The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB XII

SETELAH ternyata bahwa harta karun yang sekian lama menjadi buah renungannya sekarang dapat menjamin kebahagiaan masa depan anak muda yang dicintainya seperti anak sendiri, nilainya di mata Faria menjadi berlipat ganda. Yang menjadi bahan pembicaraannya setiap hari hanyalah tentang kebaikan harta kekayaan. Dia menerangkan kepada Dantes betapa banyak kebaikan yang dapat diperbuat seseorang kepada kawan-kawannya dalam jaman modern ini dengan kekayaan sebanyak itu. Pada saat mendengar keterangan itu wajah Dantes sering menjadi gelap karena ia teringat kepada sumpah pembalasannya, bahkan pikirannya sering berkata sebaliknya: betapa banyak kejahatan yang dapat diperbuat, seseorang kepada musuh-musuhnya dalam jaman modern ini dengan kekayaan sebanyak itu.

Faria tidak mengetahui letak pulau Monte Cristo tetapi Dantes mengetahuinya. Seringkali ia berlayar melalui pulau yang terletak dua puluh lima mil dan Pianosa, antara Corsica- dan Pulau Elba. Bahkan pernah sekali ia mendarati nya. Ketika itu, dan sekarang pun masih, pulau itu sunyi tidak berpenghuni. Bentuknya mengerucut seperti sebuah batu karang yang tersembul ke atas permukaan laut oleh gempa laut.

Seperti yang diramalkannya sendiri, tangan dan kaki kanan Faria tetap lumpuh dan dia hampir kehilangan semua harapannya untuk menguasai harta karun itu. Namun demikian ia tidak berhenti memikirkan dan membicarakan pelarian untuk sahabat mudanya. Dia meminta dengan sangat agar Dantes menghafalkan isi surat wasiat itu kata demi kata, untuk mencegah kesukaran seandainya karena sesuatu hal aurat itu hilang.

Lalu, pada suatu malam Dantes terjaga dari tidurnya karena mendengar ada orang yang memanggilnya. Dia membuka matanya lebar-lebar mencoba menembus kegelapan.

Terdengar suara yang sangat lemah menyebut-nyebut namanya. Dantes meloncat dari ranjangnya dan menajamkan kupingnya. Tak syak lagi, suara itu datang dari sel Padri Faria.

“Ya Tuhan!” kata Dantes. “Mungkinkah. . ?” Ia menggeser ranjangnya, cepat-cepat masuk ke dalam galian dan dalam waktu yang pendek sudah berada di ujung terowongan, ubin penutupnya telah terangkat. Berkat cahaya lampu yang remang-remang dia dapat melihat orang tua itu dengan wajahnya yang pucat dan tegang seperti yang pernah dikenalnya ketika mendapat serangan pertama dari penyakit yang mengerikan itu.

‘Nah,’ kata Faria dengan kesabaran seorang yang telah pasrah kepada nasib, “kau faham, bukan? Tidak perlu lagi aku menjelaskan. Sejak sekarang lebih baik kaupikirkan tentang dirimu sendiri, tentang ketabahan menanggung derita dan tentang kemungkinan melarikan diri. Tak lama lagi engkau akan bebas dari ikatan seorang yang setengah mati, yang membuat lumpuh gerakan-gerakanmu. Pada akhirnya Tuhan memberikan juga peluang-peluang kepadamu, dan bagiku saat telah tiba untuk meninggalkan dunia

ITU.

Dantes tak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis, “Oh Bapak, Bapak!” Lalu, setelah memperoleh kembali sedikit keberanian, ia berkata lagi, “Saya pernah menyelamatkan jiwa Bapak, dan saya akan melakukannya lagi!” Dia mengangkat kaki ranjang dan mengeluarkan botol obat yang masih berisi sepertiga bagian lagi.

‘Tak ada harapan lagi,” jawab Faria sambil menggelengkan kepala, “tetapi engkau boleh mencobanya kalau mau. Seluruh tubuhku sudah terasa dingin. Darah sudah mengalir semua ke kepala, dan getaran-getaran yang mengerikan sudah mulai terasa pula.

Dalam tempo lima menit serangan akan tiba dengan hebat, dan dalam seperempat jam lagi aku sudah menjadi mayat.”

“Oh!” teriak Dantes, hatinya seakan-akan pecah.

“Lakukanlah seperti yang dahulu kaulakukan, hanya saja, sekarang jangan menanti terlalu lama. Setelah diminumi duabelas tetes aku tetap tidak sadarkan diri, tuangkan saja semua isi botol ke dalam kerongkonganku. Baringkan aku sekarang di ranjang, aku sudah tidak tahan lagi.”

Dantes memangku orang tua itu dan membaringkannya di atas ranjang.

“Meskipun agak lambat” kata Padri Faria, “ternyata Tuhan telah mengirimkan engkau kepadaku sebagai satu-satunya penghibur dalam menjalani kehidupan yang hancur ini. Dan sekarang,” ia berhenti sejenak seperti hendak mengumpulkan seluruh kekuatan, “pada saat kita akan ber» pisah untuk selama-lamanya, aku mendo’akan dengan sebesar-besarnya harapan semoga engkau, anakku, segera menemukan kebahagiaan dan kemakmuran yang menjadi hak milikmu.”

Dantes bertekuk lutut dan merebahkan kepalanya ke ranjang. Setelah mengalami kejutan yang keras, orang tua itu berbisik lagi sambil memegang tangan. Dantes erat-erat, “Selamat tinggal, selamat tinggal, anakku.”

Serangan penyakit itu sangat hebat sehingga sekaligus mengejangkan kaki dan tangan, membengkakkan pelupuk mata, menyemburkan busa dari mulut dan akhirnya membuat kaku seluruh tubuh. Itulah sekarang yang tinggal dari seorang yang cerdas dan dalam ilmunya, yang beberapa detik yang lalu masih dapat berkata-kata. Pada saat yang dianggap tepat, Dantes merekahkan gigi Faria yang telah rapat ketat dengan pisau, lalu memasukkan dua belas tetes obat ke dalam mulutnya. Dia menanti sepuluh menit, seperempat jam, setengah jam. Tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Dengan badan gemetar dan dahi basah karena keringat dingin, Dantes menganggap sudah tiba saatnya untuk melakukan usahanya yang terakhir. Dia mengucurkan semua isi botol ke dalam mulut Faria.

Obat itu memperlihatkan juga pengaruhnya. Tangan dan kaki Faria tersentak seketika, matanya terbuka, tetapi sangat mengerikan untuk dipandang, dan mulutnya mengeluarkan suara yang mirip kepada teriakan,’ Kemudian, badannya yang bergetar mulai tegar kembali. Akhirnya, jantungnya berhenti berdenyut, wajahnya menjadi kebiru-biruan dan seluruh cahaya kehidupan memudar dari matanya yang tetap terbuka. Saat itu, jam enam pagi. Sinar-sinar pertama dari fajar telah menyelusup masuk ke dalam sel dan sekali-sekali tumpah pada wajah jenazah sehingga menimbulkan kesan yang aneh seakan-akan wajah itu hidup kembali. Selama malam berebut tempat dengan siang Dantes masih dapat bimbang, namun setelah siang hari jelas berkuasa, sadarlah Dantes sepenuhnya bahwa dia hanya berdua dengan mayat.

Kecemasan yang sangat mencekam dirinya. Dia sudah tidak berani lagi memegang tangan Faria yang terkulai dari ranjang, juga tidak berani melihat mata yang kosong yang telah berkali-kali ia coba menutupkannya namun tidak berhasil. Dantes meniup lampu, menyembunyikannya dengan baik, kemudian keluar dari sel itu dan menutup lagi lubang dengan batu dari bawah sebaik mungkin.

Dantes berada kembali di selnya sendiri tepat pada waktunya, karena Sipir sudah terdengar datang. Sekali ini ia mulai memasuki sel Dantes. Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Sipir tahu tentang apa yang telah terjadi. Dia keluar lagi. Terdorong oleh ketidaksabaran yang membara ingin mengetahui apa yang akan terjadi di kamar kawan karibnya yang malang, Dantes merangkak kembali melalui galian. Dia datang tepat sekali pada saat Sipir berteriak meminta tolong. Sipir-sipir lainnya segera bermunculan, kemudian terdengar langkah-langkah serdadu yang berat. Di belakangnya menyusul Gubernur Penjara.

Dantes mendengar ranjang berderak ketika mereka mencoba mengangkat mayat Gubernur memerintahkan menyembur muka Padri Faria dengan air. Setelah melihat bahwa semburan itu tidak menyadarkan Padri, ia menyuruh memanggil dokter. Gubernur meninggalkan sel dan Dantes mendengar kata-kata belas kasihan bercampur dengan ejekan dan tawa yang kasar.

“Akhirnya,” kata salah seorang, “si tua ini pergi juga untuk menjemput harta karunnya. Selamat jalan!”

“Dengan uangnya yang berjuta-juta ia masih tidak mampu membayar kain kafannya sendiri,” kata yang lain.

“Oh, kafan di gedung If tidak mahal harganya.” “Oleh karena ia seorang padri mungkin sekali yang berwewenang mengeluarkan biaya tambahan baginya.”

“Itu benar, ia akan mendapat kehormatan dikafani dengan karung.”

Setiap kata terdengar oleh Dantes, tetapi ia tidak dapat memahami seluruhnya apa yang dimaksud. Segera suara-suara orang bicara itu menghilang, rupanya semua telah keluar meninggalkan sel. Tetapi dia tidak berani memasuki sel itu karena khawatir mungkin ada seorang sipir ditinggalkan untuk menjaga mayat.

Setelah berlalu kurang lebih satu jam, kesunyian terpecahkan oleh suara samar-samar yang makin lama makin jelas terdengar. Gubernur kembali disertai oleh dokter dan beberapa orang pegawai lainnya.

Untuk sejenak tidak mendengar orang berbicara, rupanya dokter sedang memeriksa mayat padri Akhirnya dokter menyatakan bahwa tahanan itu telah mati dan menjelaskan sebab kematiannya.

“Bukan karena aku meragukan wewenang Tuan, Dokter,” kata Gubernur, “tetapi dalam hal seperti ini kami tidak dapat merasa puas dengan pemeriksaan. Saya meminta Tuan memeriksa semata-mata hanya untuk menjalankan apa yang telah ditentukan oleh hukum.”

“Baiklah kalau begitu ” kata dokter, “tolong panaskan sebatang besi.”

Permintaan ini membuat diri Dantes bergidik. Dia men dengar orang berlari dan pintu terbuka. Beberapa lama kemudian seorang sipir kembali lagi ke dalam sel. Lalu, bau daging terbakar yang menusuk menyelusup masuk ke tempat Dantes mendengarkan dengan penuh ketakutan. Keringat bercucuran di dahinya dan untuk sejenak ia mengira akan jatuh pingsan.

“Tuan lihat sekarang, dia benar-benar telah mati,” kata dokter lagi. “Pembakaran ditumitnya itu sangat memastikan. Orang gila yang matang ini telah sembuh dari penyakitnya dan bebas dari penyekapannya”

Dantes mendengar suara gemerisik kain. Ranjang berderak. Kemudian terdengar suara langkah orang berjalan sambil membawa beban yang berat dan ranjang berderak sekali lagi karena tekanan barang berat yang diletakkan kembali di atasnya.

“Apakah akan ada misa requiem?” tanya salah seorang. “Tak mungkin” sahut gubernur, ‘Padri kita sedang pergi cuti selama seminggu. Apabila Faria yang malang ini tidak terburu-buru mati, mungkin ia dapat disembahyangkan”

“Biarlah,” kata dokter dengan nada kurang hormat seperti yang biasa dimiliki oleh para dokter, “Tuhan toh tidak akan menggembirakan setan dengan mengirim roh seorang padri kepadanya.”

Terdengar suara tertawa terbahak bahak

“Malam nanti,” kata Gubernur. “Jam berapa?” tanya salah seorang sipir.

“Sekitar jam sepuluh atau sebelas, seperti biasa.” “Apakah kami perlu menjaga mayatnya?”

“Buat apa? Kunci saja pintunya seperti ia masih hidup.”

Mereka semua meninggalkan sel Padri Faria dan suara langkah langkahnya makin lama makin menghilang. Keadaan menjadi sunyi kembali. Namun ada kesunyian yang lebih mencekam daripada sunyi sepi, yaitu sunyi kematian yang merasuk dan menggetarkan lubuk hati Dantes. Dengan hati-hati ia mengangkat batu penutup lubang dengan kepalanya dan melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kosong. Dia masuk.

Dengan diterangi oleh sinar siang yang remang-remang Dantes melihat jenazah Padri Faria terbujur di ranjangnya, dibungkus dengan kain yang kasar. Itulah kain kafan yang menurut sipir-sipir tidak mahal harganya. Segala sesuatu telah berlalu. Kini. Dantes benar-benar telah dipisahkan untuk selama-lamanya dari sahabat karibnya.

Faria, seorang kawan yang banyak memberikan bantuan, kawan berbincang yang menyenangkan, sekarang hanya tinggal dalam kenangan. Dantes duduk di tepi ranjang yang mengerikan itu, hanyut dalam kesedihan yang pahit dan memilukan.

Sendiri! Dia menyendiri lagi! Pikiran membunuh diri yang pernah dienyahkan oleh hadirnya Padri Faria kini muncul kembali bagaikan hantu. “Seandainya aku dapat mati,” katanya, “aku akan pergi ke tempat arah Padri dan aku bersama-sama lagi dengan beliau.

Tetapi bagaimana aku dapat mati?” Dia berpikir sejenak, lalu tersenyum, “Mudah sekali. Aku akan tinggal di sini dan menyerang orang pertama yang masuk ke dalam sel ini.

Akan kucekik lehernya, dan mereka tentu akan menebas leherku.”

Tetapi segera ia memalingkan diri dari gagasan mati konyol seperti itu, dan segera pula hatinya beralih dari putus asa kepada gairah hidup dan semangat membebaskan diri.

“Mati? Tidak, tidak ” katanya kepada diri sendiri. “Apa guna penderitaanku kalau aku mati sekarang? Tidak, aku ingin hidup dan berjuang sampai akhir. Aku ingin memperoleh kembali kemerdekaan yang hilang dirampas orang. Aku mesti menghukum dahulu musuh-musuhku sebelum aku mati, dan aku pun perlu membalas budi sahabat-sahabatku.

Selama aku di sini aku akan terlupakan. Tetapi satu-satunya jalan meninggalkan sel bawah tanah ini hanya dalam keadaan mati.”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia duduk bagaikan terpaku. Matanya memandang ke alam kosong seperti orang yang tiba-tiba tersentak oleh suatu pikiran yang mengerikan.

Kemudian dia berdiri, dan meletakkan tangan kanan pada dahi seperti orang yang merasa pusing. “Siapakah yang memasukkan pikiran, ini? Engkaukah ya Tuhanku? Oleh karena hanya mayat saja yang dapat meninggalkan tempat ini, aku akan mengambil alih tempat Faria!”

Tanpa memberikan kesempatan kepada dirinya untuk memikirkan kembali keputusannya yang nekad itu, dia menghampiri mayat dan membuka karungnya dengan pisau yang dibuat dahulu oleh Faria. Jenazah Faria dikeluarkannya dan membawanya ke dalam selnya sendiri, membaringkannya di atas ranjang, membungkus kepalanya dengan kain-kain rombengan seperti biasa dia lakukan sendiri, menyelimutinya, dan mencium dahinya untuk terakhir kalinya, sekali lagi mencoba menutup mata jenazah tetapi tetap tak berhasil, kemudian menghadapkan wajah padri itu ke dinding sehingga bila sipir datang mengantarkan makan malam ia akan mengiranya sudah tidur, seperti yang telah sering ia lakukan. Kemudian ia kembali ke kamar Faria. Ia mengambil jarum dan benang, menanggalkan dan menyembunyikan pakaiannya sehingga sipir dapat merasakan badan telanjang dalam karung, masuk ke dalam karung itu dan membaringkan diri seperti mayat, dan akhirnya menjahit kembali karung itu dari dalam. Seandainya saja Sipir datang ketika itu, dia akan mendengar detak jantung Dantes. Rencananya telah disusun seperti berikut:

apabila para penggali liang lahat mengetahui bahwa mereka mengangkat mayat hidup, ia akan secepatnya menyobek karung itu dengan pisau dan akan memanfaatkan keterkejutan mereka dengan cepat-cepat melarikan diri; apabila mereka berusaha mencegahnya dia akan menggunakan pisau untuk menyerang mereka. Apabila mereka membawanya sampai ke peku buran dan memasukkannya ke dalam liang lahat, ia akan membiarkan dirinya dikubur, dan oleh karena hari malam, segera setelah para pengubur pulang ia akan berusaha keluar dari kubur menembus tanah yang masih empuk dan . . . berlari.

Dia mengharapkan mudah-mudahan tanah kuburannya tidak terlampau berat untuk ditembus. Kalau tidak, ia akan mati terkubur. Namun demikian, kemungkinan mati pun tidak mengecilkan hatinya, sebab paling tidak, kematian itu berarti berakhirnya penderitaan.

Menjelang jam tujuh malam kecemasannya sudah meningkat. Seluruh anggota tubuhnya gemetar dan hatinya seakan-akan membeku. Waktu berlalu tanpa sesuatu kejadian istimewa. Sampai sejauh itu muslihatnya tidak terbongkar.

Akhirnya ia mendengar langkah-langkah orang berjalan di tangga. Saatnya telah tiba. Dia mengumpulkan semua keberaniannya, menahan napas dan mencoba menekan detak jantungnya.

Pintu kamar terbuka dan secercah cahaya mengenai matanya. Melalui kain yang membungkus dirinya, Dantes dapat melihat dua bayangan menghampiri ranjangnya.

Orang yang ketiga berdiri di ambang pintu sambil memegang lentera. Kedua orang itu mengangkat karung pada kedua ujungnya. Dantes membuat dirinya sekaku mungkin.

“Berat sekali untuk orang sekecil padri tua itu,” kata salah seorang.

“Kata orang, setiap tahun tulang manusia bertambah berat dengan seperempat kilo,” jawab yang lain.

Mereka membawa Dantes dengan sebuah usungan dan iringan penguburan ini dipimpin oleh orang yang membawa lentera. Tiba-tiba Dantes merasakan sejuk dan segarnya udara malam dan tajamnya angin yang menghembus dari laut. Perasaan ini menimbulkan kegembiraan bercampur kecemasan.

Mereka masih mengusungnya kira-kira dua puluh yard lagi, lalu berhenti, dan meletakkan usungan di tanah. Dantes mendengar salah seorang pergi menjauh.

“Di mana aku?” dia bertanya dalam hati Pikiran yang pertama terlintas di kepalanya ialah mencoba melarikan diri, tetapi untungnya dapat menguasai diri. Beberapa saat kemudian dia mendengar lagi salah seorang datang mendekat dan menjatuhkan sesuatu yang berat ditanah. Pada saat yang sama ia merasakan seuntai tali diikatkan pada pergelangan kakinya, demikian erat sehingga sangat menyakitkan.

“Sudah disimpulkan talinya?” tanya orang yang sejak tadi tidak turut bekerja.

“Sudah, dan saya bertanggung jawab.” “Baik, Ayo terus”

Usungan itu diangkat kembali dan iringan berjalan lagi. Gemuruh ombak yang menampar karang tempat berdiri gedung If terdengar makin jelas oleh Dantes.

“Buruk sekali cuaca malam ini,” kata salah seorang “Aku tidak” mau berada di laut malam ini”

“Aku juga,” jawab yang lain, “ada kemungkinan padri ini akan membasuh kakinya!” Keduanya tertawa terbahak-bahak.

Dantes tidak mengerti akan olok-olok itu, namun demikian bulu tengkuknya tak urung berdiri.

“Sudah sampai,” kata orang pertama setelah beberapa saat.

“Tidak, terus lagi, terus lagi! Kau tentu masih ingat, yang terakhir kita lemparkan terdampar pada batu karang, dan keesokan harinya Gubernur menyebut kita bajingan-bajingan malas.”

Mereka berjalan lagi beberapa langkah, kemudian Dantes merasa terangkatnya pada kepala dan kalanya dan terayunkan ke muka dan ke belakang.

“Satu! Dua! Tiga!”

Berbarengan dengan kata ‘tiga' Dantes merasakan dirinya melayang di udara. Rasa takut mencekam hatinya ketika ia merasa dirinya menurun lagi ke bawah bagaikan seekor burung yang terluka.

Akhirnya, setelah seakan-akan seabad lamanya, terdengarkah suara sesuatu barang jatuh ke dalam air, dan Dantes melesat bagaikan anak panah tenggelam ke dalam laut yang dingin. Dia berteriak keras tetapi pekiknya segera menghilang ditelan air.

Dengan cepat sekali ia tenggelam karena badannya diberati oleh dua buah peluru meriam yang diikatkan kepada kakinya.

Laut itulah kiranya yang menjadi tempat penguburan para pesakitan penjara If.

Report Page