The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XXIa

KETIKA Franz siuman kembali, ia melihat Albert sedang minum segelas air. Menilik wajahnya yang pucat, jelas sekali ia sangat memerlukannya. Sedangkan Count of Monte Cristo sudah berganti pakaian dengan pakaian pelawak istana. Franz melepaskan pandangannya ke arah lapangan. Semuanya telah tiada: gilyotin, algojo dan korban. Yang ada tinggal serombongan manusia dengan teriakannya.

“Ada apa?” tanya Franz.

“Tak ada apa-apa,” jawab Count of Monte Cristo. “Sama sekali tak ada apa-apa. Gemuruh manusia itu berarti bahwa karnaval sudah dimulai. Silakan cepat berganti pakaian. Lihat, Tuan de Morcerf sudah memberi contoh.”

Dengan pikiran entah di mana Albert mengenakan celana kain tafeta di luar celana hitamnya, lalu mengenakan sepatu bot yang tinggi. Akan sangat tidak lucu kalau Franz tidak mau segera mengikuti contoh kawannya. Oleh sebab itu ia pun mengenakan pakaian karnavalnya, juga topengnya yang warnanya tidak sepucat wajahnya.

Kereta telah menunggu di bawah, penuh dengan bunga-bunga dan kertas konfeti. Tak mudah membayangkan perubahan yang begitu sempurna seperti yang terjadi sekarang di Piazza del Popolo. Kalau tadi dicekam oleh suasana murung dan kedinginan kematian, sekarang diliputi kegaduhan pesta-pora yang liar. Bergerombol-gerombol orang bertopeng datang dari semua penjuru. Ada yang keluar melalui pintu-pintu gedung sekeliling lapangan, banyak pula yang bergelantungan menuruni jendela-jendela. Kereta-kereta pun berdatangan dari semua jalan. Penumpangnya bermacam-macam: badut, bangsawan, satria, petani dan lain-lain yang pakaiannya menggelikan, semuanya berteriak-teriak gembira, melambai-lambai atau menaburkan konfeti dan bunga-bunga baik kepada yang dikenal maupun kepada yang tidak dikenal. Yang dilempari bukannya marah, justru malah senang. Balkon dan jendela-jendela gedung bertingkat empat atau lima yang berjejer sepanjang Via del Corso semuanya berhias indah mewah Semuanya penuh dengan manusia berbagai bangsa yang berdatangan dari empat penjuru dunia. Di jalanan orang-orang bergembira hampir lupa diri, liar dan tak mengenal lelah, berseliweran dengan pakaian karnaval yang beraneka ragam. Yang seorang ingin lebih aneh atau lebih lucu dari yang tain. Ada kubis raksasa menggelinding, manusia berkepala banteng, atau anjing besar seperti berjalan di atas kedua kaki belakangnya. Di tengah tengah kepadatan dan keramaian itu banyak yang berusaha melepaskan topeng orang lain mencari wajah tampan atau cantik. Kalaupun ditemukan toh tak mungkin diikuti, oleh karena antara mereka seakan-akan terhalang oleh wajah-wajah setan seperti dalam mimpi.

Setelah mereka mengelilingi lapangan sebanyak dua kali. Count of Monte Cristo menghentikan keretanya di depan Palazzo Rospoli lalu meminta diri meninggalkan mereka.

“Tuan-Tuan,” katanya, “apabila Tuan-tuan telah merasa lelah dan ingin menjadi penonton kembali, Tuan-tuan mengetahui bahwa Tuan-tuan mempunyai tempat menonton di jendela kamar saya. Sementara itu kereta dan saisnya saya serahkan untuk dipergunakan sesuka hati.”

Franz mengucapkan terima kasih untuk tawaran yang demikian baiknya.

Setelah kereta berjalan lagi Albert berpaling kepada kawannya dan bertanya, “Kau lihat itu?”

“Apa?”

“Lihat di sana, sebuah kereta penuh dengan gadis-gadis berpakaian petani Roma Aku yakin mereka cantik-cantik.”

“Buat apa kita bertopeng, pikirmu? Nanti akan ada kesempatan mengejar kekurangan petualangan cintamu di Italia ini.”

“Oh,” kata Albert setengah bergurau setengah sungguh-sungguh, “aku pikir tak lucu kalau karnaval ini berlalu begitu saja tanpa sesuatu imbalan.”

Meskipun Albert tetap berharap, namun hari itu berlalu tanpa memberikan kejadian-kejadian yang mengesankan selain bertemu dengan kereta penuh gadis itu dua tiga kali lagi. Pada salah satu kesempatan, entah disengaja entah tidak, topeng Albert terlepas ketika ia melemparkan bunga-bunga ke dalam kereta mereka. Rupanya salah seorang dari gadis-gadis itu terkesan oleh sikap Albert. Ketika mereka bertemu sekali lagi, dialah yang sekarang melemparkan bunga ungu ke dalam kereta Albert. Albert segera mengambilnya dan Franz membiarkannya, karena Franz tidak mempunyai alasan untuk mengira bunga itu dilemparkan untuknya. Albert menyelipkannya di lubang kancing bajunya dan kereta berjalan terus.

“Tampaknya,” kata Franz, “ini merupakan awal suatu petualangan.”

“Engkau boleh tertawa Franz, kalau mau, tetapi aku yakin, begitulah adanya.”

Keyakinan Albert bertambah kuat ketika mereka bertemu sekali lagi. Melihat bunga yang dilemparkannya telah mendapat tempat terhormat pada jas Albert, gadis itu bertepuk gembira.

Esok paginya, Count of Monte Cristo mengunjungi mereka di kamarnya. “Tuan-tuan, saya datang untuk mengatakan bahwa Tuan-tuan dapat menggunakan kereta sesuka hati sampai karnaval berakhir. Saya masih mempunyai dua buah lagi. Bila ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita dapat bertemu di Palazzo Rospoli”

Kedua bangsawan itu mencoba menolak, tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk menolak tawaran itu, terutama karena tawaran itu sangat menyenangkan. Count of Monte Cristo masih tetap tinggal untuk kira-kira seperempat jam lamanya, berceritera tentang bermacam-macam perkara dengan penuh gairah. Dia sangat menguasai bacaan berbagai negara Bila melihat dinding ruangannya Franz dan Albert yakin bahwa dia pun seorang kolektor lukisan yang baik. Dari pembicaraannya jelas juga bahwa ilmu pengetahuannya pun luas sekali terutama dalam bidang ilmu kimia.

Setelah tamunya berangkat, Franz dan Albert turun menuju kereta yang sudah menunggu. Albert masih memasang bunga ungunya yang sudah layu di bajunya.

Hanya beberapa saat setelah mereka sampai di Via del Corso, bunga-bunga harum yang masih segar dilemparkan orang ke dalam keretanya, Albert mengganti yang layu dengan yang segar, dan memegang sisanya di tangan dan menciumnya ketika bertemu kembali dengan kereta pembawa gadis-gadis. Suatu tindakan yang bukan saja menyenangkan gadis pelemparnya, tetapi juga kawan-kawannya. Sehari penuh mereka bercumbu dari kereta masing-masing.

Ketika kembali ke hotelnya pada malam hari, Franz menemukan sebuah surat dari Kedutaan Perancis memberitahukan bahwa dia mendapat kehormatan diterima berkunjung oleh Paus, esok hari.

la menghabiskan waktunya sehari penuh di Vatikan. Setelah itu langsung pulang ke hotelnya. Jam lima lebih lima menit Albert masuk. Jelas kelihatan ia sangat gembira karena gadis pelempar bunga ungu telah melepaskan topengnya ketika bertemu, dan ternyata ia sangat cantik.

Franz mengucapkan selamat dengan tulus, dan Albert menerimanya dengan bangga. Dia bermaksud menyurati gadis itu esok hari. Franz tidak punya niat menghalangi petualangan sahabatnya yang penuh harapan ini, bahkan bersedia memberinya kesempatan. Ia menyilakan Albert menggunakan kereta sesukanya sedangkan ia akan memuaskan diri dengan menonton dari jendela Palazzo Rospoli.

Esok paginya Franz melihat Albert dengan keretanya hilir-mudik di sepanjang Via del Corso. Ia mempunyai persediaan bunga banyak sekali yang jelas tujuannya untuk pengantar tintanya.

Malam itu Albert tidak gembira Ia sudah tergila-gila dirundung rindu. Dia yakin gadisnya akan membalas suratnya, tetapi menunggunya, itulah yang menyiksa. Franz memahami keadaan Albert, sebab itu dia berdalih bahwa kegaduhan karnaval sangat melelahkan dan ia bermaksud esok tinggal seharian di kamar membaca dan menulis.

Harapan Albert tidak dikecewakan. Malam berikutnya Framt melihat dia berlari masuk kamar sambil mengacung-acungkan sehelai kertas di tangannya.

“Surat balasan?” tanya Franz.

“Baca saja,” kata-kata itu diucapkannya dengan air muka yang sukar dilukiskan. Franz mengambil surat dari tangan Albert dan membacanya:

Selasa malam jam tujuh, tinggalkan kereta Tuan di muka Via del Pontefeci Jangan lupa memakai pita merah sebagai tanda pengenal. Apabila sudah sampai di kaki tangga Gereja San Ciacomo, seorang gadis akan merenggut moccoletti dari tangan Tuan. Ikuti dia. Tapi Tuan tidak akan melihat saya. Harap jangan mengecewakan dan hati-hati.

“Nah, apa katamu, Franz?”

“Kupikir, engkau berada diambang petualangan yang menggairahkan.”

“Begitu juga perasaanku. Karena itu aku khawatir engkau harus memenuhi undangan Duke Bracciano seorang diri.”

Franz dan Albert telah menerima undangan dari seorang bankir Roma ternama tadi pagi.

Akhirnya, hari terakhir dan hari yang menjadi puncak kegembiraan karnaval, tiba. Semua teater dibuka sejak jam sepuluh pagi karena masa berpuasa akan dimulai jam delapan malam nanti. Mereka yang selama karnaval tidak turut serta karena kekurangan waktu, uang atau semangat, pada hari terakhir itu semua turun ke jalanan turut meramaikan puncak acara.

Menjelang petang para penjual moccoletti telah mulai kelihatan di mana-mana.

Moccoletti atau moccoli berarti lilin dalam berbagai ukuran. Tujuannya dalam pesta ini ada dua. Pertama, bagaimana menjaga agar moccoletti sendiri tetap menyala, dan kedua bagaimana memadamkan milik orang lain.

Franz dan Albert bergegas membeli moccoletti seperti orang lain. Ketika bintang-bintang pertama mulai bersinar di langit yang seakan-akan dianggap sebagai isyarat, ribuan cahaya lilin berkelap-kelip dan menari sepanjang jalan, dibarengi dengan teriakan dan nyanyian gembira yang memekakkan telinga.

Setiap lima menit sekali Albert melihat arlojinya. Jam tujuh tepat, kedua sahabat itu sudah sampai di sudut Via del Pontefeci. Albert meloncat ke luar dari keretanya dengan sebuah moccoletti di tangan. Dua tiga orang mencoba memadamkannya atau merenggut lilin dari tangannya, tetapi Albert yang memang seorang petinju yang terlatih berhasil menggagalkan usaha mereka Dia berjalan ke Gereja San Giacomo.

Franz mengikuti Albert dengan pandangannya dan melihat dia sudah sampai di kaki tangga gereja Seorang wanita bertopeng, berpakaian seperti petani Roma merebut lilin Albert. Sekali ini Albert tidak mengadakan perlawanan. Jaraknya terlampau jauh bagi Franz untuk menangkap pembicaraan mereka, tetapi jelas mereka tidak bertengkar sebab selanjutnya Franz melihat mereka berjalan sambil bergandengan tangan.

Tiba-tiba bunyi lonceng’ tanda berakhirnya karnaval bergema. Serempak moccoletti padam semua bagaikan dihembus angin ajaib. Keadaan menjadi gelap gulita.

Segala kegaduhan dan kebisingan berhenti bersamaan dengan padamnya lilin-lilin.

Yang terdengar tinggal suara kereta-kereta berlari membawa peserta-peserta pesta pulang ke rumahnya masing-masing.

Yang masih tampak jelas dalam kegelapan itu hanya cahaya teram-temaram dari beberapa jendela. Karnaval telah berakhir.

Franz belum pernah mengalami perubahan yang begitu mendadak dan tajam seperti sekarang. Dari kegembiraan kepada kesepian. Perubahan ini pun seakan-akan disebabkan angin ajaib tadi yang menghembuskan setan-setan untuk mengubah Roma yang gembira menjadi suatu kuburan luas yang sepi mengerikan.

Dia kembari ke hotel dan mendapatkan makanan sudah disiapkan. Oleh karena Albert sudah memberitahu bahwa mungkin sekali ia akan pulang lambat, Franz makan sendirian.

Jam sebelas, Albert masih juga belum pulang. Franz memesan keretanya dan berangkat ke rumah Duke Bracciano. Ketika Duke melihat Franz datang sendiri, yang paling dahulu ditanyakan kemana Albert. Franz menjawab bahwa ia kehilangan Albert ketika moccoletti padam semua

“Dan apakah ia belum pulang?”

“Saya menunggu sampai jam sebelas.”

‘Tahukah Tuan ke mana dia pergi?”

“Tidak, tetapi saya rasa dia mempunyai janji dengan wanita.”

“Sekarang ini sebenarnya kurang aman untuk berada di luar pada larut malam,” kata Duke. ‘Tuan yang telah mengenal Roma lebih baik, selayaknya menghalangi dia pergi.”

“Mencegah Albert pada waktu ini sama halnya dengan menahan kuda kabur. Tetapi saya meninggalkan pesan di hotel bahwa saya berada di sini dan meminta pemilik hotel agar segera memberitahu apabila dia sudah datang.”

“Nah, itu pelayan. Saya kira, dia mencari Tuan.”

Duke tidak keliru. Ketika pelayan itu melihat Franz segera ia menghampirinya dan berkata, “Yang Mulia, Signor Pastrini memberitahukan bahwa ada seseorang menunggu Tuan di hotel dengan membawa surat dari Tuan de Morcerf.”

“Mengapa dia tidak mengantarkannya ke mari?”

‘Tidak ada penjelasan, Yang Mulia.”

“Mana sekarang suruhan Signor Pastrini itu?”

“Dia pergi lagi setelah menyampaikan pesannya kepada saya.”

Franz mengambil topinya dan segera meninggalkan pesta. Ketika sudah dekat hotelnya ia melihat seorang laki-laki berdiri di tengah jalan. Franz yakin, dia mesti orang yang membawa surat dari Albert. Franz menghampirinya, tetapi mengejutkan sekali, orang itu yang lebih dahulu bertanya: “Ada apa?”

“Apakah Tuan yang membawa surat untuk saya dari Tuan de Morcerf?”

“Siapa nama Tuan?”

“Baron Franz d’Epinay.”

“Benar, surat itu dialamatkan kepada Tuan.”

“Apa perlu jawaban?” tanya Franz sambil menerima surat.

“Ya, setidak-tidaknya demikianlah harapan teman Tuan.”

“Mari masuk, nanti saya berikan jawabannya.”

“Saya lebih senang menanti di sini,” jawabnya tertawa.

“Mengapa?”

‘Tuan akan memahami setelah membaca surat itu.” Franz masuk ke dalam, menyalakan sebatang lilin dan membaca:

Franz yang baik,

Setelah engkau membaca surat ini, tolong ambilkan uangku dalam dompet yang kusimpan dalam laci lemariku. Tambah dengan uangmu sendiri apabila tidak mencukupi. Berikan empat ribu piaster kepada pembawa surat ini. Sangat penting, aku memerlukannya sekarang juga.

Aku percaya padamu seperti engkau dapat mempercayaiku.

Sahabatmu

ALBERT DE MORCERF

PS.

Sekarang aku percaya akan ceritera tentang bandit Italia.

Di bawah itu, dengan tulisan tangan yang berbeda, terbaca lagi beberapa kalimat

dalam bahasa Italia:

Apabila uang yang empat ribu piaster itu belum saya terima pada jam enam pagi, jam tujuh Count Albert de Morcerf hanya tinggal nama saja.

LUIGI VAMPA

Tanda tangan yang kedua ini menjelaskan semua persoalan, dan dia mengerti mengapa pengantar surat itu tidak mau dibawa masuk. Albert telah jatuh ke tangan kepala bandit yang tersohor, yang semula dianggapnya ada dalam dongeng belaka.

Ia tidak boleh kehilangan waktu. Franz lari ke laci lemari Albert dan mengambil dompetnya. Uang yang ada hanya tiga ribu piaster. Franz sendiri, karena ia tinggal di Florence dan bermaksud tinggal di Roma hanya untuk tujuh hari, hanya membawa uang secukupnya saja dan sekarang tinggal kurang lebih dua ratus piaster lagi. Kekurangan delapan ratus piaster. Tiba-tiba ia teringat kepada Count of Monte Cristo. Dia akan memanggil Pastrini ketika yang bersangkutan muncul.

“Signor Pastrini,” tanya Franz, “apakah Count of Monte Cristo ada di kamarnya?”

“Ada, Tuan. Beliau baru saja kembali”

“Tolong tanyakan apakah beliau dapat menerima saya sekarang?”

Pastrini pergi membawa pesan itu, dan kembali tak lama kemudian.

“Count menunggu Tuan,” katanya.

Franz menemukan Count dalam sebuah kamar kecil yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Sekeliling dindingnya dipasangi dipan.

“Angin baik apakah kiranya yang membawa Tuan pada malam selarut ini?” tanya Count of Monte Cristo. “Barangkali Tuan hendak mengundang saya makan malam?”

“Tidak, saya datang untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Apakah kita hanya berdua saja?”

Count of Monte Cristo pergi ke pintu dan melihat ke luar kamar. “Tak ada orang lain.”

Franz memberikan surat dari Albert. “Silahkan Tuan baca.”

Setelah ia selesai membacanya, Franz bertanya lagi, “Bagaimana pendapat Tuan?” Untuk sesaat Count mengerutkan dahinya. “Di mana orang yang mengantarkan surat ini?”

“Dijalan.”

“Saya akan memanggilnya.”

“Saya kira tak akan ada gunanya. Dia menolak masuk ke kamar saya.”

“Mungkin ia tidak mau masuk ke kamar Tuan, tetapi lain lagi kalau ke kamar saya.”

Dia pergi ke jendela yang menghadap ke jalan, lalu bersiul dengan lagu yang khusus.

Orang suruhan itu meninggalkan dinding tempat ia bersandar, pergi berdiri di tengah jalan.

“Ke mari!” Count of Monte Cristo berteriak dengan nada memerintah dalam bahasa Itali. Orang itu menurut tanpa ragu ragu Beberapa saat kemudian dia sudah berada dalam kamar.

“Ah, engkau kiranya, Peppino!”

Laki-laki itu bukan menjawab, melainkan berlutut kemudian mengambil tangan Count of Monte Cristo dan menciuminya beberapa kali.

Report Page