The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XX

BARON Franz d'Epinay dan Viscount Albert de Morcerf, dua orang bangsawan muda Perancis, pergi ke Roma untuk menyaksikan karnaval. Sejak jauh-jauh hari mereka telah memesan kamar di Hotel de Londres.

Ketika mereka datang, ternyata kamar itu mempunyai dua buah ranjang kecil dan sebuah ruang tamu. Kedua ranjang terletak dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan. Dengan tandas Pastrini -pemilik hotel itu- mengatakan bahwa letak kamar mereka sangat strategis walaupun ukurannya kecil. Semua kamar di lantai bawah telah disewa oleh orang-orang kaya, yang menurut Pastrini, dari Sisilia atau Malta.

“Kamarnya cukup memuaskan, Tuan Pastrini.” kata Franz. “Yang kami perlukan sekarang, makan malam. Juga kami membutuhkan sebuah kereta untuk besok dan untuk hari-hari berikutnya.”

“Makanan dapat segera dihidangkan, tetapi kereta soal lain,” kata pemilik hotel.

“Apa maksudnya soal lain?” Albert bertanya heran. “Harap jangan bergurau, Tuan Pastrini Kami membutuhkan kereta,”

“Kami akan mengusahakan sedapat-dapatnya, Tuan. Hanya itu yang dapat kami janjikan.”

“Bila kami akan dapat berita?”

“Besok pagi.”

“Begini,” kata Albert, “kami bersedia membayar lebih. Saya tahu kebiasaan di Paris. Dua puluh lima frank untuk hari-hari biasa, tiga puluh atau tiga puluh lima untuk Minggu dan hari-hari libur.”

“Saya khawatir, dengan dua kali lipat dari itu, Tuan tidak akan mendapat kereta di Roma,”

“Kalau begitu, kami menyewa kuda saja. Sebenarnya kereta kami agak penyok-penyok karena perjalanan jauh, tetapi tak mengapa.”

“Kuda pun tak ada.”

Albert melihat kepada Franz dengan wajah tak percaya. “Kau dengar, Franz? Tidak ada kuda! Kuda kereta pos pun jadilah. Bisa itu?”

“Semuanya telah disewa orang dua minggu yang lalu. Yang tinggal hanya seekor, agar kereta pos dapat berjalan seperti biasa.”

“Bagaimana pendapatmu,” tanya Franz kepada Albert. Pendapatku, bila sesuatu perkara sudah tidak masuk akalku, aku tidak mau memikirkannya lagi dan mengalihkan perhatian kepada soal lain. Apakah makanan sudah siap, Tuan Pastrini?”

“Sudah, Tuan.”

“Baik, mari kita makan dulu.”

“Bagaimana dengan kereta dan kudanya?” tanya Franz.

“Jangan khawatir, kawan. Akan datang pada waktunya. Soalnya hanya harga saja.”

Albert de Morcerf dengan filsafatnya yang mengagumkan bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi orang yang dompetnya tebal, menikmati makan malamnya, tidur dengan nyenyak dan bermimpi hilir-mudik dalam karnaval dengan menggunakan kereta berkuda enam.

Begitu pagi-pagi terbangun Franz segera memijit bel. Pastrini datang sendiri memenuhi panggilan Franz.

“Untung Saya tidak menjanjikan apa-apa kemarin,” kata Pastrini tanpa menunggu pertanyaan Franz. “Tuan agak terlambat, tidak ada lagi sebuah kereta pun di seluruh Roma untuk tiga hari terakhir karnaval ini.”

“Dan sesudah hari itu, kereta tidak diperlukan lagi” jawab Franz.

“Mulanya bayangan saya tentang Kota Abadi ini lain,” kata Albert menyindir.

“Saya maksud, tidak ada kereta mulai hari Minggu pagi sampai Selasa malam, Tuan. Tetapi sejak hari ini sampai Minggu, Tuan dapat menyewa lima puluh buah kalau Tuan mau,” jawab Pastrini, sedikit bernafsu membanggakan kotanya di mata tamu-tamunya.

“Aha, setidak-tidaknya masih ada kemungkinan,” kata Albert. Sekarang hari Kamis, siapa tahu apa yang akan terjadi antara hari ini dan Minggu yang akan datang.”

“Apakah Tuan masih berminat menyewa kereta sampai hari Minggu nanti?”

“Tentu saja!” jawab Albert. “Apakah Tuan mengira kami mau mengelilingi Roma dengan berjalan kaki seperti pegawai-pegawai ahli hukum?”

“Bila Tuan memerlukannya?”

“Satu jam lagi.”

“Kereta itu akan siap di depan pintu pada waktunya.”

Hari itu, Franz harus menulis beberapa surat ke Perancis. Dia membiarkan Albert menggunakan kereta itu sepanjang hari.

Jam lima sore Albert baru kembali. Dia telah menyampaikan semua surat perkenalan yang dibawanya dari Paris kepada orang-orang terkemuka di Roma, berhasil memperoleh undangan- undangan untuk malam hari, kemudian berkeliling melihat-lihat kota Roma.

Sehari sudah cukup baginya untuk melakukan semua itu. “Aku mempunyai suatu gagasan,” katanya kepada Franz.

“Apa itu?”

“Kita tidak akan mendapat kereta dan kuda sewaan untuk karnaval, bukan?” “Ya.”

“Tetapi pedati dapat.” “Dan sepasang sapi jantan.” “Juga mungkin.”

“Nah, aku akan menyewa sebuah pedati dan menyuruh menghiasnya. Kita sendiri akan berpakaian seperti pemotong padi dari Neapolit.”

“Bagus sekali!” kata Franz. “Sekali ini gagasanmu benar-benar baik! Siapa yang sudah kauberitahu tentang ini?”

“Pemilik hotel. Dia meyakinkan aku bahwa tak ada yang lebih mudah dari itu. Aku minta supaya tanduk-tanduk sapi dipulas warna emas tetapi menurut dia akan memerlukan waktu tiga hari. Karena itu, biarlah tanpa kemewahan itu.”

Pintu kamar terbuka dan Pastrini menjengukkan kepalanya.

“Bagaimana?” Albert bertanya. “Sudah dapat pedati dan sapi itu?”

“Saya menemukan yang lebih baik lagi,” jawab Pastrini dengan wajah puas.

“Apa lagi?” tanya Franz.

”Saya kira Tuan-tuan mengetahui bahwa Count of Monte Cristo tinggal selantai dengan Tuan-tuan. Beliau mendengar tentang kesulitan tuan-tuan mendapatkan kereta dan kuda. Sebab itu beliau berkenan menawarkan dua tempat duduk dalam keretanya dan dua tempat duduk di depan jendela di Palazzo Rospoli”

Franz dan Albert saling berpandangan, “Apakah baik kita menerima tawaran dari orang yang tidak kita kenal?” tanya Albert.

“Siapa Count of Monte Cristo ini?” sekarang Franz yang bertanya.

“Seorang bangsawan besar, kalau bukan dari Sisilia tentu dari Malta. Saya sendiri tidak yakin dari mana. Walau bagaimana hatinya mulia seperti keturunan Borgia dan kaya seperti tambang emas.”

“Aku pikir,” kata Franz kepada Albert, “apabila benar orang ini bangsawan seperti yang dikatakan oleh Tuan Pastrini, selayaknya ia menyampaikan undangannya dengan cara yang lain, apakah dengan surat atau ...”

Sebelum kalimat Franz habis diucapkan terdengar suara ketukan pada pintu.

“Masuk,” kata Franz.

Seorang pelayan berpakaian dinas yang sangat bagus, masuk. “Dari Count of Monte Cristo untuk Tuan Franz d'Epynay dan Tuan Albert de Morcerf,” katanya sambil menyerahkan dua buah kartu kepada pemilik hotel, yang selanjutnya meneruskannya kepada kedua bangsawan muda.

“Count of Monte Cristo,” katanya lagi, “meminta kehormatan untuk dapat berkunjung ke mari besok pagi dan mengharap diberi tahu waktu yang paling baik bagi kedua beliau ini.”

“Katakan kepada Count,” kata Franz, “kamilah yang ingin mendapat kehormatan mengunjungi beliau besok pagi”

Pelayan itu pergi.

“Ini yang namanya menabur dengan kesopanan yang berlimpah-limpah,” kata Albert

“Tuan benar, Tuan Pastrini, Count of Monte Cristo memang seorang berhati mulia.”

“Bolehkah saya mengartikan bahwa Tuan berkenan menerima undangan beliau?” tanya Pastrini.

“Tentu, tentu,” jawab Albert. ”Meskipun harus diakui aku agak menyesal kehilangan pedati dan pakaian pemotong padi itu. Kalau tidak karena jendela di Palazzo Rospoli, saya akan tetap pada gagasan semula. Bagaimana dengan engkau, Franz?”

“Aku kira, jendela di Palazzo Rospoli itu juga yang menentukan bagiku.”

Esok paginya, Franz memanggil Pastrini Seperti biasa ia datang dengan sikap mengabdi. Ketika itu jam sembilan.

“Apakah kami sudah dapat berkunjung kepada Count of Monte Cristo pada waktu sepagi ini?”

‘Tentu saja!” jawab Pastrini. “Beliau biasa bangun pagi sekali. Saya yakin beliau telah bangun dua jam yang lalu.”

“Kalau begitu Albert, kalau engkau sudah siap, kita kunjungi tetangga kita untuk mengucapkan terima kasih untuk keramahannya.”

“Mari!”

Franz dan Albert tidak perlu berjalan jauh. Pastrini mengantar mereka dan memijitkan bel bagi mereka. Seorang pelayan membuka pintu.

“Tuan-tuan dari Perancis,” kata Pastrini. Pelayan itu membungkukkan badan dan mempersilakan masuk.

Mereka masuk ke dalam ruangan yang dilengkapi dengan perabotan yang indah mewah dan tak terbayangkan ada dalam hotel seperti milik Pastrini. Lalu mereka sampai di ruang lukisan yang juga serba rapi dan mewah. Permadani dari Timur menutupi seluruh lantai. Dinding-dindingnya terhias lukisan-lukisan yang indah diselingi senjata-senjata yang juga sangat bagus dan tengkorak-tengkorak binatang buruan. Tirai-tirai dari bahan permadani tergantung di setiap pintu.

“Silahkan Tuan-tuan duduk,” kata pelayan. “Saya akan mengabarkan kehadiran Tuan-tuan.” Dia menghilang melalui salah satu pintu.

Franz dan Albert saling berpandangan. Lalu mereka memperhatikan lagi perabotan-perabotan, lukisan-lukisan dan senjata-senjata. Semua kelihatan lebih indah dibanding ketika terlihat pertama kalinya.

“Apa katamu tentang ini semua?” tanya Franz.

“Saya kira, tetangga kita ini, mesti seorang pengusaha saham yang sangat berhasil, atau seorang putera mahkota yang sedang bepergian incognito.”

“Sst! Kita akan segera tahu. Dia datang.”

Sebuah pintu terbuka dan tirai tersingkap, memberi jalan kepada pemilik semua kemewahan itu.

”Tuan-tuan,” kata Count of Monte Cristo ketika masuk ruangan, “maafkan saya telah membuat Tuan-tuan berkunjung kepada saya, tetapi saya khawatir akan mengganggu apabila saya berkunjung kepada Tuan-tuan sepagi ini. Di samping itu Tuan-tuan telah memberi tahu berniat akan datang dan saya menghormati keinginan itu.”

“Franz dan saya sangat berterima kasih kepada Tuan,” kata Albert. “Tuan telah menolong memecahkan persoalan kami. Kami sedang memikirkan segala macam kendaraan yang mungkin ketika undangan tiba.”

“Salah si bodoh Pastrini sehingga saya agak terlambat menawarkan bantuan.” Sambil mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi panjang yang empuk, dia melanjutkan lagi, “Dia sama sekali tidak menceriterakan apa-apa tentang kesukaran Tuan-tuan. Segera setelah saya mengetahui bahwa saya dapat berbuat sesuatu untuk Tuan-tuan, saya merasa sangat gembira.” Kedua bangsawan muda itu membungkukkan badan. “Pula,” kata Count of Monte Cristo selanjutnya, “hari ini ada acara pelaksanaan hukuman mati di Piazza del Popolo. Saya menyuruh pengurus rumah tangga saya kemarin mencari tempat yang baik untuk menonton itu, sehingga dalam hal ini pun saya dapat menawarkan jasa.” Dia merentangkan tangannya menarik kabel bel.

Tak lama kemudian seorang berumur antara empat puluh lima dan lima puluh datang memasuki ruangan. “Tuan Bertuccio ” katanya, “sudahkah Tuan berhasil mendapatkan jendela untuk menonton acara di Piazza del Polopo seperti yang saya minta kemarin?”

“Sudah, Yang Mulia,” jawab pengurus rumah tangga itu. “Tetapi agak terlambat.”

“Apa?” Dahinya mengerut. “Bukankah saya perintahkan harus berhasil?”

“Benar, dan saya pun tidak gagal. Jendela itu sebenarnya telah disewakan kepada Pangeran Lobanieff sehingga saya terpaksa membayar seratus. . .”

“Cukup, Tuan Bertuccio, jangan kita mengganggu tamu-tamu kita ini dengan hal-hal yang kecil. Tuan telah berhasil mendapatkan sebuah jendela, itu yang perlu kami ketahui. Berikan alamat rumahnya kepada sais,”

Pengurus rumah tangga itu membungkuk dan siap untuk mengundurkan diri.

“Sebentar” kata Count, “tanyakan kepada Pastrini apakah ia sudah menerima acara pelaksanaan hukuman itu.”

‘Tidak perlu, saya kira,” kata Franz sambil mengeluarkan buku catatannya dari sakunya, “saya telah melihat acara itu dan menyalinnya di sini.”

“Baik. Tuan boleh pergi, Tuan Bertuccio. Beritahu kami apabila makan siang sudah siap Sudikah Tuan-tuan memberikan kehormatan dengan makan siang bersama saya?”

“Kami tidak ingin menyalahgunakan kebaikan hati Tuan,” jawab Albert.

“Sama sekali tidak! Justru membahagiakan sekali bagi saya. Tuan-tuan dapat membalasnya suatu waktu nanti di Paris. Tuan Bertuccio telah mempersiapkan meja untuk tiga orang.”

Count of Monte Cristo mengambil buku catatan Franz kemudian membacanya dengan keras, “Orang-orang tersebut ini akan dihukum mati hari ini, Februari tanggal 22: Andrea Rondolo, bersalah membunuh Don Cesare Terlini; Peppino alias Rocca Priori, dinyatakan bersalah terlibat dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Luigi Vampa, bandit yang sangat menjijikkan. Yang pertama akan di-mazzolato yang kedua dipenggal.”

“Ini adalah acara semula. Tadi malam ketika saya berada di rumah Kardinal Rospigliosi saya mendapat kabar bahwa salah seorang ditangguhkan.”

“Yang mana?” tanya Franz.

“Yang kedua,” jawab Count of Monte Cristo. “Berarti kita akan kehilangan acara pemenggalan. Tetapi tak mengapa, masih ada mazzolato, suatu cara pelaksanaan hukuman mati yang aneh kalau kita baru melihatnya untuk pertama kali, bahkan mungkin juga pada kali yang kedua. Pemenggalan kepala terlalu sederhana, tak pernah terjadi suatu yang diluar dugaan. Orang-orang Eropa tidak mengetahui apa-apa kalau sudah sampai kepada urusan pelaksanaan hukuman mati dan penganiayaan. Dalam hal ini mereka masih kanak-kanak atau kuno.”

“Rupanya tuan telah membuat perbandingan-perbandingan tentang pelaksanaan hukuman mati di seluruh dunia,” kata Franz.

“Hanya sedikit yang belum saya lihat,” jawabnya dingin.

“Dan adakah kesenangannya dalam menyaksikan hal yang mengerikan itu?”

“Pada pertama kalinya ada perasaan menolak, selanjutnya tak acuh, lalu ingin tahu.”

“Ingin tahu! Ungkapan yang cukup mengerikan.”

“Mengapa? Kematian adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidup kita ini yang patut menjadi bahan renungan. Bukankah baik kalau kita mengetahui bermacam-macam cara jiwa meninggalkan raganya, dan mempelajari bagaimana seseorang berpindah dari ada ke tiada yang bergantung kepada adat dan wataknya, bahkan juga kepada kebiasaan bangsanya? Bagi saya sendiri dapat saya katakan: makin sering kita melihat orang mati, akan makin mudah bagi kita menghadapi kematian sendiri. Jadi menurut pendapat saya, kematian mungkin sekali merupakan cobaan Tuhan, tetapi jelas bukan penebusan dosa.”

“Maaf, saya tidak dapat mengikuti,” kata Franz. “Tolong dijelaskan. Tuan tidak mengetahui betapa Tuan membangkitkan ke ingin tahuan saya.”

“Begini,” kata Count of Monte Cristo. Wajahnya memperlihatkan kebencian, “apabila ada seorang yang menyiksa dan membunuh bapak kita, ibu kita, kekasih kita, pendeknya salah seorang dari mereka, apabila direnggut dari hati kita akan meninggalkan luka berdarah yang abadi, apakah tuan mengira dosanya telah tertebus dan luka telah terobati hanya karena masyarakat telah menyuruh algojo memisahkan kepala si pelaku dari badannya, hanya karena orang yang telah membuat kita menderita batin bertahun-tahun lamanya, juga menderita siksaan yang-hanya sekejap saja?”

“Ya, saya tahu,” kata Franz, “bahwa keadilan manusia sayang sekali tidak sempurna. Ia hanya dapat menumpahkan darah untuk membalas darah yang telah tertumpah. Tetapi tidak dapat mengharapkan lebih dari itu.”

“Saya baru menyebutkan contoh yang sangat sederhana.” Count of Monte Cristo melanjutkan, “suatu contoh di mana masyarakat membalas kematian seseorang dengan kematian orang lain. Bukankah masih banyak lagi macam-macam penderitaan yang dijalani seseorang tanpa masyarakat membalasnya dalam bentuk apapun juga? Bukankah banyak lagi kejahatan yang begitu kejam sehingga hukuman cara Turki, Persia atau Irak masih terlalu lunak untuknya, tidak dihukum oleh masyarakat kita yang tidak acuh? Silakan dijawab, adakah kejahatan-kejahatan seperti itu?”

“Ya, banyak sekali,” jawab Franz. “Dan untuk menghukum kejahatan semacam itulah, duel diizinkan.”

“Duel! Suatu cara yang bagus untuk menghukum. Kalau ada seseorang yang merebut kekasih kita, memperkosa isteri kita atau merusak kehormatan anak gadis kita, atau merenggut harta kita yang diharapkan bisa membawa kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan kepada setiap insan, pendeknya, orang itu telah membuat kepedihan yang abadi, kesengsaraan dan kehinaan, apakah Tuan percaya bahwa dosa orang itu telah terhukum hanya karena Tuan telah berhasil menembuskan pedang Tuan di dadanya, atau menempatkan peluru di kepalanya dalam duel? Dan jangan lupa, bahwa ia bisa muncul sebagai pemenang dalam duel itu, yang berarti bahwa dalam pandangan masyarakat dosa-dosanya telah terhapus, Seandainya saya ingin membalas dendam kepada seseorang seperti itu, saya tidak akan melakukannya dengan cara berduel.”

“Kalau begitu Tuan tidak setuju dengan duel?” tanya Albert yang heran mendengar pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum.

“Oh tidak, bukan begitu,” jawab Count of Monte Cristo. “jelasnya begini. Saya bersedia berduel untuk suatu penghinaan, pemukulan atau suatu kebohongan, dan saya akan melakukannya tanpa banyak berpikir, sebab, berkat keahlian membela diri yang saya miliki karena latihan yang teratur dan kebiasaan menghadapi bahaya yang secara berangsur-angsur telah mendarah daging, saya hampir yakin akan selalu dapat membunuh lawan. Betul, saya bersedia berduel untuk hal-hal seperti itu. Tetapi untuk suatu penderitaan yang perlahan-lahan, yang mendalam, yang lama dan menimbulkan luka abadi, saya akan mencoba membalasnya dengan memberikan penderitaan yang sama. Mata untuk mata, gigi untuk gigi.”

“Tetapi,” kata Franz, “dengan teori seperti itu yang membuat Tuan bertindak sebagai hakim sendiri, Tuan sendiri tidak akan terlepas dari kekuasaan hukum. Kebencian adalah buta, amarah membuat kita dungu, dan barang siapa melampiaskan nafsu balas dendamnya menghadapi bahaya menelan pil yang lebih pahit.”

“Apabila dia miskin dan bodoh, benar, tetapi tidak bila ia kaya dan cerdik. Selain itu, paling rugi ia harus menjalani hukuman mati di muka umum. Tetapi apa artinya itu selama dia telah berhasil membayar hutangnya. Saya hampir merasa menyesal karena Peppino yang telah rusak itu tidak jadi dipancung seperti ditentukan semula. Bila tidak, Tuan dapat menyaksikan sendiri betapa cepat deritanya berlalu dan apakah cukup berharga untuk menjadi bahan pembicaraan. . . Tetapi, pembicaraan kita agak aneh untuk suasana pesta karnaval. Bagaimana kita sampai kepada persoalan ini? Oh ya, saya ingat, saya mengatakan bahwa saya dapat menawarkan tempat untuk menonton hukuman mati. Dan Tuan akan menerima tawaran saya itu. Sekarang, mari kita ke meja makan. Saya dengar ada orang datang untuk memberi tahu bahwa hidangan sudah siap.”

Ketiga bangsawan muda itu berdiri dan berjalan ke ruang makan.

Selama makan, yang benar-benar sedap dan dihidangkan dengan cara yang sangat mengagumkan, Franz berkali-kali memperhatikan wajah Albert untuk mencoba mengetahui bagaimana pengaruh percakapan tuan rumah kepadanya, tetapi Albert tampak tidak mempunyai perhatian kepada hal lain kecuali makanan di hadapannya. Sedangkan Count of Monte Cristo sendiri hampir-hampir tidak menyentuh hidangan. Seakan-akan dia turut makan hanya untuk kesopanan belaka.

Setelah acara makan selesai, Franz mengambil arloji sakunya, “Maaf, Tuan, tetapi masih banyak yang harus kami lakukan.”

“Bolehkah saya mengetahui?”

“Kami masih harus mencari pakaian untuk karnaval nanti”

‘Tak usah dipikirkan. Kita akan mempunyai kamar pribadi di Piazza del Popolo. Saya akan menyuruh orang mengantarkan pakaian-pakaian karnaval ke sana dan kita dapat berganti pakaian di sana pula, setelah pelaksanaan hukuman. Sekarang telah jam setengah satu, Tuan-tuan. Waktu kita tinggal sedikit”

Ketika Franz, Albert dan Count of Monte Cristo sudah dekat Piazza del Popolo, lapisan manusia makin menebal.

Menjulang di atas kepala-kepala manusia mereka dapat melihat dua buah barang. Sebuah tugu yang pada puncaknya ada sebuah salib dan dua pasang tiang kayu untuk pisau gilyotin. Tugu itu merupakan ciri titik tengah lapangan itu. Jendela yang disewakan dengan harga yang sangat tinggi itu, berada di lantai ketiga dari sebuah rumah yang terletak antara Via del Babuino dan Monte Pincio. Kamarnya merupakan semacam kamar hias. Dari kamar ini orang dapat melihat ke lapangan dengan leluasa.

Seluruh lapangan seakan-akan disulap menjadi sebuah teater yang sangat luas. Setiap jendela dan balkon dari gedung gedung yang berada di sekeliling lapangan telah penuh oleh penonton. Count of Monte Cristo benar: pemandangan yang paling menarik perhatian dalam hidup ini adalah kematian.

Tiba-tiba suara gemuruh manusia lenyap seketika, seakan-akan dihentikan oleh sesuatu kekuatan gaib. Pintu gereja terbuka. Yang pertama keluar, serombongan pejabat gereja, masing-masing membawa sebatang lilin yang sudah dinyalakan. Kepalanya tertutup kantung berwarna abu-abu yang berlubang dua di tentang mata. Di belakang rombongan menyusul seorang tinggi kekar dengan dada telanjang. Di pinggang kirinya tergantung sebilah pisau besar dalam sarungnya. Di bahunya terpanggul sebuah gada besi besar. Dialah algojo. Di belakang algojo menyusul si terhukum berturut-turut menurut urutan gilirannya. Mula-mula Peppino kemudian Andrea, masing-masing didampingi oleh dua orang padri. Andrea dipegang pada tangannya oleh kedua padri pendampingnya. Sewaktu-waktu mereka menciumi salib yang disodorkan ke mukanya.

Karena pemandangan ini pun Franz sudah merasakan lututnya gemetar dan melemah. Dia melihat kepada Albert.

Wajah Albert pucat seperti warna kemejanya. Count of Monte Cristo tampak tidak terpengaruh.

Sementara itu kedua orang terhukum itu sudah cukup dekat untuk dapat dilihat dengan jelas. Peppino adalah seorang muda tampan dengan kulit kecoklat-coklatan karena sinar matahari. Matanya liar dan angkuh. Sedangkan Andrea, pendek dan gemuk berwajah kejam.

“Kalau tak salah, Tuan tadi mengatakan bahwa hanya seorang yang akan dihukum,” kata Franz kepada Count of Monte Cristo.

“Saya tidak bohong,” jawabnya dingin.

“Tetapi itu ada dua orang.”

“Benar, seorang sudah hampir mati dan yang seorang lagi masih akan hidup bertahun-tahun lagi.”

“Menurut pendapat saya, kalau memang mau ditangguhkan, mengapa membuang-buang waktu?”

“Tidak, lihat saja.”

Tepat ketika Peppino sudah sampai di kaki tiang gilyotin, seorang pejabat gereja berlari menerobos barisan serdadu menuju pimpinan rombongan. Kepadanya ia menyerahkan secarik kertas. Pimpinan rombongan membacanya, lalu mengangkat tangan dan berteriak keras, “Puji bagi Tuhan dan Paus yang suci! Peppino alias Rocca Priori diampuni!”

Teriakan gemuruh terdengar dari lautan manusia.

“Peppino diampuni!” Andrea yang sudah kehilangan seluruh tenaganya bangkit kembali. “Mengapa dia, bukan aku? Kami harus mati bersama. Mereka telah berjanji akan memancungnya lebih dahulu! Aku tak mau mati sendiri!” la berontak, meliuk-liuk dan berteriak-teriak seperti binatang buas berusaha melepaskan diri dari ikatannya.

Algojo memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, yang segera meloncat turun dari panggung hukuman menyergap Andrea.

“Ada apa?” tanya Franz yang tidak faham betul akan dialek Roma.

“Ada apa?” jawab Count of Monte Cristo. “Apakah tuan tidak mengerti? Orang yang telah mendekati ajalnya itu ngamuk karena kawannya tidak jadi mati bersama dia. Kalau ada kesempatan pasti dia akan mengoyak-ngoyak kawannya dengan gigi dan kukunya, daripada membiarkan menikmati hidup sedang dia sendiri harus kehilangan hidup.

Begitulah manusia dan kemanusiaannya. Buaya! Begitu jelas sifat itu tampak di bawah sana dan betapa jelas orang mementingkan dirinya sendiri”

Sambil tetap berontak melawan kedua pembantu algojo tadi, Andrea tak henti-hentinya berteriak, “Dia harus mati! Aku mau dia mati! Kalian tidak mempunyai hak untuk membunuh aku sendiri!” Pergulatan itu sangat mengerikan dan mendebarkan.

Akhirnya mereka berhasil menggusur Andrea ke panggung hukuman. Seluruh penonton tidak ada yang memihak kepadanya. Semuanya berteriak bersama-sama, “Bunuh dia! Bunuh dia!”

Franz mau mundur tetapi Count of Monte Cristo menahannya pada tangannya. “Ada apa?” katanya. “Kalau Tuan merasa kasihan, itu tidak pada tempatnya. Apabila Tuan melihat anjing gila di jalanan, Tuan pasti akan menembaknya tanpa rasa kasihan, padahal dosa binatang malang itu hanya karena menjadi korban gigitan anjing gila lainnya. Tetapi di sini Tuan merasa kasihan kepada orang yang bukan korban gigitan orang lain, melainkan seorang pembunuh besar. Orang yang sekarang ini tidak mampu lagi membunuh karena tangannya diikat, masih mau menyeret kawan sepenjaranya mati bersama dia. Tidak, tidak. Kuatkan hati Tuan dan lihat.”

Kata-kata Count of Monte Cristo sudah tidak perlu lagi, karena perhatian Franz sudah tertarik oleh pemandangan di lapangan.

Kedua pembantu algojo tadi telah berhasil memaksa Andrea berlutut walaupun ia terus meronta-ronta dan berteriak-teriak. Algojo mengayunkan gadanya, kedua pembantunya mundur. Andrea berusaha berdiri tetapi gada algojo lebih dahulu menimpa pelipis kirinya. Dia jatuh tersungkur seperti seekor sapi lalu berguling sehingga terlentang.

Algojo melemparkan gadanya, menghunus pisaunya lalu menyobek leher Andrea. Selanjutnya dia menekan dan meremas perut Andrea dengan jari-jari kakinya. Setiap kali dia menekankan kakinya, darah memancar keluar dari tenggorokan Andrea.

Franz terhenyak ke belakang dan jatuh setengah pingsan ke atas sebuah kursi. Albert masih tetap berdiri, tetapi kedua matanya menutup rapat dan tangannya memegang tirai jendela erat-erat. Count of Monte Cristo tetap tegak seperti dewa pembalas selesai bertugas.

Report Page