The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB X

DANTES memeluk kawan barunya, seorang kawan yang sudah lama sekali ia harap-harapkan dengan tidak sabar. Dia menarik orang baru itu ke dekat jendela agar dapat melihat wajahnya dengan jelas dalam cahaya remang-remang. Perawakannya agak pendek. Rambutnya telah memutih, lebih banyak disebabkan karena penderitaan daripada sebab ketuaan. Matanya yang tajam hampir tersembunyi di bawah alis tebal yang juga sudah putih. Janggutnya yang masih hitam bergantung sampai ke dada. Pada wajahnya yang Ionjong tampak garis-garis keras, sebagaimana lazimnya ditemukan pada wajah orang yang biasa melatih kekuatan batiniah daripada kekuatan badaniah. Pakaiannya sudah sukar dibayangkan lagi bagaimana corak dan potongan asalnya karena sudah merupakan cabikan kain yang melekat di badannya.

Menilik keadaannya orang akan mengira umurnya tidak akan kurang dari enam puluh lima tahun, namun kesigapan geraknya menunjukkan bahwa ketuaan yang tampak pada wajahnya itu mungkin lebih banyak disebabkan karena terlampau lama dalam sekapan.

Dia menyambut kegembiraan Dantes dengan kegembiraan yang sama. Untuk seketika hatinya yang sudah lama membeku seakan-akan mencair karena sukacita anak muda ini.

la menyambut Dantes dengan kehangatan, walaupun diliputi semacam kekecewaan karena setelah bersusah-payah sekian tahun lamanya, hanya berhasil masuk ke sel orang lain, bukannya ke alam bebas seperti yang dicita-citakannya.

“Terlebih dahulu ” katanya, “sebaiknya kita menyembunyikan dahulu terowongan kita.“ Dia menutup kembali lubang dengan batu.

“Engkau kurang hati-hati tampaknya,” katanya lagi memperhatikan batu itu. “Apakah tidak ada perkakas?”

“Apa Bapak mempunyainya?” tanya Dantes heran.

“Saya membuatnya sendiri, kecuali kikir. Saya mempunyai semua yang diperlukan: pahat, kakatua dan pe-nyungkil.” Dan ia memperlihatkan sebuah pisau yang tajam dengan gagang kayu.

“Bagaimana Bapak membuatnya?”

“Dari salah satu jepitan besi tempat tidurku. Dengan alat-alat itulah aku menggali terowongan dari selku sampai ke selmu, jaraknya kurang lebih lima puluh kaki.”

“Lima puluh kaki!” Dantes semakin terheran-heran.

“Betul, tetapi semua susah payahku sia-sia sekarang. Gang di luar kamarmu itu menuju ke pekarangan yang penuh dengan penjaga. Sedangkan dari sini tidak ada jalan lari. Tetapi kehendak Tuhan pasti terlaksana.” Wajah orang tua itu menunjukkan kesabaran yang mendalam. Dengan rasa heran bercampur kagum Dantes memandang orang tua ini yang dengan bijak sekali mampu melepaskan harapannya yang selama ini telah menopang daya juangnya.

“Bersediakah Bapak menceriterakan diri Bapak?” tanya Dantes.

‘Ya kalau itu masih juga penting bagimu, setelah ternyata sekarang bahwa aku tiada gunanya bagimu. Aku ini Padri Faria Aku berada di Penjara If sejak tahun 1811, tetapi sebelum itu aku dipenjarakan di Benteng Fenestrella selama tiga tahun. Tahun 1811 dipindahkan dari Piedmont ke Perancis.”

“Apa sebab ditahan?”

“Karena dalam tahun 1807 aku melontarkan suatu gagasan yang ternyata dicoba dilaksanakan oleh Napoleon dalam tahun 1811. Karena seperti Machiavelli, aku cenderung untuk melihat sebuah kekaisaran yang agung dan berwibawa daripada kekuasaan yang terpecah yang membuat Italia menjadi sebuah kerajaan yang kecil, lemah, rapuh dan dholim, oleh karena saya menganggap kaisarku, Kaisar Borgia sebagai kaisar yang pandir yang berpura-pura saja mengerti pandanganku.”

Dantes tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat mempertaruhkan hidupnya untuk soal-soal seperti itu. “Bukankah Bapak,” dia bertanya setelah secara remang-remang dapat memahami pendapat Sipir, “Padri yang dianggap . . . sakit?”

“Maksudmu, gila, bukan?”

“Saya tak berani mengatakannya,” kata Dantes tersenyum.

“Benar, benar,” jawab Faria dengan tawa yang pahit. “Akulah yang dianggap gila itu.” Dantes berdiam sejenak, kemudian bertanya lagi, “Apakah Bapak sekarang sudah melepaskan niat melarikan diri?”

“Sekarang aku tahu bahwa melarikan diri sangat mustahil. Itu akan berarti pemberontakan terhadap kehendak Tuhan.”

“Mengapa putus asa? Bukankah usaha yang telah dilakukan itu pun menuntut lebih banyak daripada takdir Tuhan? Mengapa tidak menggali lagi terowongan baru dengan arah yang lain?”

‘Terowongan lain! Tahukah apa yang telah kukerjakan? Tahukah bahwa untuk membuat perkakasnya saja aku memerlukan waktu empat tahun? Tahukah bahwa selama dua tahun aku mengorek dan menggaruk tanah yang keras seperti granit? Tahukah engkau bahwa aku harus mengungkit dan mengangkat batu-batu besar yang aku sendiri tidak percaya dapat melakukannya? Tahukah bahwa untuk menyembunyikan semua batu dan tumpukan tanah itu aku harus menembus dinding tangga dan bahwa tempat itu sekarang sudah sedemikian penuhnya sehingga sudah tidak dapat memuat lagi debu sejemput pun? Dan di atas segala-galanya, tahukah engkau bahwa aku mengira sudah hampir sampai di akhir kerjaku dan merasa hanya mempunyai sisa tenaga cukup untuk menyelesaikannya saja ketika tiba-tiba aku tahu bahwa semua jerih payahku selama bertahun-tahun itu sia-sia belaka? Oh, tidak!, aku tidak akan melakukan apa-apa lagi untuk memperjuangkan kembali kebebasanku, oleh karena kehendak Tuhanlah aku kehilangan kemerdekaan untuk selama-lamanya.”

Dantes menundukkan kepala agar Padri itu tidak melihat bahwa kegembiraannya mendapatkan kawan telah menghalanginya untuk turut merasakan kesedihan Padri sepenuhnya.

“Selama dua belas tahun di penjara,” Padri Faria meneruskan, “aku telah mempelajari dengan seksama semua usaha pelarian yang termashur dalam sejarah. Yang berhasil sangat jarang sekali, dan kebanyakan dari yang sedikit itu benar-benar merupakan hasil pemikiran yang cermat dan persiapan-persiapan yang dilakukan dengan penuh kesabaran. Walaupun demikian, beberapa di antaranya ada yang berhasil berkat kesempatan yang kebetulan saja tiba, dan bila dia tiba, kita harus memanfaatkannya.”

“Bapak dapat menunggu,” kata Dantes mengeluh. “Saya tidak. Pekerjaan yang besar itu memberi Bapak kesibukan. Apabila kita tidak mempunyai kesibukan,’ hanya harapan sajalah yang dapat menopang hidup kita.”

“Menggali terowongan itu bukan satu-satunya kesibukanku,” jawab Padri.

“Apa lagi yang lainnya?”

“Aku menulis dan belajar.”

“Apakah mereka memberi Bapak kertas, pena dan tinta?”

“Tidak, aku membuatnya sendiri.”

“Bapak membuat sendiri kertas, pena dan tinta?”

“Ya.”

Dantes memandangnya dengan penuh kekaguman, tetapi sulit sekali untuk mempercayai apa yang dikatakannya. Padri Faria merasakan keraguan Dantes, karena itu dia berkata, “Kalau engkau nanti datang ke selku akan kuperlihat-kan sebuah buku, sebagai hasil dari semua pemikiran penyelidikan dan penelitianku selama hidup. Buku itu berjudul: “Uraian Tentang Kemungkinan Sebuah Kerajaan Tunggal di Italia.”

“Dan Bapak menulisnya di sini?“

“Ya, pada dua buah kemeja. Aku telah menemukan ramuan yang dapat membikin kain menjadi halus dan kuat seperti kertas perkamen. Aku berhasil membuat pena yang bagus sekali dari tulang rawan kepala ikan yang sekali-kali mereka berikan untuk makan kita.”

“Bagaimana dengan tintanya?” tanya Dantes. “Bagaimana Bapak membuatnya?”

“Dahulu ada tungku api dalam selku. Tetapi mereka tidak mempergunakannya lagi sejak beberapa saat sebelum aku masuk. Rupanya tungku itu pernah dipakai selama bertahun-tahun, ternyata dari lapisan jelaga yang tebal di dalamnya. Aku melarutkan sebagian dari jelaga itu ke 1 dalam anggur yang diberikan kepadaku setiap hari Minggu, dan hasilnya: tinta yang baik. Apabila aku hendak memberikan tekanan pada bagian-bagian tertentu dalam buku itu, aku menusuk salah satu jari dan menuliskannya dengan darahku sendiri.”

“Bilamana saya dapat melihat itu semua?”

“Bilamana saja engkau suka.”

“Sekarang sajalah!”

“Ikuti aku,” kata Padri. Dia membalikkan badan dan menghilang ke dalam terowongan- Dantes mengikutinya.

Setelah merangkak-rangkak dengan menundukkan kepala tetapi tanpa kesukaran, mereka sampai ke ujung terowongan yang berakhir di kamar Padri. Dengan jalan mengangkat salah satu ubin di sudut kamar itu yang tergelap Padri itu tadi memulai pekerjaannya yang luar biasa.

Segera setelah Dantes berada di dalam kamar, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya, tetapi tidak melihat sesuatu yang luar biasa. “Saya ingin sekali segera melihat kekayaan Bapak.”

Padri Faria berjalan dekat ke tungku api dan menggeserkan sebuah batu. Setelah tergeser tampaklah seperti sebuah gua yang agak dalam- Di sinilah disembunyikannya semua barang yang diceriterakan kepada Dantes. “Apa yang ingin kaulihat lebih dahulu?” tanyanya kepada Dantes.

“Buku tentang kerajaan di Italia itu.”

Padri Faria mengeluarkan tiga atau empat gulungan kain terdiri dari beberapa lembar yang mempunyai lebar kira-kira empat inci dan panjang delapan belas inci. Setiap lembar diberi bernomor dan penuh dengan tulisan. Bahasa yang digunakan bahasa Italia yang difahami oleh Dantes dengan baik sekali oleh karena ia orang Provencal.

“Semuanya di sini,” kata Padri. “Baru seminggu yang lalu aku membubuhkan kata tamat di bawah lembaran yang ke tujuh puluh delapan. Dua dari kemejaku dan semua saputanganku kukorbankan untuk itu. Apabila aku bebas kembali dan apabila ada penerbit di Italia yang berani menerbitkannya, namaku akan terpancang baik-baik.”

Dia memperlihatkan pena yang dibuatnya sendiri, Dantes melihat-lihat mencari alat yang sekiranya dapat digunakan membuat pena sehalus itu. “Engkau mencari pisau yang kugunakan untuk membuat itu, bukan?” kata Padri. “Inilah dia. Ini merupakan puncak karyaku, terbuat dari besi tempat lilin tua. “Pisau itu setajam pisau cukur. Dan aku berhasil pula membuat lampu sehingga aku dapat bekerja di malam hari,” kata Padri Faria meneruskan lagi.

“Bagaimana lagi membuatnya?”

“Aku memisahkan lemak dari daging yang diberikan kepadaku. Lalu memanaskannya

sehingga menjadi cair, sama dengan minyak yang kental.”

“Dari mana apinya?”

“Aku berpura-pura mempunyai penyakit kulit dan meminta diberi belerang. Mereka

memberikannya.”

Dantes meletakkan barang-barang itu di atas meja dan kepalanya tertunduk terpengaruh oleh ketabahan hati Padri.

“Itu belum semua,” kata Padri Faria. “Tidak bijaksana menyimpan semua kekayaan di satu tempat. Kita tutup lagi ini.”

Mereka mengembalikan lagi batu penutup pada tempatnya. Padri menaburkan debu di atasnya dan meratakan dengan kakinya Kemudian dia menghampiri tempat tidurnya dan menariknya Di belakang tempat tidur itu, ada sebuah lubang yang tertutup dengan rapi oleh sebuah batu yang cocok sekali ukurannya. Di dalamnya terdapat sebuah tangga tali sepanjang dua puluh lima sampai tiga puluh kaki. Dantes memeriksanya dan ternyata tangga itu mengherankan sekali kuatnya.

“Bagaimana Bapak mendapatkan tali untuk membuat tangga sekuat ini?”

“Dari benang yang kuuraikan dari beberapa kemejaku dan seperai selama tiga tahun di penjara Fenestrella. Aku berhasil membawanya ke mari ketika dipindahkan, kemudian meneruskan menjalin tangga itu di sini.”

“Apakah Sipir di sana tidak melihat bahwa seperai Bapak hilang kelirunya?”

“Aku menjahitnya lagi dengan jarum ini.” Dia memperlihatkan tulang ikan, panjang, tajam dan masih ada benangnya “Semula aku berniat membongkar jeruji dan melarikan diri lewat jendela. Seperti kaulihat, jendela ini sedikit lebih lebar dari jendela di selmu, dan aku dapat melebarkannya lagi sedikit bila aku sudah siap untuk lari. Tetapi dari jendela ini aku akan muncul di pekarangan sebelah dalam. Oleh sebab itu, aku melepaskan rencana itu karena terlalu berbahaya. Tetapi tangga ini tetap kusimpan, mungkin diperlukan, siapa tahu nanti ada kesempatan baik datang.”

Sambil seakan-akan meneliti tangga, Dantes sebenarnya memikirkan soal lain. Sebuah pikiran terlintas di kepalanya. Orang ini begitu cerdas, begitu terampil, begitu mendalam, bahkan sanggup menembus kegelapan rahasia nasib buruknya sendiri, Dantes sendiri tidak pernah dapat memahaminya.

“Apa yang kaupikirkan?” tanya Padri tersenyum.

“Bahwa Bapak telah menceriterakan sesuatu tentang diri Bapak, tanpa mengetahui sedikit pun tentang diri saya.”

“Hidupmu, anak muda masih terlalu pendek untuk dapat mengandung sesuatu yang sangat berarti.”

“Paling tidak, mengandung nasib buruk yang tak terkata-kan,” sahut Dantes. “Nasib buruk yang tidak seharusnya saya pikul, dan saya berharap dapat mempersalahkan manusia, bukan mengutuk Tuhan seperti yang kadang-kadang saya lakukan.”

“Ceriterakanlah kepadaku, kalau begitu ” kata Padri sambil menutup kembali tempat rahasianya, kemudian menggeserkan tempat tidurnya.

Dantes menceriterakan apa yang dia sebut sebagai riwayat hidupnya, yang hanya terbatas kepada pelayaran ke India dan dua atau tiga pelayaran lagi ke Timur Dekat. Akhirnya ia sampai kepada pelayarannya yang terakhir dan menceriterakan tentang kematian Kapten Leclere, bungkusan yang diamanatkan kepadanya untuk disampaikan ke Pulau Elba, surat dari Marsekal kepada Tuan Noirtier di Paris, kemudian kedatangannya kembali di Marseilles, kunjungan kepada ayahnya, cintanya kepada Mercedes, pesta pertunangan, penangkapannya, pemeriksaan kepada dirinya, penahanan sementara di Kantor Kejaksaan, dan akhirnya pemindahannya ke penjara If. Sejak itu Dantes sudah tidak mengetahui apa-apa lagi, bahkan tidak mengetahui berapa lama sudah ia di dalam penjara.

Ketika ia selesai berceritera, Padri Faria tetap bungkam, hanyut dalam pikirannya. Setelah beberapa lama barulah dia berkata, “Ada sebuah ungkapan dalam dunia pengadilan yang berbunyi: ‘Kalau ingin mengetahui siapa pelakunya, temukanlah dahulu siapa yang beruntung dari kejahatan itu' Siapakah yang beruntung dengan hilangmu dari masyarakat?”

“Tidak seorang pun,” kata Dantes. “Saya tidak sepenting itu”

“Jangan berkata begitu, segala sesuatu itu nisbi. Engkau hampir diangkat menjadi Kapten, bukan?”

“Ya.”

“Dan engkau hampir menikah dengan gadis yang cantik?”

“Ya.”

“Nah, pertama sekali, apakah ada orang yang tidak menghendaki engkau menjadi Kapten kapal Le Pharaon?”

“Tidak, semua awak kapal menyukai saya. Tepatnya, seandainya mereka berhak memilih kaptennya sendiri, saya yakin mereka akan memilih saya. Hanya seorang dalam kapal yang mempunyai alasan untuk tidak menyukai saya, karena pernah saya bertengkar dengan dia dan menantang dia duel, yang ditolaknya”

“Aha! Siapa namanya?”

“Danglars. Kepala Penata Usaha Kapal.”

“Kalau engkau menjadi kapten, apakah engkau akan memecatnya?”

“Ya, kalau saya mempunyai wewenang melakukannya. Saya kira, saya menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pembukuannya.”

“Baik. Apakah ada orang lain hadir ketika engkau berbicara untuk terakhir kalinya dengan Kapten Leclere?”

“Tidak, kami hanya berdua saja”

“Mungkinkah ada orang yang dapat mendengarkan pembicaraan itu?”

“Saya kira mungkin. Pintu kamar Kapten terbuka ketika itu. Tepatnya ... Nanti, nanti ... Ya. Danglars berlalu tepat ketika Kapten Leclere menyerahkan bungkusan.”

“Baik,” kata Padri. “Sudah mulai terang sekarang. Apakah engkau membawa kawan ketika turun di Pulau Elba?” “Tidak.”

“Apa yang kaulakukan dengan surat yang diterima di sana?”

“Menyimpannya dalam tas surat.”

“Apakah tas surat itu kaubawa ketika itu?”

“Tidak. Ada di kapal. Saya memasukkannya setelah kembali di kapal.”

“Di mana disimpannya, antara waktu meninggalkan pulau dan memasukkannya ke dalam tas?”

“Saya pegang selalu.”

“Berarti, ketika engkau kembali ke kapal semua orang dapat melihat bahwa engkau membawa sebuah surat. Betul?”

“Ya.”

“Sekarang,” kata Padri Faria, “dengarkan baik-baik, dan coba ingat-ingat sebaik mungkin. Dapatkah engkau mengatakan bagaimana bunyi surat pengaduan itu?”

“Tentu saja! Saya membacanya tiga kali berturut turut sehingga setiap kata terpateri dalam ingatan saya.” Dantes mengulangi isi surat pengaduan itu kata demi kata.

Padri Faria mengangkat bahunya “Terang bagaikan siang hari katanya.” “Rupanya hatimu terlalu bersih untuk dapat dengan segera memecahkan persoalannya. Bagaimana bentuk tulisan Dangiars?”

“Bulat dan bagus.”

“Bagaimana huruf-huruf surat pengaduan itu?” “Agak miring ke kiri.”

Padri Faria tersenyum dan berkata, ‘Tulisan itu palsu, bukan?”

“Sungguh kurang ajar kalau begitu,” kata Dantes gemas.

“Tunggu,” kata Padri Faria. Dia mengambil sebuah pena kemudian menulis beberapa huruf dengan tangan kirinya pada secarik kain. Dantes sangat terkejut sehingga tanpa disadarinya ia terloncat selangkah ke belakang dan matanya terbelalak melihat Padri.

“Sungguh mengherankan,” katanya, “betapa samanya tulisan itu dengan ini.”

“Berarti bahwa surat pengaduan itu ditulis dengan tangan kiri. Aku telah meneliti bahwa hampir semua tulisan yang dilakukan dengan tangan kiri, sama! Sekarang mari kita teruskan dengan pertanyaan kedua, apakah ada yang senang kalau engkau tidak jadi kawin dengan Mercedes?”

“Ya, ada. Ada seorang pemuda yang juga mencintai Mercedes, orang Catalan bernama Fernand.”

“Bagaimana menurut pendapatmu, apakah ia sanggup memfitnah seperti itu?”

“Saya kira tidak, saya lebih percaya bahwa ia akan sanggup menikam saya. Selain dari itu, ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang yang disebutkan dalam surat itu.

Saya tidak pernah menceriterakan kepada siapa pun, bahkan juga tidak kepada Mercedes.”

“Apakah Fernand kenal dengan Danglars?”

“Tidak . . . Ya! Saya ingat sekarang. Saya melihat mereka duduk bersama di sebuah kedai dua hari sebelum hari pernikahan yang tidak jadi berlangsung. Danglars kelihatan ramah, Fernand tampak pucat dan marah. Masih ada seorang lagi, yaitu Caderouse tukang jahit yang saya kenal baik, tetapi ketika itu dia mabuk sekali.

“Menganalisa kedua kawanmu itu pekerjaan anak kecil,” kata Padri, “tetapi sekarang saya ingin mendapat keterangan yang setepat-tepatnya,”

“Silahkan saja tanyakan, Bapak dapat melihat masalah Saya lebih jelas daripada saya sendiri.”

“Siapa yang memeriksamu setelah ditangkap?” “Wakil Jaksa Penuntut Umum.”

“Bagaimana dia memperlakukanmu?”

“Baik sekali”

“Kau menceriterakan segala-galanya kepadanya?”

“Ya.”

“Apakah pernah ada perubahan sikap padanya selama pemeriksaan itu?”

“Ada, ketika beliau membaca surat yang saya terima di Pulau Elba itu. Tampaknya beliau sangat cemas, membayangkan nasib buruk yang mungkin menimpa saya”

“Yakinkah engkau bahwa nasib burukmu yang membuatnya cemas?”

“Saya kira begitu, karena beliau memberi bukti. Beliau membakar surat itu di hadapan saya sambil berkata: ‘Itulah satu-satunya bukti yang dapat mencelakakanmu dan seperti engkau lihat sendiri, aku telah memusnahkannya’.”

“Tindakan itu terlalu halus untuk sewajarnya. Artinya, mencurigakan.”

“Begitukah menurut pendapat Bapak?”

“Aku yakin. Kepada siapa surat itu dialamatkan?”

“Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron 13 Paris.”

“Menurut pendapatmu, mungkinkah Wakil Jaksa itu mempunyai alasan lain apa sebab membakar surat itu?”

“Barangkali, Beliau meminta saya dua sampai tiga kali membuat janji agar tidak akan menceriterakan surat itu kepada siapa pun, bahkan membuat saya bersumpah untuk tidak pernah akan menyebutkan nama si alamat surat tadi.” “Noirtier.. Noirtier.. ,” kata Padri berulang-ulang sambil berfikir.

“Pernah aku mengenal seorang bernama Noirtier di Istana Ratu Etruna, Noirtier yang bergabung dengan kaum Girondi waktu zaman revolusi. . .

Siapa nama Wakil Jaksa itu?”

“Villefort.”

Padri Faria tertawa terbahak-bahak. “Kasihan!” katanya kepada Dantes. “Wakil Jaksa itu bersikap baik kepadamu, bukan?”

“Ya.”

“Dia membakar surat itu di hadapanmu dan meminta engkau bersumpah untuk tidak pernah akan menyebut nama Noirtier?”

“Benar”

“Tahukah engkau siapa Noirtier itu? Dia adalah ayahnya sendiri.”

“Ayahnya!! Ayahnya!!” Dantes berteriak terkejut. Dia bangkit dan memegang kepalanya dengan kedua belah tangannya seakan-akan hendak mencegah jangan sampai meledak.

“Benar, ayahnya, namanya Noirtier de Villefort.”

Sekilas cahaya yang terang-benderang menerangi kepala Dantes sehingga semua persoalan yang selama itu gelap-gulita tiba-tiba menjadi jelas sejelas-jelasnya. Perubahan sikap Villefort ketika memeriksa, surat yang dibakarnya, sumpah yang dia minta, nada suaranya yang lebih banyak memohon daripada mengancam, semua itu kembali lagi ke dalam ingatan Dantes seketika dan serentak. Dia bersungut-sungut sambil berjalan berputar-putar seperti orang mabuk, kemudian lari ke lubang galian yang menuju ke kamarnya sambil menangis.

“Oh! Aku harus menyendiri untuk memikirkan ini semua!”

Setibanya di selnya, dia merebahkan diri ke tempat tidur. Ketika Sipir masuk pada malam hari itu ia menemukan Dantes masih terlentang di sana, matanya menatap kosong, wajahnya pun polos sedang badannya tak bergerak seperti patung terbaring.

Selama berdiam diri seperti bersemedi yang seakan-akan hanya berlangsung beberapa detik itu, dia telah membuat putusan yang mengerikan dan sumpah yang menakutkan.

Akhirnya, sebuah suara membangunkan dia kembali dari lamunannya. Padri mengajaknya makan malam bersama. Dantes mengikutinya Tarikan wajahnya yang keras dan sungguh-sungguh menunjukkan bahwa ia telah membuat putusan. Padri Faria memperhatikannya dan berkata, “Aku menyesal sekali telah membantumu memecahkan persoalanmu dan menceriterakan apa yang telah aku perbuat.”

“Mengapa?”

“Karena dengan itu aku telah menanamkan dalam hatimu sebuah perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya: pembalasan.”

Dantes tersenyum. “Lebih baik kita berbicara tentang soal lain,” katanya. Padri memandangnya sebentar kemudian menggelengkan kepala dengan wajah yang sedih, kemudian seperti yang diminta oleh Dantes ia mulai berbicara tentang soal-soal lain.

Pesakitan tua ini merupakan salah seorang dari manusia-manusia yang pembicaraannya mengandung banyak Amu dan hikmah yang senantiasa dapat memikat pendengarnya. Tetapi bukan pula pembicaraan yang berpusat kepada dirinya sendiri.

Dantes mendengarkan setiap kata dengan penuh rasa kagum. “Ajarkanlah sebahagian dari ilmu pengetahuan Bapak itu kepada saya,” katanya setelah beberapa saat, “meskipun hanya sekedar untuk mencegah kebosanan Bapak kepada saya Tampaknya, Bapak lebih suka ber-sunyi-sunyi daripada berkawan dengan orang yang tidak terpelajar dan terbatas seperti saya ini.”

“Wahai anakku,” kata Padri tersenyum, “pengetahuan manusia itu sangat terbatas. Kalau engkau sudah mempelajari matematika, ilmu alam, sejarah dan tiga atau empat bahasa yang hidup seperti yang aku kuasai, engkau pun akan mengetahui semua yang aku ketahui. Untuk mempelajari itu tidak akan mengambil waktu lebih dari dua tahun.”

“Dua tahun!” seru Dantes tidak percaya. “Maksud Bapak saya dapat menguasai semua itu hanya dalam dua tahun?”

“Maksudku, tidak mempelajarinya untuk dipraktekkan keseluruhannya dalam waktu itu, tetapi mempelajari pokok-pokoknya.”

Pada malam itu juga kedua pesakitan itu membuat rencana pendidikan bagi Dantes, untuk dimulai keesokan harinya, Dantes memiliki kecerdasan dan daya ingatan yang kuat. Bakat matematikanya memberikan kemudahan baginya untuk melakukan segala macam perhitungan. Dia sudah pandai berbicara Italia dan sedikit berbahasa Yunani modern yang dipelajarinya dalam pelayarannya ke Timur. Dengan bantuan kedua bahasa ini mudah bagi dia untuk memahami bangunan bahasa lainnya Dalam tempo enam bulan dia sudah mulai bisa berbicara bahasa Spanyol, Inggris dan Jerman. Hari-hari berlalu dengan cepatnya, tetapi setiap hari dimanfaatkannya sebaik-baiknya sehingga dalam masa satu tahun Dantes sudah berubah sama sekali.

Sedang Padri Faria, sekalipun kehadiran Dantes merupakan perintang waktu yang menyenangkan, namun dari sehari ke sehari ia bertambah muram, seperti bingung. Hal ini terlihat juga oleh Dantes. Pikirannya seperti terpusat hanya kepada satu masalah tertentu saja. Seringkah” ia berdiam diri seperti bersemedi untuk beberapa saat, lalu mengeluh, tanpa sadar kemudian berjalan mondar-mandir dalam selnya.

Pada suatu hari dengan tiba-tiba saja ia berhenti berjalan-jalan, lalu berteriak, “Oh, kalau saja tak ada penjaga!”

“Apakah Bapak menemukan jalan melarikan diri?” Dantes bertanya dengan keinginan yang kuat untuk segera mendengar jawabannya

“Ya, seandainya penjaga itu buta dan tuli.”

“Dia akan buta dan tuli,” kata Dantes dengan nada -suara yang pasti sehingga

menakutkan Padri Faria

“Tidak!” sahut Padri dengan keras. “Aku tidak menghendaki darah tertumpah!”

Dantes berkeinginan sekali membicarakan masalah ini lebih lanjut, tetapi Padri Faria menggelengkan kepala dan menolak berbicara lagi.

Tiga bulan lagi telah berlalu.

“Bagaimana kekuatanmu?” tanya Padri Faria pada suatu hari.

Tanpa menjawab, Dantes mengambil pahat, melipatnya kemudian meluruskannya kembali

“Bersediakah engkau untuk tidak membunuh penjaga, kecuali kalau itu merupakan jalan keluar yang terakhir? “

“Ya, bahkan saya bersedia bersumpah.”

“Kalau begitu, kita dapat melaksanakan rencana kita”

“Berapa lama waktu yang diperlukan?”»

“Paling kurang setahun. Inilah rencanaku.” Padri memperlihatkan gambar yang dibuatnya: denah sel masing-masing dan terowongan yang menghubungkannya. Dari tengah-tengah terowongan itu mereka akan menggali terowongan lain yang menuju ke bawah serambi tempat penjaga berjalan mondar-mandir. Di sana mereka akan melonggarkan salah sebuah ubin lantai serambi. Ubin itu akan terlepas kalau terinjak oleh penjaga dan ia akan terperosok ke dalam terowongan. Dantes harus meringkusnya dan mengikat mulutnya. Kemudian kedua tahanan itu akan keluar dari salah satu jendela di serambi itu dan menuruni tembok dengan menggunakan tangga tali dan . . . berlari.

Dantes menepukkan tangannya dan matanya bersinar karena gembira. Rencana itu sangat sederhana sehingga pasti terlaksana Dantes dan Faria memulai bekerja pada hari itu juga.

Lebih dari setahun mereka bekerja, dan selama itu Faria tetap memberikan pendidikan kepada Dantes. Setelah lima belas bulan terowongan itu selesai dan mereka dapat mendengar suara sepatu penjaga berjalan mondar-mandir di atas mereka. Mereka sekarang hanya tinggal menunggu datangnya suatu malam gelap tidak berbulan.

Untuk mencegah agar ubin jangan jatuh terlampau cepat, mereka penahannya dengan sebuah palang kayu kecil yang kebetulan mereka temukan. Baru saja Dantes selesai mengerjakan penahanan itu tiba-tiba ia mendengar suara Faria berteriak kesakitan di selnya Dia segera kembali masuk dan menemukan Faria tergeletak di tengah-tengah ruangan. Wajahnya pucat, kedua tangannya mengepal kaku dan dahinya basah karena keringat

“Ya Tuhan!” Dantes berteriak kebingungan. “Mengapa Bapak?”

“Tamat sudah riwayatku,” kata Faria. “Dengarkan baik-baik: satu penyakit yang mengerikan, mungkin juga mematikan akan segera menyerangku. Aku sudah merasakannya Aku pernah diserangnya sekali, setahun sebelum dipenjara-kan. Hanya ada satu obat untuk ini. Cepat lari ke selku angkat kaki ranjang. Di dalam kaki ranjang yang kosong akan kautemukan sebuah botol setengah berisi dengan cairan yang merah. Bawa itu ke mari . . . tid, tidak, tidak, Sipir akan menemukanku di sini. Tolong saja aku kembali ke selku mumpung masih ada tenaga,”

Segera Dantes membantu Faria dengan hati-hati kembali ke selnya. Dantes membaringkan Faria di ranjangnya.

“Terima kasih” kata Padri, badannya menggigil seperti baru keluar dari air sedingin es ”Sekarang sudah dekat. Sebentar lagi” mungkin aku tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara, tetapi dapat juga mulutku berbusa, badanku kejang dan berteriak-teriak.

Kalau itu terjadi, usahakan agar teriakanku tidak terdengar ke luar, sebab kalau terdengar mereka akan memindahkan aku ke tempat lain dan kita akan terpisah untuk selama-lamanya. Kalau engkau sudah melihat aku lemas, dingin dan tampak seperti mati, lalu pada saat itu, dan hanya pada saat itu, renggangkan gigiku dengan pisau itu kemudian teteskan cairan itu delapan sampai sepuluh tetes ke dalam mulutku. Barangkali itu akan menolong.”

“Barangkali?” kada Dantes sedikit kesal. “Tolong! Tolong!” Faria memekik. “Aku...,Aku ma.. ” Serangan itu mendadak dan begitu hebat sehingga Faria tidak sempat menyelesaikan perkataannya. Matanya berputar-putar, pipinya berubah menjadi merah padam, badannya meliuk-liuk dan mulutnya kaku berbusa dan memekik-mekik. Seperti yang diminta sendiri oleh Faria, Dantes merungkup muka Faria dengan selimut agar suaranya tidak terdengar keluar. Tahapan serangan seperti ini berlangsung selama dua jam, setelah itu seluruh badannya mengejang, dingin, pucat seperti marmer. Dantes mengambil pisau, dengan hati-hati merenggangkan gigi Faria yang rapat ketat; kemudian meneteskan cairan obat ke dalam mulutnya sebanyak sepuluh tetes. Setelah itu dia hanya dapat menunggu.

Satu jam telah berlalu, dan Faria belum juga bergerak sedikit pun Mata Dantes tidak pernah beralih dari Faria, sedangkan kedua belah tangannya memegang kepalanya.

Akhirnya, tampak pipi Faria memerah lagi sedikit, demikian juga matanya yang tetap terbuka selama itu mulai menunjukkan adanya hidup, dan kemudian terdengar suara yang lemah sekali keluar dari mulutnya.

“Selamat! Selamat!” teriak Dantes gembira.

Faria belum dapat berkata-kata, tetapi ia sudah dapat menggerakkan tangan kirinya menunjuk ke arah pintu disertai kecemasan yang jelas tampak pada wajahnya. Dantes menajamkan telinga dan ia mendengar suara langkah Sipir mendekat. Dengan segera ia lari dan masuk ke dalam terowongan, menutupi kembali lubangnya dari bawah dengan batu dan kembali ke selnya. Pintu kamarnya terbuka, dan sipir mendapatkan Dantes duduk di ranjangnya seperti biasa. Segera setelah Sipir meninggalkan kamar dan suara sepatunya hilang dari pendengaran, tanpa memikirkan makan, Dantes segera kembali ke sel Faria.

Padri sudah sadar kembali, tetapi ia masih terlentang di ranjangnya, lemas tak berdaya. “Aku kira tidak akan melihatmu lagi,” katanya,

“Mengapa tidak?” tanya Dantes. “Apakah Bapak sudah putus harapan?”

“Bukan itu, tetapi segala sesuatu sudah siap untuk melarikan diri dan aku kira engkau telah melakukannya.”

Pipi Dantes memerah karena marah. “Dengan meninggalkan Bapak?” katanya.

“Apakah Bapak mengira saya akan sanggup melakukan hal seperti itu?”

“Aku sadar sekarang bahwa aku salah sangka. Oh, aku sangat lemah dan tak berdaya.”

‘Tenaga Bapak akan pulih kembali,” kata Dantes, duduk di tepi ranjang Faria kemudian memegang kedua tangan Faria.

Faria menggelengkan kepala. “Serangan yang dulu berlangsung selama setengah jam. Setelah itu berlalu aku merasa lapar dan dapat berdiri tanpa pertolongan. Sekali ini, aku sama sekali tidak dapat menggerakkan kaki dan tangan kananku ini. Serangan yang ketiga kalinya, akan menamatkan riwayatku atau melumpuhkan seluruh badanku.”

‘Tidak, tidak, jangan khawatir, Bapak tidak akan meninggal. Bila serangan yang ketiga itu datang, saat itu Bapak sudah menjadi orang merdeka, dan kita akan menyelamatkan Bapak seperti yang kita lakukan sekarang, bahkan lebih baik dari sekarang, sebab Bapak akan mendapatkan perawatan kedokteran yang terbaik yang mungkin diperoleh.”

“Sahabatku,” kata orangtua itu, “jangan memperdayakan dirimu sendiri. Serangan yang baru saja kuderita telah memastikan aku untuk tetap menjadi tahanan seumur hidup. Aku tidak akan dapat berenang lagi untuk selama-lamanya. Tangan ini telah lumpuh, bukan untuk sementara, melainkan untuk selama-lamanya. Percayalah kepadaku, aku telah dihantui penyakit ini sejak mendapat serangan yang pertama. Dan aku tidak dapat menghindarinya karena penyakit ini turun-temurun. Ayahku meninggal setelah mendapat serangan yang ketiga kalinya, demikian juga kakekku. Tabib yang memberikan obat ini kepadaku meramalkan yang sama bagiku.”

“Dia pasti salah” seru Dantes. “Adapun kelumpuhan Bapak sama sekali tidak menjadi soal bagi saya. Saya akan berenang sambil memunggu Bapak.”

“AnakKu,” sahut Faria “engkau seorang pelaut dan perenang yang baik. Sebab itu aku yakin engkau tahu, seseorang yang diberati beban seberat aku tidak mungkin dapat berenang lebih jauh daripada lima puluh depa. Tidak, aku akan tinggal di sini sampai detik pembebasanku, yang sekarang berarti tidak lain daripada detik kematianku. Adapun engkau, pergilah’ Larilah! Engkau masih muda dan kuat Jangan pikirkan aku.”

“Baiklah,” jawab Dantes. “Saya pun akan tinggal.” Dia berdiri, dengan khidmat ia

mengangkat tangannya di atas badan orang tua itu, kemudian berkata, “Saya bersumpah demi Tuhan bahwa saya tidak akan meninggalkan Bapak selama Bapak masih hidup.”

Faria menatap dalam-dalam anak muda yang tulus dan berbudi luhur ini, dan dapat membaca kesungguhan sumpah itu pada wajahnya, yang dihidupkan oleh kesetiaan yang murni.

Kalau itu keputusanmu” kata orang tua itu terharu, “aku menerima dan terima kasih.” Kemudian sambil memegang tangan Dantes ia berkata lagi, “Barangkali untuk kesetiaan yang tanpa pamrih itu, pada suatu hari nanti engkau harus mendapat penghargaan, tetapi sekarang, karena aku tidak bisa dan engkau tidak mau melarikan diri, kita harus menutup kembali terowongan ke serambi itu. Mungkin sekali penjaga itu akan menemukan suara yang mencurigakan kalau dia berjalan di atas ubin yang longgar itu, yang dapat berakibat terbongkarnya rahasia kita dan kita akan terpisah satu sama lain. Kerjakanlah sekarang juga, anakku. Bekerjalah semalam suntuk kalau perlu, dan jangan kembali kesini sampai besok pagi, setelah kunjungan Sipir. Ada sesuatu yang penting yang akan kuceriterakan.”

Dantes memegang tangan Faria, kemudian meninggal kannya dengan patuh dan hormat.

Report Page