The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XIII

SEKALIPUN sudah hampir pingsan dan lemas, Dantes masih mempunyai cukup kesadaran untuk menahan nafas dan menyobek karung pembungkusnya dengan pisau yang tetap dia pegang di tangan kanan. Namun, dia masih juga meluncur cepat ke bawah karena diberati oleh dua buah peluru meriam yang diikatkan kepada kakinya. Dantes membungkukkan badannya dan memotong tali pengikatnya. Dia menekankan kakinya sekuat sisa-sisa tenaganya dan berhasil muncul di atas permukaan air. Dia beristirahat sebentar sekedar untuk dapat menarik nafas dalam-dalam, kemudian menyelam lagi karena khawatir terlihat orang. Ketika muncul untuk kedua kalinya ia sudah berada lima puluh kaki dari tempat ia dilemparkan. Di atas kepalanya hanya langit berselubung awan gelap saja yang tampak, sedangkan di hadapannya terbentang lautan yang hitam kelam dengan gelombang-gelombang yang sudah menggelegar pertanda badai akan datang.

Dan di belakangnya, lebih hitam dan gelap dari laut dan langit, tampak membayang gedung If, menyeramkan bagaikan jin yang hendak menerkam. Dia memutuskan menuju Pulau Tiboulen, pulau tak berpenghuni yang paling dekat, jauhnya kira-kira lima ribu

meter. Tetapi bagaimana ia dapat menemukannya dalam kegelapan ini? Tuhan memberikan petunjuknya. Tiba-tiba ia melihat sinar berkelip bagaikan bintang. Cahaya itu berasal dari mercusuar Harder. Apabila ia menuju lurus ke arah mercusuar itu, ia tahu ia akan melalui Pulau Tiboulen di sebelah kiri. Jadi, kalau dia mengubah arah sedikit ke kiri, pasti akan sampai di pulau itu. Dia sangat gembira ketika menyadari bahwa penyekapan yang bertahun-tahun itu tidak sampai menggerogoti tenaga dan kesigapannya, dan ia masih tetap dapat menguasai lautan tempat ia bermain-main ketika masih kecil.

Satu jam telah berlalu, dan selama itu Dantes tetap berenang ke arah yang telah dipilihnya. “Kecuali bila aku keliru,” pikirnya, “aku sudah dekat ke Pulau Tiboulen. Bagaimana bila aku salah?” Darahnya tersirap berbarengan dengan timbulnya pikiran itu.

Ia mencoba mengambangkan dirinya untuk dapat beristirahat, tetapi tidak mungkin sebab laut sudah mulai bertingkah. “Baik,” katanya dengan tekad yang bulat, “aku akan terus berenang sampai tanganku lemas, sampai otot-ototku kejang dan sampai tenggelam ke dasar lautan.”

Langit yang kelam makin bertambah gelap dan awan yang tebal seakan-akan datang mendekati seperti hendak menghadang. Tiba-tiba ia merasakan sakit yang menyengat pada lututnya. Persangkaannya mengatakan ia terkena peluru dan mengira sebentar lagi akan terdengar suara tembakan. Namun, tak ada suara senapan. Dia memasukkan tangannya ke dalam air dan terpegang pada sesuatu yang keras. Ketika kakinya ditegakkan ia merasa berpijak di atas tanah. Tahulah ia sekarang awan gelap yang disangkanya datang menghadang itu, ternyata pulau karang yang berbentuk nyala api. Itulah Pulau Tiboulen.

Dantes berdiri, kemudian maju beberapa langkah. Tanpa disadarinya keluar dari mulutnya, “Terima kasih, ya Tuhan!” Dia membaringkan tubuh di atas sebuah karang yang tajam-tajam, namun olehnya terasa lebih empuk daripada semua tempat tidur yang pernah ditidurinya. Sekalipun angin sangat kencang dan hujan turun dengan derasnya, ia dapat tertidur dengan lelap. Sejam kemudian ia terbangunkan oleh menggelegarnya suara geledek. Dantes berteduh di bawah karang yang menjulur, sesaat sebelum badai mengamuk dengan hebatnya.

Cahaya kilat yang bagaikan membelah langit menerangi tempat sekelilingnya, dan beberapa ratus meter di hadapannya tampak sebuah kapal nelayan yang kecil, terombang-ambing oleh angin dan ombak. Sebentar-bentar kapal itu menghilang di antara dua gelombang kemudian muncul kembali di puncak ombak. Kapal itu mendekat kepadanya dengan kecepatan yang cukup tinggi Dantes berteriak sekeras-kerasnya dan mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk menarik perhatian penumpang kapal dan memperingatkan bahwa mereka bisa kandas pada karang yang berbahaya. Dengan cahaya kilat yang berikut Dantes dapat melihat ada empat orang dalam kapal itu yang berpegang erat-erat pada tiang layar dan tali-temali, sedang orang yang kelima berpegang teguh pada tangkai kemudi yang telah patah. Dantes mendengar suara beradunya dua benda yang keras, disusul dengan teriakan-teriakan yang mengerikan. Kilatan cahaya yang ketiga memperlihatkan hancurnya kapal kecil itu, dan di antara pecahan-pecahan kapal dia melihat wajah-wajah manusia yang penuh ketakutan dan tangan-tangan yang menjulang menggapai-gapai mencari pegangan. Lalu, keadaan menjadi gelap gulita kembali.

Dantes keluar dari tempat persembunyian dengan kemungkinan dia sendiri terjatuh.

Dia menajamkan mata dan telinganya, namun tak ada yang tampak atau terdengar. Tak ada lagi teriakan yang mengerikan, tak ada lagi manusia-manusia yang berusaha menyelamatkan jiwanya. Yang tinggal, hanyalah badai yang menderu dan gelombang-gelombang dahsyat yang berbuih putih.

Sedikit demi sedikit angin mereda. Awan kelabu yang tebal mulai bergeser ke arah barat dan tak lama kemudian tampak segaris cahaya kemerah-merahan di ufuk timur.

Sinar surya menyentuh permukaan laut mengubah pucuk-pucuk gelombang yang berbuih menjadi jambul-jambul yang berkilau keemas-emasan. Hari telah berganti siang.

“Dalam dua atau tiga jam lagi,” pikir Dantes, “sipir akan masuk ke dalam selku, menemukan mayat sahabatku dan akan berteriak memanggil kawan-kawannya. Mereka pasti akan menanyai orang-orang yang melemparkan aku ke laut yang mestinya mendengar teriakanku. Beberapa perahu penuh dengan serdadu akan berkeliaran mencariku dan meriam-meriam pasti akan berjaga-jaga mengawasi sepanjang pantai untuk menghadang seorang pelarian yang telanjang dan kelaparan. Aku pasti akan diserahkan oleh petani pertama yang menemukan aku karena ingin memperoleh hadiah.

Ya Tuhan, ya Tuhan, Engkau mengetahui betapa aku telah menderita. Tolonglah aku, karena aku sudah tidak berdaya lagi!”

Begitu selesai dia mengucapkan do’a yang sungguh-sungguh, di kaki langit dia melihat layar bersegitiga dari sebuah kapal kecil. Matanya yang terlatih segera mengenalinya sebagai kapal kecil buatan orang Genoa, datang dari arah Marseilles. “Ah!, Sekarang aku dapat mencapainya dengan berenang dalam setengah jam, kalau saja aku tidak takut diketahui sebagai seorang pelarian kemudian dibawa kembali ke Marseilles! Mereka adalah penyelundup-penyelundup, kadang-kadang juga merompak. Mereka tentu akan lebih senang menyerahkan aku kepada yang berwajib daripada menolongku tanpa mendapatkan keuntungan apa-apa. Ceritera apa yang dapat kukarang untuk menipu mereka? Oh, begini: Akan kukatakan bahwa aku salah seorang awak kapal yang menabrak karang tadi malam! Tak akan ada orang yang dapat menyangkal pengakuanku oleh karena semua awak telah mati tenggelam.”

Lantas, ia melihat-lihat di tempat kapal tenggelam tadi malam. Beberapa bilah papan masih terapung-apung di dekat sana dan ia terperanjat senang melihat topi di ujung sebuah batu karang.

Dantes menyelam, berenang mengambil topi, mengenakannya lalu berpegang pada salah satu papan, kemudian mendayung dengan kakinya ke arah yang dia perkirakan akan dilalui oleh kapal Genoa itu.

Ketika dirasanya sudah cukup dekat, ia mempercepat renangnya, melambai-lambai dengan topinya dan berteriak sekeras-kerasnya. Kapal berbalik ke arah Dantes dan dia melihat awak kapal bersiap-siap untuk mengurangi kecepatan. Karena ia berpikir tidak akan memerlukan papan lagi, dilepaskannya papan itu dan berenang ke arah kapal. Tetapi sebenarnya ia hanya bergantung kepada sisa tenaganya yang sudah hampir habis. Kaki dan tangannya sudah mulai kejang, gerakannya sudah berat dan tidak teratur lagi, sedangkan dadanya sudah terasa sesak. Kedua pendayung dalam kapal itu meningkatkan usaha memperlambat laju kapal, dan seorang di antara berteriak dalam bahasa Italia ‘Tahan!” Dantes masih menggapai-gapai sejenak, kemudian hilang dari permukaan air.

Dia masih dapat merasakan rambutnya dijambak dan diangkat ke atas, setelah itu ia tak sadarkan diri lagi.

Ketika ia membukakan matanya, tubuhnya tergeletak di geladak kapal kecil itu.

Seorang kelasi menggosok-gosok tubuhnya dengan selimut wol, yang lain, yang berteriak “Tahan!” menegukkan anggur ke dalam mulut Dantes, sedangkan orang yang ketiga, yaitu Kapten kapal, menatapnya dengan pandangan penuh keharuan seorang yang pernah terhindar dari malapetaka yang sama, atau kecemasan seseorang yang khawatir tertimpa nasib yang sama di masa mendatang.

“Siapakah engkau?” tanya Kapten dalam bahasa Perancis yang buruk.

“Saya pelaut dari Malta,” jawab Dantes dalam bahasa Italia yang sama buruknya.

“Kami datang dari Siracus. Badai tadi malam menghanyutkan kami dari teluk Morgiou dan menghancurkan kapal kami pada batu karang sana. Saya satu-satunya yang selamat. Ketika saya melihat Tuan datang saya berpegang kepada sebilah papan dan berenang menghampiri kapal Tuan. Saya pasti mati lemas seandainya tidak ditolong salah seorang anak buah Tuan.”

“Akulah yang menarik dia pada rambutnya” kata seorang kelasi yang berwajah jujur. Tepat pada saat engkau akan tenggelam.”

“Ya,” jawab Dantes sambil mengulurkan tangan kepadanya, “Terima kasih banyak, kawan.”

“Sebenarnya aku ragu melakukannya ketika melihat janggutmu yang panjang enam inci dan rambut sepanjang satu kaki. Kau lebih mirip seorang bandit.”

Dengan hati tersentak Dantes baru menyadari bahwa selama dalam penjara ia tidak pernah memotong rambut dan janggutnya. “Suatu hari, ketika berada dalam bahaya,” katanya, “saya bersumpah tidak akan memotong rambut dan janggut selama sepuluh tahun. Hari inilah habisnya masa yang sepuluh tahun itu dan lucu, saya merayakannya dengan hampir tenggelam.”

“Sekarang, apa yang harus kami lakukan denganmu?” tanya Kapten.

“Terserah kepada Tuan. Saya pelaut yang baik. Tuan dapat menurunkan saya di pelabuhan pertama yang Tuan singgahi, saya pasti dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan di salah satu kapal dagang.”

“Apakah kau mengenal Kepulauan Mediterania?”

“Saya sudah melayarinya sejak masa kanak-kanak. Saya mengenal hampir semua pelabuhannya sehingga saya dapat dengan mudah memasukkan dan mengeluarkan kapal dengan mata tertutup.”

“Kapten,” kata Jacopo, pelaut yang menyelamatkan jiwa Dantes, “tidakkah sebaiknya dia turut kita?”

“Baik,” sahut Kapten, “aku mau membawamu kalau engkau tidak meminta bayaran yang terlalu tinggi.”

“Cukup sebanyak yang lain.”

“Baik,” kata Kapten lagi. “Jacopo, dapatkah kau meminjaminya pakaian?”

“Saya masih mempunyai dua celana dan sebuah kemeja.”

Jacopo turun ke ruang bawah dan muncul kembali beberapa saat kemudian dengan membawa pakaian.

“Apalagi yang kauperlukan?” tanya Kapten.

“Bila boleh, sepotong roti dan segelas anggur lagi yang sedap seperti tadi” Jacopo menyodorkan anggur dan pelaut yang lain membawakan sepotong roti.

Dantes bertanya apakah dia boleh memegang kemudi. Jurumudi yang sangat gembira melihat kemungkinan istirahat, menoleh kepada Kapten yang memberi isyarat untuk menyerahkan kemudi kepada kawannya yang baru.

Dantes mengambil alih kemudi dan mengarahkan pandangannya ke pantai Marseilles.

“Tanggal berapa dan bulan apa sekarang?” Dantes bertanya kepada Jacopo yang duduk di sebelahnya.

“Dua puluh delapan Pebruari.”

‘Tahun?”

“Apa? Apakah kau tidak mengetahui tahun berapa sekarang?”

“Tadi malam aku sangat ketakutan,” jawab Dantes sambil tertawa, “sehingga hampir gila, dan sekarang pun ingatanku belum segar betul. Tahun berapa sekarang?”

“1829,” jawab Jacopo.

Empas belas tahun sudah sejak Dantes ditangkap. Dia baru berusia sembilan belas tahun ketika itu; sekarang tiga puluh tiga tahun umurnya. Senyum pahit melintas di bibirnya ketika hatinya bertanya apa yang telah terjadi dengan Mercedes selama masa itu, selama ia mengira pasti Dantes telah tiada. Matanya menyinarkan amarah tatkala ingatannya sampai kepada ketiga orang yang menyebabkannya menanggung derita yang lama dan kejam. Pada detik itu juga ia memperbaharui lagi sumpah pembalasannya kepada Danglars, Fernand dan Villefort. Sekarang sumpah ini bukan lagi merupakan ancaman hampa, karena ia sudah bebas dan tidak mungkin tertangkap lagi. Pada saat ini kapal tercepat pun tidak akan dapat menyusul kapalnya yang sedang meluncur cepat dengan layar penuh menuju Livarno.

Belum lagi sehari berada dalam kapal yang bernama Jeune-Amelie itu Dantes sudah mengetahui bahwa ia berada dalam lingkungan kaum penyelundup. Dalam hal ini Dantes mempunyai keuntungan. Ia mengetahui siapa dan apa kapten itu sedang Kapten tidak mengetahui apa dan siapa Dantes. Dantes berpegang teguh kepada ceriteranya dan dimana perlu menambahnya dengan ceritera-ceritera lain yang menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang Napoli dan Malta. Kapten kapal yang paling berpengetahuan pun akan mempercayai ceritera Dantes tanpa keraguan.

Ketika mereka sampai di Livarno, Dantes hampir tidak dapat menahan diri untuk dapat melihat bagaimana rupa wajahnya sekarang, Segera setelah mereka mendarat, ia pergi ke tukang cukur. Setelah tukang cukur selesai mencukur, Dantes meminta cermin kemudian menatapi wajahnya sendiri beberapa saat.

Umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Penyekapan selama empat belas tahun telah merubah wajahnya banyak sekali. Dia memasuki Gedung If dengan wajah yang lonjong berseri-seri penuh kebahagiaan seorang muda yang telah berhasil menjejakkan langkah pertama ke arah masa depan yang gemilang. Semua itu sekarang telah berubah. Raut mukanya yang lonjong tampak lebih memanjang, bibir yang selalu tersenyum berubah menjadi sebuah garis yang tegas penuh kepastian; alisnya jadi agak melengkung di bawah jidat yang telah berkerut segaris; matanya memancarkan sinar kesedihan yang mendalam, yang kadang-kadang diselingi kilat kebencian, kulitnya menjadi sangat pucat karena lama tidak tersentuh sinar matahari; ilmu pengetahuan yang diperolehnya di penjara tercermin pada air mukanya yang cerdas dan percaya diri. Selanjutnya, sekalipun pada dasarnya ia berbadan tinggi, namun tampak kesan gemuk pendek berkat ketegapan dan kekekarannya. Dan matanya yang telah lama terbiasa dalam kegelapan mempunyai kemampuan untuk segera dapat mengenali benda-benda dalam gelap bagaikan mata seekor anjing pemakan bangkai atau anjing hutan.

Dantes tersenyum melihat wajahnya di cermin. Sahabatnya yang paling dekat pun tidak akan mungkin mengenalinya lagi, bahkan dia sendiri merasa pangling.

Sekembalinya di kapal Jeune-Amelie kapten kapal memperbaharui tawarannya kepada Dantes untuk terus turut sebagai awak kapal yang tetap. Dantes telah mempunyai rencana sendiri hanya bersedia turut untuk selama tiga bulan saja.

Dalam tempo seminggu sejak kedatangannya di Livarno, Jeune-Ametie telah penuh dimuati kain muslin, yaitu kain yang tipis halus, katun, peluru senapan Inggris dan tembakau. Petugas-petugas bea cukai mengabaikan cap pemeriksaan terhadap barang-barang itu. Sekarang hanya tinggal mengeluarkan barang-barang itu dari Livarno, kemudian bertabuh di pantai Corsica, di mana sekelompok penyelundup lain akan melanjutkan pemasukannya ke Perancis.

Mereka meneruskan lagi pelayarannya, dan sekali lagi Dantes berada di samudera biru yang sering terimpikan selama dalam penjara.

Ketika Kapten muncul di geladak keesokan paginya, dia menemukan Dantes sedang bersandar sambil memandang dengan air muka yang aneh ke arah pulau karang yang kemerah-merahan karena sinar matahari: Pulau Monte Cristo. Jeune-Amelie melaluinya dalam jarak kurang lebih seribu lima ratus meter di sebelah kanan. Dantes sudah terbiasa menunggu. Dia sudah pernah menanti selama empat belas tahun untuk kemerdekaannya; pasti ia akan mampu menunggu setengah sampai satu tahun untuk mengambil kekayaannya.

Sambil memandang pulau itu ia mengulang-ulang isi surat Kardinal kata demi kata dalam hatinya.

Dua bulan setengah telah berlalu. Dan selama itu Dantes telah memiliki keahlian seorang penyelundup, sama dengan keahliannya sebagai seorang pelaut. Dia sudah bukan orang asing lagi bagi semua penyelundup sepanjang pantai, dan ia sudah menguasai semua isyarat rahasia untuk mengenali satu sama lain. Selama itu dia telah melewati Pulau Monte Cristo sekurang-kurangnya dua puluh kali, namun tanpa kesempatan sekalipun untuk mendaratinya.

Dia telah mengambil keputusan, apabila kontrak kerjanya dengan Jeune-Amelie berakhir, ia akan menyewa sebuah kapal layar kecil untuk pergi ke Monte Cristo. Ia akan dapat mencari harta karunnya dengan leluasa, tetapi dengan kemungkinan diintai oleh mereka yang membawanya ke sana. Ini adalah risiko yang harus dia pikul, karena betapapun ia memutar otaknya ia tidak menemukan jalan lain pergi ke pulau itu tanpa diantar orang lain.

Dia masih bergulat dengan persoalan itu ketika pada suatu malam Kapten yang sudah mempunyai kepercayaan penuh kepadanya dan berkeinginan untuk tetap mempekerjakannya, mengajak dia ke sebuah kedai minum di Via del Oglio, kedai yang menjadi tempat pertemuan para penyelundup. Pada malam itu ada perundingan rahasia yang sangat penting, mengenai sebuah kapal bermuatan permadani Turki, kain wol halus dan pakaian dari Lebanon. Untuk melakukan pertukaran barang-barang diperlukan suatu tempat yang netral dan aman dan selanjutnya menyelundupkannya ke pantai Perancis.

Keuntungan dari usaha ini akan sangat besar apabila berhasil. Setiap orang akan mendapat bagian lima puluh sampai enam puluh piaster.

Kapten Jeune-Amelie mengusulkan Monte Cristo yang tak berpenghuni dan bebas dari pengawasan serdadu dan pejabat bea cukai. Tempat itu dianggapnya sangat cocok untuk menurunkan muatan. Ketika Dantes mendengar nama Monte Cristo hatinya melonjak gembira. Dia berdiri untuk menyembunyikan perasaannya dan berjalan-jalan dalam ruangan kedai yang penuh dengan asap tembakau.

Ketika dia kembali ke tempat duduknya, putusan telah diambil, yaitu bahwa mereka akan mendarat di Monte Cristo dan akan mulai berangkat esok malam.


Report Page