The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB VI

KETIKA melalui ruang tamu, Komisaris polisi memberi isyarat kepada dua orang serdadu untuk mengawal Dantes di sebelah kiri dan kanannya. Pintu yang menuju ke Kantor Pengadilan terbuka kemudian mereka berjalan melalui salah satu gang panjang yang gelap dan menyeramkan.

Seperti rumah Villefort dihubungkan dengan Kantor Pengadilan, demikian juga Kantor Pengadilan dihubungkan dengan penjara. Setelah berkali-kali berbelok-belok di beberapa gang Dantes dan pengawalnya sampai di sebuah pintu besi. Pintu itu terbuka dan kemudian tertutup lagi setelah Dantes melaluinya. Udara yang dihirupnya sekarang berlainan, kotor dan lembab. Dia sekarang berada dalam penjara. Dia dimasukkan ke dalam sebuah sel yang agak bersih dan tidak terlampau menakutkan, terutama karena kata-kata Villefort yang membesarkan hati masih mengiang ngiang di telinganya.

Malam telah tiba dan sel menjadi gelap. Dengan hilangnya penglihatan, pendengarannya menjadi lebih tajam. Karena suara yang paling lemah pun dia berdiri mendekati pintu dengan keyakinan bahwa ia akan segera dibebaskan, tetapi begitu suara itu menghilang lagi ia menjatuhkan diri kembali ke tempat duduknya.

Akhirnya, menjelang jam sepuluh, tepat ketika ia sudah hampir kehilangan harapan, dia mendengar langkah-langkah orang berjalan. Suara itu berhenti di muka pintu selnya, terdengar kunci diputar dan pintu yang tebal itu terbuka dan terlihatlah dua buah obor yang menyilaukan. Dantes melihat ada empat orang serdadu.

“Apa kaitan hendak menemui saya?” dia bertanya.

“Ya.”

“Atas perintah Tuan Wakil Jaksa?” “Tentu.” –

Karena mengetahui bahwa mereka diperintah oleh Villefort hilanglah kecemasan dan kebimbangan pada anak muda yang malang itu. Dengan tenang dia menempatkan dirinya di tengah-tengah pengawalnya. Sebuah kereta polisi telah menantinya di jalan. Pintunya terbuka dan sebelum ia sempat berkata apa-apa dia telah didorong masuk ke dalamnya, padahal ia sama sekali tidak berniat untuk membangkang. Tak lama kemudian dia sudah duduk di antara dua orang serdadu, sedang serdadu yang dua lagi duduk di hadapannya.

Kereta yang besar itu segera bergerak ke tempat tujuan yang tidak diketahuinya

Ketika pada akhirnya kereta itu berhenti, Dantes baru sadar bahwa ia berada di pelabuhan. Dua serdadu keluar lebih dahulu, kemudian Dantes lalu diikuti oleh serdadu lainnya.

Keempat pengawal itu membawa Dantes ke sebuah perahu yang dipegang oleh seorang pejabat pabean di dermaga dengan rantai. Dantes didudukkan di buritan, dikelilingi oleh keempat serdadu itu, sedang seorang polisi mengambil tempat di haluan.

Perahu di dorong ke tengah, empat orang pendayung mengayuh kuat-kuat dan selang beberapa lama mereka sudah berada di luar pelabuhan.

“Akan dibawa ke mana aku ini?” Dantes bertanya kepada salah seorang serdadu.

“Engkau akan segera mengetahuinya.” ‘Tetapi…”

“Kami dilarang memberikan keterangan apapun juga.”

Dantes terdiam. Dia menunggu dengan tenang sambil berfikir, dan mencoba menguakkan kegelapan malam dengan mata terlatih seorang pelaut yang sudah biasa dengan ruang yang luas dan kegelapan. Sementara itu para pengayuh berhenti mendayung sebab layar dinaikkan. Akhirnya, meskipun dengan perasaan enggan untuk kedua kalinya Dantes bertanya, “Hai kawan, demi nurani Saudara sendiri, kasihanilah saya dan tolonglah jawab pertanyaan saya. Saya ini difitnah melakukan sesuatu pengkhianatan padahal sebenarnya saya seorang Perancis yang setia. Mau dibawa ke mana saya ini”? Tolong, katakanlah, dan saya berjanji demi kehormatan sebagai seorang pelaut saya tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyerahkan diri kepada nasib.”

“Kalau engkau belum pernah keluar dari pelabuhan Marseilles atau kalau matamu tertutup, engkau tidak akan dapat menerka ke mana kita akan menuju sekarang. Coba lihat ke sekelilingmu.”

Dantes berdiri dan memandang ke arah laju perahu. Beberapa ratus yard di hadapannya tampak menjulang bukit karang yang tinggi. Dan di atas bukit itu berdirilah Puri If yang menyeramkan. Secara tak terduga melihat penjara yang tersohor mempunyai tradisi kekejaman yang sudah berabad-abad lamanya, bagi Dantes sama dengan melihat tiang gantungan.

“Ya Tuhanku!” dia berteriak.

“Penjara If. Mau apa kita ke sana?” Serdadu yang ditanya itu tersenyum, “Tak mungkin kalian membawa saya ke sana untuk dipenjarakan!” kata Dantes lagi.

“Puri If adalah penjara negara yang hanya digunakan untuk menyekap tahanan-tahanan politik. Saya tidak melakukan kejahatan apa pun. Apa saya akan disekap disana?”

“Mungkin.”

‘Tetapi Tuan de Villefort telah berjanji..“

“Aku tidak mengetahui apa yang dijanjikan Tuan de Villefort,” kata serdadu itu.

“Yang aku ketahui hanyalah bahwa kita menuju ke Puri If————-Tunggu? Cepat, bantu aku!”

Dantes mencoba menceburkan diri ke laut, tetapi dua pasang tangan yang kuat-kuat menariknya kembali, tepat ketika kedua kakinya melayang meninggalkan dasar perahu.

Dia terjatuh dan berteriak-teriak dengan geramnya.

“Awas, Kawan,” kata salah seorang serdadu sambil menekan dia dengan lututnya,

“kalau sekali lagi engkau bertingkah, sekali saja, akan kutempatkan sebuah peluru di kepalamu!”

Dantes merasakan tekanan moncong sebuah senapan pada pelipisnya. Tak lama kemudian ia merasakan perahu melanggar sesuatu yang keras. Ternyata mereka sudah sampai ke pesisir. Pengawal-pengawal menarik Dantes supaya berdiri, menyuruhnya keluar dari perahu kemudian menggusurnya ke anak tangga yang menuju ke benteng.

Dantes tidak melakukan perlawanan. Kelambanannya bergerak disebabkan oleh tidak berdaya, bukan karena membangkang. Ia merasa lumpuh, jalannya tersaruk-saruk seperti orang mabuk. Dia tahu akan adanya anak tangga yang memaksa ia mengangkat kakinya, ia juga ingat berjalan melalui sebuah pintu yang segera menutup kembali setelah ia masuk, tetapi semuanya itu ia lakukan seperti sebuah mesin, sedangkan penglihatannya kabur seperti terhalang kabut tebal. Akhirnya dia berhenti. Karena yakin tak akan mungkin melarikan diri, serdadu serdadu itu melepaskan genggamannya. Setelah menunggu kurang lebih sepuluh menit, sebuah suara terdengar, “Suruh pesakitan itu mengikutiku. Akan saya antarkan dia ke selnya.”

“Ayo!” kata salah seorang serdadu sambil mendorong Dantes.

Dantes mengikuti pengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang hampir seluruhnya berada di bawah tanah. Udaranya demikian lembab sehingga dinding-dindingnya yang kotor penuh dengan butir-butir air. Sebuah lampu minyak yang diletakkan pada sebuah bangku kecil, yang sumbunya berenang dalam minyak yang busuk baunya, menerangi penginapan yang menyeramkan ini. Cahayanya memungkinkan Dantes melihat pengantarnya, seorang jurukunci rendahan dengan baju yang kumal dan wajah yang dungu.

“Inilah kamarmu untuk malam ini,” katanya. “Malam telah larut dan Gubernur penjara telah tidur. Besok, setelah beliau membaca petunjuk-petunjuk mengenai dirimu, mungkin saja beliau menempatkanmu di sel yang lain. Sementara itu, ini roti, air di sana tempatnya, dan di sudut sana ada jerami untuk tidur. Segala yang dapat diharapkan seorang tahanan, sudah tersedia. Selamat malam.”

Sebelum Dantes sempat menjawab apa-apa, jurukunci itu mengambil lampu, mengunci pintu dari luar dan meninggalkan sel dalam gelap gulita.

Ketika sinar-sinar pertama fajar mulai menerangi kembali sel itu, jurukunci datang kembali dan memberitahu Dantes bahwa menurut atasannya Dantes tidak akan dipindahkan ke sel lain. Dantes tidak bergerak. Seakan-akan dia terpaku di tempat ia berhenti ketika tadi malam masuk. Dia tetap berdiri sepanjang malam tanpa tertidur barang sekejap pun. Jurukunci menghampirinya, tetapi Dantes seperti tidak melihatnya. Bahunya ditepuk, Dantes terkejut dan menggelengkan kepala.

“Apa engkau tidak tidur?” tanya Sipir.

‘Tidak tahu.”

‘Tidak lapar?”

“Tidak tahu.”

“Ada sesuatu yang kauinginkan?”

“Aku mau bertemu dengan Gubernur.”

“Tak mungkin.”

“Mengapa?”

“Oleh karena peraturan di sini melarang tahanan memintanya.”

“Apa yang boleh diminta?”

“Makanan yang lebih baik, kalau engkau mau membayarnya, berjalan-jalan di luar, dan kadang-kadang buku bacaan.”

“Aku tidak memerlukan buku, aku tidak ada minat untuk berjalan-jalan dan makanan sudah cukup baik. Aku hanya menginginkan satu perkara saja: bertemu dengan Gubernur.”

“Dengar,” kata Sipir “jangan suka memikirkan yang bukan-bukan, dalam tempo dua minggu engkau bisa gila.”

Kaukira begitu?”

“Ya. Oleh karena itulah awal kegilaan. Contohnya, ada seorang pendeta yang asalnya ditahan di kamar ini juga. Dia terus-menerus menawarkan uang sejuta franc kepada Gubernur asal saja beliau mau membebaskannya. Akhirnya dia gila.”

“Lalu, bagaimana selanjutnya?”

“Dia dipindahkan ke sel bawah tanah.” “Sekarang kau yang mendengarkan,” kata Dantes.

“Aku bukan pendeta dan aku tidak gila. Aku tidak mampu menawarkan uang sejuta franc, tetapi aku dapat memberimu tiga ratus franc kalau engkau bersedia mengirimkan surat kepada seorang gadis yang bernama Mercedes, bila engkau kebetulan ke Marseilles nanti. . . bahkan sebenarnya bukan surat, hanya dua atau tiga kalimat saja.”

“Seandainya aku mau menerima surat yang dua tiga kalimat itu dan tertangkap, pasti aku dipecat. Penghasilan ku di sini seribu franc setahun, belum terhitung makanan. Bodoh aku kalau aku mau mencari tambahan tiga ratus dengan mempertaruhkan seribu franc.”

“Kalau begitu, kalau engkau menolak menyampaikan surat itu, atau menolak memberitahu Mercedes bahwa aku di sini, pada suatu hari nanti aku akan bersembunyi di balik pintu itu dan akan kupecahkan kepalamu dengan bangku itu tepat ketika engkau masuk.”

“Kau mengancam rupanya?” Sipir itu mundur selangkah dan berjaga-jaga untuk mempertahankan diri. “Pendeta itu pun mulai dengan gejala-gejala begini. Dalam tiga hari engkau sudah akan mengigau, sama seperti dia. Untung ada sel bawah tanah di penjara If ini”

Dantes menjangkau dan mengangkat bangku itu ke atas kepalanya.

“Baik! Baik!” kata Sipir. “Aku akan menghadap Gubernur.”

“Itu lebih baik!” kata Dantes dan meletakkan kembali bangku itu kemudian mendudukinya dengan kepala terkulai dan mata cekung, seperti benar-benar ia sudah gila.

Sipir pergi dan tak berapa lama kemudian kembali lagi di antar empat orang serdadu.

“Atas perintah Gubernur katanya, “pindahkan pesakitan ini ke ruang di bawah kamar ini.”

“Sel bawah tanah?” tanya kopralnya.

“Ya, kita harus menempatkan yang gila bersama yang gila lagi.”

Keempat serdadu itu memegang Dantes yang sudah kehilangan semangat. Dantes mengikuti mereka tanpa perlawanan. Setelah menuruni lima belas buah anak tangga, sebuah pintu sel terbuka dan Dantes masuk ke dalamnya. Ia bergumam kepada dirinya sendiri, “Ia benar, mereka harus menyatukan yang gila dengan yang gila.”

Report Page