahkan pengurus rumah tangga memesan tempat di setiap gedung.”

“Apakah orang itu juga seorang seperti si Nubia bisu?” tanya Debray.

“Bukan. Saya kira Tuan telah mengenalnya, Tuan Morcerf.”

“Signor Bertuccio, ahli menyewa jendela itu?”

“Tepat. Dia orang baik yang pernah menjadi prajurit, juga pernah menjadi penyelundup. Tegasnya, dia adalah orang yang serba bisa. Bahkan saya tidak berani bersumpah bahwa ia belum pernah terlibat dengan polisi karena perkara penikaman.”

“Rupanya,” kata Chateau-Renaud, “Tuan telah mempunyai rumah tangga yang lengkap. Tuan mempunyai sebuah rumah di Champs Elysee, seorang pembantu dan seorang pengurus rumah tangga. Yang masih Tuan perlukan sekarang, seorang gundik.”

“Saya mempunyai yang lebih baik,” jawab Monte Cristo. “Saya mempunyai seorang hamba sahaya. Tuan-tuan menyewa gundik di gedung opera atau gedung sandiwara, saya membelinya di Istambul. Memang saya membayar lebih banyak, tetapi tak ada yang patut disesalkan.”

“Tetapi Tuan lupa suatu hal,” kata Debray tertawa, “bahwa begitu hamba sahaya Tuan menginjakkan kakinya di Perancis dia menjadi orang merdeka.”

“Siapa yang akan mengatakan itu kepadanya?” tanya Monte Cristo.

“Orang pertama yang berbicara dengan dia!”

“Dia tidak mengerti bahasa lain kecuali Yunani modern.”

“Ah, kalau begitu lain soalnya,”

“Apakah kami boleh melihatnya nanti, paling sedikit?” tanya Beauchamp. “Karena Tuan telah mempunyai seorang bisu, apakah Tuan juga mempunyai seorang kasim?”

“Tidak. Saya tidak menganut kebiasaan Timur sampai mengebiri orang. Tidak sampai sejauh itu! Setiap orang di sekeliling saya merdeka untuk meninggalkan saya setiap saat. Dengan meninggalkan saya berarti dia sudah tidak memerlukan saya lagi atau orang lain. Barangkali itulah sebabnya tak seorang pun bermaksud pergi,”

Telah lama mereka selesai makan.

“Sudah setengah tiga,” kata Debray tiba-tiba berdiri. “Tamumu sangat menyenangkan, Albert. Tetapi cepat atau lambat kita tidak boleh tidak harus meninggalkan pertemuan betapapun menyenangkannya pertemuan itu. Sudah waktunya aku kembali ke Kementrian.”

Ketika Beauchamp akan pulang dia berkata kepada Albert, “Aku tidak akan pergi ke Parlemen hari ini. Aku mempunyai sesuatu yang lebih baik bagi para pembaca daripada pidato Tuan Danglars.”

“Jangan, Beauchamp ” kata Albert, “jangan diberitakan. Aku mohon! Jangan menghilangkan kehormatan ku untuk memperkenalkan beliau. Bukankah beliau seorang yang aneh?”

“Lebih dari aneh,” kata Chateau-Renaud, “beliau adalah salah seorang yang paling luar biasa yang pernah kutemukan. Kau pulang juga, Morrel?”

“Setelah saya memberikan kartu namaku kepada Count. Beliau berjanji akan berkunjung ke rumahku.”

“Dan Tuan boleh yakin akan itu,” kata Monte Cristo.

Maximilien Morrel keluar bersama Chateau-Renaud, meninggalkan Monte Cristo berdua dengan Albert de Morcerf.

Report Page