The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XIX

PENGUNDURAN waktu yang diberikan secara tiba-tiba itu diartikan oleh Morrel sebagai permulaan kembalinya kemujuran dan dianggapnya sebagai pemberitahuan bahwa nasib buruk sudah mulai bosan menyerangnya.

Satu-satunya jalan pikiran Thomson & French yang masuk di akal Morrel adalah:

“Lebih baik memberi kesempatan dan menerima lagi piutang sekitar tiga ratus ribu frank itu tiga bulan kemudian daripada mempercepat kebangkrutan Morrel tetapi hanya menerima kembali sebanyak enam persen dari jumlah tagihannya.”

Sayang sekali penagih-penagih lainnya tidak berpikir seperti itu. Bahkan beberapa orang berpikir sebaliknya-Mereka menuntut dengan keras disertai ancaman agar tagihannya dibayar pada waktunya. Hanya berkat keleluasaan orang Inggris itu Morrel dapat membayar mereka.

Sejak itu tidak pernah lagi utusan Thomson & French itu tampak. Dia menghilang dua hari setelah kunjungannya kepada Morrel. Adapun awak kapal Le Pharaon, rupanya mereka telah mendapatkan lagi pekerjaan di kapal lain, karena mereka pun semua menghilang.

Dua bulan lamanya Morrel berusaha keras memperbaiki keadaannya namun tidak berhasil. Pada tanggal dua puluh Agustus ia kelihatan meninggalkan Marseilles. Kejadian ini menimbulkan sangkaan orang bahwa kebangkrutannya akan diumumkan pada akhir bulan dan kepergiannya itu dianggap sebagai usaha menjauhi hari kejatuhannya. Tetapi ketika tanggal tiga puluh satu Agustus tiba, Cocles membayar semua tagihannya yang disodorkan kepadanya. Hal ini sangat mengejutkan mereka yang meramalkan kehancuran Morrel. Tetapi dengan kekerasan hati seorang peramal kehancuran, mereka mengundurkan tanggal kejatuhan Morrel sampai akhir bulan September.

Morrel kembali ke Marseilles pada tanggal satu September. Keluarganya telah menantinya dengan hati berdebar-debar, karena kepergiannya ke Marseilles itu merupakan usaha penyelamatan yang terakhir. Morrel teringat kepada Danglars yang sekarang telah menjadi jutawan dan yang seharusnya masih berhutang budi kepadanya karena berkat pertolongannya, Danglars dapat memperoleh jabatan baik pada bankir orang Spanyol dan mulai berhasil menumpuk kekayaannya. Danglars mempunyai tagihan pada berbagai orang dalam jumlah yang tak terbatas, sehingga kalau mau menolong ia tidak perlu mengambil satu frank pun dari kantongnya. Cukup dengan menjamin Morrel mendapatkan pinjaman-pinjaman baru. Dengan itu Morrel akan selamat.

Sebenarnya telah lama sekali Morrel teringat kepada Danglars, tetapi selalu saja ada rasa enggan untuk mengunjunginya, dan menundanya sampai keadaan sangat mendesak. Ternyata perasaannya tidak keliru, ia kembali ke Marseilles dengan perasaan pedih karena penolakan Danglars.

Walau demikian, tidak sepatah pun keluhan atau sebang-sanya keluar dari mulutnya, ketika ia tiba di rumah. Dia mencium isteri dan anaknya, menjabat tangan Emmanuel dengan hangat, lalu masuk ke kantornya dan memanggil Cocles!

“Sekali ini kita betul-betul hancur,” kata isteri dan anak Morrel kepada Emmanuel.

Setelah mereka berunding sebentar, diputuskan agar Julie menyurati kakaknya yang tinggal di sebuah garnisun di Nimes dan meminta supaya segera pulang.

Sekalipun baru berumur dua puluh tiga tahun, Maxmilien Morrel mempunyai pengaruh yang besar terhadap ayahnya. Ia seorang yang keras hati tetapi tulus. Ketika tiba saatnya, ia memutuskan memilih kemiliteran sebagai lapangan hidupnya, la menamatkan pendidikannya di Ecole Polytechnique dengan angka-angka yang cemerlang.

Sekarang sudah berpangkat letnan dan mempunyai kemungkinan besar untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang dipercepat.

Julie dan ibunya tidak salah meraba keadaan. Setelah beberapa saat bersama Morrel di kantornya, Cocles keluar dengan wajah yang sangat pucat dan badan lemas. Air mukanya penuh kecemasan. Julie mencoba menanyainya, tetapi Cocles tidak mau berhenti. Dia hanya berkata, “Sangat menyedihkan. Saya tidak pernah membayangkannya!”

Emmanuel mencoba menenteramkan kedua wanita itu, namun tidak banyak hasilnya.

Ia mengetahui benar keadaan keuangan perusahaan itu sehingga tidak dapat mengelakkan bayangan kehancuran yang mengancam keluarga Morrel.

Esok paginya Morrel tampak tenang dan memasuki kantornya seperti biasa. Tetapi pada malam hari setelah makan, la tidak dapat menahan diri untuk merangkul puterinya dan mendekapkannya ke dada untuk beberapa saat. Julie bercerita kepada ibunya, bahwa sekalipun ayahnya tampak tenang, namun ia dapat mendengar dengan jelas detak jantungnya keras dan cepat.

Dua hari berikutnya berlalu seperti hari-hari yang lewat Pada tanggal empat September malam hari Morrel meminta agar Julie mengembalikan kunci pintu kantornya, Julie terkejut. Mengapa ayahnya meminta kembali kunci yang telah sekian lama dipegangnya? Hanya pernah sekali dahulu ayahnya meminta kunci itu sebagai hukuman ketika ia masih kanak-kanak.

“Apa kesalahan saya, Ayah?”

Pertanyaan yang sederhana itu menyebabkan mata Morrel berlinang. “Tidak ada, anakku” jawabnya. “Aku memerlukannya, hanya itu.”

“Saya ambil dahulu di kamar” katanya pura-pura. Dia keluar, bukan ke kamarnya melainkan menemui Emmanuel untuk meminta pendapatnya.

“Jangan diberikan, kata Emmanuel. “Dan kalau bisa, besok, jangan beliau ditinggalkan sedetik pun.”

Julie mendesak meminta penjelasan, tetapi Emmanuel tidak mau berbicara lagi.

Esok harinya Morrel sangat ramah terhadap isterinya dan menunjukkan kasih sayangnya kepada Julie lebih daripada biasanya. Tak henti-hentinya ia memandang wajah Julie, dan berkali-kali ia menciumnya. Julie teringat kepada nasihat Emmanuel. Ia mencoba mengikuti ayahnya ke kantornya, tetapi dengan halus sekali Morrel menahannya dan berkata, “Temani ibumu.” Caranya Morrel melarang demikian rupa sehingga Julie tidak berani membantahnya. Setelah ayahnya pergi, Julie bingung, tegak berdiri bagaikan patung. Tiba-tiba pintu terbuka. Ia berteriak kegirangan, “Maximillen!”

Mendengar teriakan Julie, Nyonya Morrel datang berlari lalu melemparkan diri ke dalam pelukan puteranya. “Ada apa? ” tanya anak muda itu, mula-mula melihat kepada ibunya kemudian kepada adiknya. “Suratmu sangat mencemaskan. Sebab itu aku datang secepat mungkin.”

“Julie,” kata ibunya. ‘ Beritahu Ayah, Maximihen telah datang.”

Julie berlari keluar tetapi di ujung tangga ia dicegat seorang laki-laki yang memegang surat.

“Nona Julie?” tanyanya dengan aksen Itali.

“Betul,” Julie menjawab heran. “Apa yang Tuan kehendaki, saya tidak mengenal Tuan.”

“Bacalah ini,” kata orang itu menyerahkan surat. Julie ragu-ragu.

“Keselamatan ayah Nona tergantung kepada surat itu,”

Julie merebut surat itu, menyobek sampulnya, kemudian membaca:

Segera pergi ke Allees de Meilhan No 15 Minta kepada penjaga kunci kamar di lantai enam, masuk ke dalam kamar itu ambil dompet sutera merah yang akan Nona temukan di dekat perapian lalu serahkan kepada ayah Nona. Usahakan supaya beliau menerimanya sebelum jam sebelas. Sekali lagi sebelum jam sebelas.

Nona telah berjanji akan mengikuti petunjuk saya sepenuhnya. Saya ingatkan Nona kepada sumpah itu.

SlNBAD PELAUT

Julie mengangkat kepalanya, hatinya gembira. Ia mencari pengantar surat itu, namun ia telah hilang.

Dalam pada itu, Nyonya Morrel telah menceriterakan segala sesuatu kepada puteranya. Anak muda itu telah mengetahui kemalangan-kemalangan yang menimpa ayahnya, namun tidak pernah mengetahui dengan tepat bagaimana gawatnya. Untuk sementara ia berdiri termenung, setelah itu cepat-cepat berlari menuju kamar kerja ayahnya. Lama dia mengetuk pintu tanpa jawaban. Tiba-tiba ia melihat ayahnya keluar dari kamar tidurnya, sambil menekan perutnya dengan maksud menyembunyikan sesuatu di balik jasnya. Dia terkejut melihat Maximilien, oleh karena tidak tahu bahwa anaknya akan datang.

Maxmilien berlari menghampiri ayahnya kemudian memeluknya. Tetapi tiba-tiba ia melepaskan pelukannya lalu mundur lagi selangkah. Wajahnya pucat bagaikan mayat.

“Ayah, mengapa ayah membawa pistol?”

“Maxmilien,” jawab Morrel sambil menatap anaknya. “Engkau telah dewasa sekarang, dan seorang laki-laki terhormat. Mari ikut aku.”

Keduanya masuk ke dalam ruang kerja. Morrel meletakkan kedua pistol di sudut meja, kemudian menunjuk kepada sebuah buku besar yang terbuka. Dalam buku itu tercatat segala sesuatu tentang keadaannya.

“Bacalah,” katanya.

Maxmilien membaca dan tetap bungkam untuk sementara, terpengaruh oleh gejolak hatinya. Akhirnya ia berkata, “Apakah semua kekayaan Ayah telah habis?”

“Semua.”

“Dalam tempo setengah jam lagi, kalau begitu, nama baik keluarga kita akan tercemar.”

“Ya, tetapi darah dapat membersihkannya kembali”

“Ayah benar. Saya dapat memahami pendirian Ayah,” kata Maxmilien. Dia memeluk lagi ayahnya, dan untuk beberapa saat dada kedua orang yang mulia itu saling merasakan detak jantung masing-masing.

“Sekarang, temanilah ibumu dan adikmu,” kata Morrel.

“Berkahilah saya dahulu, Ayah,” kata anak muda itu lalu bertekuk lutut di hadapan ayahnya.

Morrel memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangannya lalu berkata, “Ya, demi nama baik keturunan kita yang tidak pernah tercela, Dengarkan apa yang mereka katakan melalui mulutku: Sikap hemat dapat membangun kembali bangunan yang hancur oleh kemalangan. Dengan keyakinan itulah aku menjalani kematianku.

Kebanyakan orang yang lemah hatinya akan menaruh iba kepada kita. Tunjukkan bahwa engkau bukan orang yang perlu dikasihani. Bekerjalah, anakku, berjuanglah dengan gigih dan berani. Belanjakan penghasilanmu dengan sekedar cukup untuk menghidupi dirimu sendiri, ibumu dan adikmu, agar engkau dapat membayar hutang-hutangku agar pada suatu hari nanti, di dalam ruangan yang ini juga, engkau dapat mengatakan: “Ayahku mati karena beliau tidak dapat mengerjakan apa yang aku kerjakan sekarang, namun beliau meninggal dengan tenang karena beliau yakin aku akan dapat melakukannya.“

“Oh, Ayah! Ayah! Jangan!” Hati yang sudah teguh tadi, luluh lagi.

“Bila aku tetap hidup, keadaan akan lain. Aku hanya akan menjadi orang yang tidak dapat menghormati kata-katanya sendiri, yang gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya. Tetapi bila aku mati, hanya jasadku saja yang hancur, sedang kehormatan ku tetap terpelihara. Bila aku hidup, engkau akan malu memakai namaku. Bila aku mati, engkau akan tetap dapat berdiri tegak dan dapat berkata dengan bangga, ‘aku anak seorang yang mati membunuh diri karena untuk pertama kali dalam hidupnya tidak mampu memenuhi janjinya.”

Maximilien terdengar menangis. Untuk kedua kalinya la yakin akan benarnya tindakan ayahnya. Sekali ini bukan meresap ke dalam kepalanya, melainkan langsung ke dalam hatinya. Dia pasrah.

“Dan sekarang selamat tinggal, anakku” kata Morrel. Tinggalkan aku sendiri. Surat wasiatku ada di kamar tidur.”

Maximilien berdiri ragu-ragu untuk beberapa saat, kemudian memeluk ayahnya erat-erat, lalu berlari ke luar.

Setelah anaknya pergi, Morrel memijit bel. Cocles muncul.

“Cocles yang baik,” katanya dengan nada suara yang sukar dilukiskan, “tunggu di ruang tunggu. Bila utusan Thomson & French datang, beritahu aku.”

Cocles tidak menjawab, ia hanya mengangguk, lalu keluar, duduk di ruang tunggu menanti.

Morrel menyandarkan dirinya di kursi, melihat jam. Hanya tinggal tujuh menit lagi.

Pistolnya, kedua-duanya telah terisi. Salah satu diambilnya sambil menyebut nama anak gadisnya perlahan-lahan. Pistol diletakkannya kembali, dia mengambil pena dan kertas, menulis beberapa kalimat perpisahan untuk Julie. Dia melihat lagi jam ketika selesai menulis. Sekarang bukan menit lagi yang dihitung melainkan detik. Diambilnya lagi sebuah pistol dengan mata memandang tajam ke jarum jam. Dia terkejut oleh suara yang dibuatnya ketika ia mengokang pistolnya.

Tepat pada saat itu ia mendengar pintu kantornya dibuka orang Dia tidak menoleh ketika Cocles berkata, “Utusan Thomson & French.” Morrel mengarahkan laras pistolnya ke mulutnya.

Tiba-tiba ia mendengar orang berteriak. Suara Julie. Ia berbalik dan melihat Julie masuk. Pistol terjatuh dari tangannya.

“Ayah! Ayah!” Napasnya terengah-engah, matanya liat karena gembira. “Selamat!

Ayah selamat!” Julie menyerahkan dompet merah. “Lihat! Lihat!”

Morrel menerima dompet merah itu, hatinya bimbang karena secara samar-samar merasa telah pernah melihatnya. Di salah satu bagian dalam dompet itu terdapat surat hutang bernilai dua ratus delapan puluh tujuh ribu frank. Sudah dicap lunas. Di bagian lain ada sebuah intan sebesar kenari disertai tulisan pada secarik kertas perkamen:

“Hadiah perkawinan Julie.”

Morrel memukulkan tangannya ke dahi. Serasa dia dalam mimpi.

Jam berbunyi tepat sebelas kali.

“Katakan anakku,” tanya Morrel. “Dari mana engkau mendapatkan dompet ini?”

“Di sebuah rumah di Allees de Meilhan.” “Tetapi ini bukan milikmu!”

Julie memperlihatkan surat yang diterimanya tadi pagi.

“Tuan Morrel!” teriak seseorang di tangga. Emmanuel masuk, wajahnya merah cerah.

Le Pharaon” katanya, “Le Pharaon!”

“Ada apa dengan Le Pharaon Engkau gila barangkali, Emmanuel. Engkau tahu Le Pharaon sudah tenggelam.”

Le Pharaon masuk pelabuhan!”

Tenaga Morrel tiba-tiba hilang sehingga ia terhenyak di kursinya. Pikirannya tidak mampu mengikuti semua kejadian yang datang beruntun secara mendadak. Kejadian-kejadian yang sukar dipercaya, tak masuk akal.

Maximilien masuk lagi. “Ayah!” katanya. “Mengapa Ayah mengatakan Le Pharaon telah tenggelam? Dia sedang memasuki pelabuhan sekarang.”

“Kawan-kawan,” kata Morrel. “Bila ini benar, kita harus percaya kepada mukjizat, Mari kita ke pelabuhan, dan mudah-mudahan Tuhan memaafkan kita bila berita itu salah.”

Mereka menjumpai Nyonya Morrel di tangga. Nyonya yang malang itu tidak berani masuk ke kantor suaminya.

Orang telah banyak berkerumun di pelabuhan. Mereka memberi jalan kepada Morrel dan setiap orang berteriak! “Le Pharaon! Le Pharaon!”

Benar, di hadapan Menara Saint-Jean ada sebuah kapal yang bertuliskan “Pharaon, Morrel & Son, Marseilles” di buritannya. Huruf-hurufnya putih jelas. Kapal ini merupa pakan tiruan yang paling sempurna dari Le Pharaon yang telah tenggelam. Muatannya pun sama, bahan celup. Ketika sudah siap membuang sauh, kaptennya, Kapten Ga-umard, berdiri di geladak memberikan perintah-perintahnya dan Penelon melambai-lambaikan tangannya kepada Morrel.

Selagi Morrel dan keluarganya saling berpelukan di tengah-tengah orang lain yang juga turut bergembira, seorang laki-laki yang wajahnya – setengah tertutup oleh jenggot dan cambangnya, mengawasi mereka dari sebuah pos penjagaan yang kosong.

“Berbahagialah, wahai hati yang mulia. Semoga Tuhan selalu memberkahi apa yang telah Tuan lakukan dan apa yang akan Tuan lakukan.”

Dengan senyum puas dan bahagia orang itu meninggalkan tempat persembunyiannya, berjalan tanpa diperhatikan orang ke pinggir pelabuhan, lalu berteriak, “Jacopo! Jacopo!”

Sebuah perahu mendekat datang. Dengan perahu itu orang aneh tersebut dibawa ke sebuah kapal pesiar yang sangat mewah. Dia naik ke dalam dengan kesigapan seorang pelaut. Dari kapal ia melemparkan lagi pandangan terakhir kepada Morrel, yang saking gembiranya, menjabat tangan semua orang yang dekat kepadanya sambil menangis.

Morrel mencari-cari penolongnya yang tidak dikenal itu, namun tidak berhasil seperti ia mencarinya di langit.

“Sekarang,” kata orang dalam kapal pesiar itu, “selamat tinggal, wahai kebajikan, kemanusiaan dan rasa syukur. Selamat tinggal, wahai pancaran hati yang menyejukkan dan menyenangkan. Aku telah diberi kesempatan menjadi perantara menyampaikan balasan Tuhan bagi mereka yang baik, semoga selanjutnya Tuhan mengijinkan aku menjadi pelaksana beliau menghukum yang jahat!”

Dengan kata-kata itu ia memberi isyarat, dan kapal meluncur mengarungi samudera luas.

Report Page