The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB V

PADA hari yang sama dan jam yang sama sebuah pesta pertunangan yang-lain sedang berlangsung di salah satu rumah yang bergaya feodal di Rue du Grand-Cours. Bedanya, undangan di sini bukan pekerja-pekerja sederhana, kelasi dan serdadu, melainkan orang-orang dari kalangan atas di Marseilles, Mereka pejabat-pejabat pengadilan yang mengundurkan diri ketika kekuasaan direbut oleh Napoleon Bonaparte, opsir-opsir tua yang meninggalkan posnya untuk bergabung dengan tentara Conde, dan anak-anak muda yang dibesarkan keluarganya dengan didikan membenci Kaisar Napoleon yang sekarang menjadi raja di Pulau Elba dengan rakyat yang hanya lima sampai enam ribu orang, yang pernah disanjung dengan teriakan “Hidup Napoleon” oleh seratus dua puluh juta rakyat dengan berbagai bahasa, dianggap oleh mereka sekarang sebagai telah tamat riwayatnya.

Kaum yang setia kepada kerajaan merasa unggul dan gembira. Mereka merasa seakan-akan terbangun dari mimpi buruk dan kehidupan terasa baru kembali.

Pangeran Saint-Meran, bangsawan tua yang memiliki bintang kehormatan Saint Louis, berdiri dan mengajak hadirin minum bagi kejayaan Raja Louis XVIII. Ajakannya disambut dengan meriah. Gelas-gelas segera diangkat dan para wanita melepaskan bunga-bunga hiasan dari pakaiannya dan menaburkannya di atas meja.

“Ah,” kata Nyonya Saint-Meran, seorang wanita yang keras pandangan matanya, tipis bibirnya dan anggun sekalipun usianya telah limapuluhan. “Bila kaum revolusioner yang memburu-buru kita pada zaman pemerintahan Teror sekarang turut hadir di sini, mau tak mau mereka harus mengakui bahwa kesetiaan kita adalah kesetiaan yang sejati, karena kita tetap setia kepada kerajaan sekalipun hampir runtuh, sedangkan mereka mengaitkan diri kepada kekuasaan baru yang akan tumbuh dan mencari keuntungan, padahal kita kehilangan segala yang kita miliki. Mereka harus mengakui bahwa raja kita tetap Louis tercinta, sedangkan pemimpin mereka hanyalah perampas kekuasaan, Napoleon terkutuk. Bukankah begitu, Tuan de Villefort?”

“Maaf, Nyonya, saya tidak mengikuti pembicaraan Nyonya.”

“Jangan diganggu anak-anak muda ini,” kata suaminya. “Sebentar lagi mereka akan menikah dan dapat dipahami kalau mempunyai bahan pembicaraan yang lebih menarik daripada politik.”

“Maafkan saya, Ibu,” kata seorang gadis cantik berambut pirang dan bermata sayu, “karena saya memonopoli perhatian Tuan Villefort”

‘Tentu saja aku maafkan, Renee ” kata Nyonya Saint-Meran tersenyum ramah.

Senyuman yang sebenarnya agak aneh ditemukan pada wajah yang keras itu. “Saya berkata, Tuan de Villefort, bahwa kaum Bonaparte tidak mempunyai keyakinan, semangat dan kepatuhan seperti yang kita miliki.”

“Benar, Nyonya, tetapi mereka mempunyai sesuatu yang lain sebagai imbangannya, yaitu: fanatisme. Oleh mereka yang berwatak kasar dan berambisi besar itu, Napoleon dianggap sebagai Nabi. Bagi mereka, Napoleon bukan hanya seorang pembuat undang-undang dan kaisar semata-mata, tetapi juga sebuah perlambang, dia adalah perwujudan dari persamaan hak. Kalau Robespiere dianggap mewakili persamaan hak dengan merendahkan yang tinggi, menyeret raja-raja ke pisau gilotin, maka Napoleon mewakili persamaan hak dengan “mengangkat yang rendah” karena dia mengangkat derajat rakyat sejajar dengan mahkota.”

“Saya kira Tuan pasti sadar, Tuan de Vilefort,” kata Nyonya Saint-Meran, “bahwa yang Tuan katakan itu berbau revolusi. Tetapi saya maklum, karena kita toh tidak dapat mengharapkan anak seorang kaum Girondi dapat membebaskan diri sama sekali dari sifat-sifat leluhurnya.”

Muka Villefort merah padam. “Saya akui bahwa ayah saya seorang kaum Girondi, Nyonya,” katanya, “tetapi saya telah memisahkan diri tidak hanya dari alam pikirannya saja, tetapi juga dengan menanggalkan namanya. Dahulu dan mungkin masih juga sekarang, ayah saya penganut Bonaparte dan namanya Noirtier. Saya seorang penganut kerajaan dan nama saya Villefort. Biarkanlah getah-getah revolusi itu mengering dan mati bersama batang pohonnya yang telah menua, Nyonya, dan lebih baik kita memperhatikan tunas-tunas muda yang tumbuh terpisah tetapi tidak mempunyai daya, bahkan keinginan untuk melepaskan diri sepenuhnya dari induknya.”

“Bagus sekali Villefort!” kata Pangeran Saint-Meran. ‘Tepat sekali! Saya selalu mencoba menyarankan istri saya untuk melupakan masa lalu, tetapi tak pernah berhasil. Mungkin engkau akan lebih beruntung daripada saya.”

“Baik,” kata Nyonya Sain-Meran, “kita lupakan yang lalu, saya tidak berkeberatan. Saya hanya ingin meminta agar Tuan tetap bersikap teguh di masa yang akan datang, Tuan de Villefort Apabila ada seorang pengkhianat jatuh ke tangan Tuan, camkanlah bahwa Tuan akan diperhatikan orang dengan ketat oleh karena Tuan berasal dari keluarga yang bisa jadi bergabung dengan para pengkhianat.”

“Pekerjaan saya, Nyonya, terutama sekali pada zaman yang kita alami sekarang ini, menuntut saya untuk selalu bersikap keras. Telah berkali-kali saya harus menangani perkara kejahatan politik dan perkara-perkara itu membuka kesempatan bagi saya untuk membuktikan kekerasan saya. Dan sayangnya, perkara-perkara semacam ini belum akan habis.”

“Apa benar demikian?” tanya Nyonya Saint-Meran.

“Saya pikir demikian. Napoleon berada di Pulau Elba, di sebuah pulau yang masih tampak dari pantai kita. Kehadirannya di sana menghidupkan harapan pejuang-pejuangnya.”

“Benar,” kata Nyonya Saint-Meran, “soalnya, apakah raja berkuasa atau tidak. Kalau beliau berkuasa, pemerintahannya harus kuat dan para pejabatnya tidak plin-plan itulah satu-satunya jalan untuk mencegah kejahatan.”

“Sayang, Nyonya,” kata Villefort tersenyum, “sebagai Wakil Penuntut Umum saya datang ke pengadilan selalu setelah kejahatan itu terjadi.”

“Adalah kewajiban Tuan untuk memperbaikinya.”

“Izinkan saya mengatakan sekali lagi, Nyonya, bahwa kewajiban kami bukan memperbaiki kejahatan melainkan menghukumnya.”

Pada saat itulah seorang pelayan masuk dan membisikkan sesuatu ke telinga Villefort. Villefort meminta izin meninggalkan ruangan, dan tak lama kemudian kembali lagi.

“Saya tidak pernah mempunyai waktu untuk diri sendiri” katanya kepada tunangannya.

“Mereka datang mengganggu sekalipun saya sedang merayakan hari pertunangan sendiri.”

“Ada apa?” tanya Renee ingin tahu.

“Baru saja saya diberitahu tentang sesuatu yang sangat penting. Rupanya ada komplotan kecil kaum Bonaparte ditemukan.”

“Apa benar?” tanya Nyonya Saint-Meran terheran-heran.

“Inilah surat pengaduannya.” Ia membacanya keras-keras:

“Jaksa Penuntut Umum diberitahukan dengan jalan ini oleh seorang kawan sependirian dan seagama, bahwa Edmond Dantes, jurumudi pertama kapal Le Pharaon yang baru berlabuh tadi pagi dari Smirna setelah singgah di Napoli dan Pulau Elba, telah mendapat kepercayaan dari Murat untuk menyerahkan sebuah surat kepada Napoleon, dan mendapat kepercayaan dari Napoleon untuk menyerahkan surat kepada kaum Bonaparte di Paris. Kebenaran akan diperoleh dengan jalan menangkap dia, oleh karena surat untuk ke Paris itu dapat ditemukan atau pada dirinya, atau di rumah ayahnya, atau di kamarnya di kapal Le Pharaon.”

“Tetapi,” kata Renee. “itu surat kaleng, dan alamatnya pun kepada Jaksa Penuntut Umum,bukan kepadamu.”

“Benar, tetapi beliau sedang ke luar kota. Sekretarisnya mendapat perintah untuk membuka semua surat masuk. Dia menemukan surat ini kemudian menyuruh mencari saya sebagai Wakil Jaksa, tetapi karena dia tidak berhasil menemukan saya, diambilnya kebijaksanaan sendiri menangkap orang itu,”

“Di mana dia sekarang?” tanya Renee.

“Di rumahku.”

“Kalau begitu, berangkatlah, anak muda,” kata Markis Saint-Merant. ‘Tugas lebih penting daripada kami. Penuhi ke mana saja tugas dari raja memanggilmu.”

Belum sampai ia keluar dari ruangan wajahnya yang gembira telah berubah menjadi keras sekeras wajah orang yang harus menentukan hidup-matinya orang lain. Terlepas dari pandangan politik ayahnya yang dapat menghancurkan masa depannya apabila ia tidak melepaskan diri sepenuhnya, sebenarnya pada saat itu Gerald de Villefort sedang diliputi rasa bahagia yang bukan alang-kepalang. Meskipun baru berusia dua puluh enam tahun, namun dia sudah kaya dan berhasil memegang jabatan yang tinggi di pengadilan, ia akan segera kawin dengan seorang gadis cantik pilihannya. Bukan hanya karena cinta semata, tetapi juga berdasarkan perhitungan. Selain cantik, Nona Renee de Saint-Meran berasal dari keluarga yang mempunyai pengaruh di pengadilan. Nona Renee menyediakan mas kawin sebesar seratus lima puluh ribu franc, bahkan pada suatu saat nanti dapat mengharapkan menerima warisan sebesar setengah juta. Semua ini bagi Villefort merupakan bayangan kebahagiaan yang sungguh-sungguh menyilaukan.

Dia menjumpai komisaris polisi yang menantinya di pintu. Melihat orang ini Villefort tersentak dari lamunannya. Dengan wajah yang dibuat lebih sungguh-sungguh ia berkata,

“Saya telah membaca surat itu. Tuan telah bertindak benar dengan menangkap orang itu. Sekarang ceriterakan semua ihwal mengenai persekongkolan itu.”

“Kami sama sekali belum mengetahui tentang komplotan itu. Tuan. Semua surat-menyurat yang kami temukan pada orang itu telah kami letakkan di atas meja Tuan dengan disegel. Seperti tertera dalam surat itu, namanya Edmond Dantes, Jurumudi Pertama kapal Le Pharaon kepunyaan Perusahaan Morrel & Son yang berniaga katun dengan Aleksandria dan Smirna.”

Pada saat itu Villefort dihampiri seseorang yang rupanya sudah lama menunggu. Orang itu adalah Tuan Morrel.

“Tuan de Villefort’.” katanya. “Saya gembira sekali dapat menemukan Tuan. Telah terjadi sesuatu kekeliruan yang besar sekali, Jurumudi Pertama kapal saya, Edmond Dantes, telah ditangkap.”

“Saya tahu, Tuan,” jawab Villefort “Saya akan memeriksanya.”

“Oh!” seru Morrel, terpesona oleh persabahatannya dengan anak muda itu. “Tuan tidak mengenalnya! Dia orang yang paling sopan dan paling dapat dipercaya di muka bumi ini.”

Villefort berasal dari golongan ningrat sedangkan Morrel dari rakyat jelata. Yang pertama seorang penganut kaum kerajaan yang bersemangat sedang yang lain diduga mempunyai kecenderungan tersembunyi kepada kaum Bonaparte. Villefort memandang Morrel dengan angkuh dan menjawab dingin, “Tuan boleh yakin, bahwa permohonan Tuan tidak akan sia-sia apabila tertuduh ternyata tidak bersalah. Tetapi kita hidup dalam zaman yang sulit, Tuan, dan apabila ia ternyata bersalah saya terpaksa menjalankan kewajiban saya.”

Dengan terucapkannya kalimat itu ia telah sampai di depan rumahnya. Dengan gaya bangsawan ia memasuki rumahnya setelah meminta diri dari pemilik kapal dengan kesopanan sedingin air batu.

Ruang tamunya penuh dengan serdadu dan polisi yang menjaga tahanan.

Villefort melemparkan sekilas pandangan kepada Dantes, menerima setumpuk surat yang diserahkan kepadanya oleh seorang polisi, kemudian meninggalkan ruang tamu itu.

Kesan pertamanya tentang Dantes, baik. Tetapi dia sering mendengar peribahasa terkenal dalam dunia politik bahwa orang tidak boleh mempercayai kesan pertama. Dan dia menterapkan peribahasa Itu dan mematikan kesan baik yang baru diperolehnya. Kembali ia memasang wajah keras yang diperlukan pada saat-saat penting-genting, kemudian duduk di kursi di belakang mejanya. Tak lama kemudian Dantes masuk. Mukanya masih pucat, namun tenang dan tersungging senyuman. Dia membungkuk memberi hormat dengan

sopan, kemudian melihat ke sekeliling mencari tempat duduk.

“Siapa namamu dan apa pekerjaanmu?” Villefort bertanya.

“Edmond Dantes, Jurumudi Pertama kapal Le Pharaon milik Morrel &Son,” “Berapa umurmu?”

“Sembilan belas.”

“Apa yang sedang kaulakukan ketika ditangkap?”

“Sedang merayakan pesta pertunangan saya,” jawab Dantes, suaranya agak bergetar.

“Saya sedang berada di ambang pernikahan dengan seorang gadis yang telah saya cintai selama tiga tahun.”

Villefort terkejut. Persamaan kejadian itu telah meng-goncangkan hatinya yang biasa membatu. Dalam lubuk hatinya ia memberikan rasa simpati. Dia sendiri berada di ambang pernikahan, dan sekarang ia dipanggil tugas untuk menghancurkan kebahagiaan seseorang yang seperti dirinya yang sedang berada di pintu puncak kebahagiaan

“Perbandingan ini pasti akan memberikan kesan yang menarik nanti dalam perbincangan di rumah Tuan Saint-Meran,” pikirnya.

Ia merancang-rancang dalam hatinya bagaimana ia akan mempidatokannya nanti. Setelah rancangan pidato ini agak jelas tergambar dalam fikiran, ia mengembalikan perhatiannya kepada Dantes, dan bertanya, “Pernahkah mengabdi kepada Napoleon?”

“Saya hampir dipanggil wajib masuk Angkatan Laut ketika beliau jatuh dari kekuasaannya.”

“Saya mendapat keterangan bahwa engkau mempunyai pandangan politik yang radikal,” kata Villefort. Sebenarnya ia tidak pernah menerima keterangan seperti itu, namun demikian tidak segan mengajukan pertanyaan dalam bentuk tuduhan.

“Pandangan politik saya, Tuan? Sebenarnya saya malu mengatakannya, tetapi kenyataannya memang saya tidak pernah mempunyai sesuatu yang dapat dikatakan sebagai pandangan politik. Umur saya baru sembilan belas tahun, seperti yang saya katakan tadi, dan pengetahuan saya sangat picik. Rupanya saya tidak ditakdirkan untuk memegang peranan penting dalam hidup ini, apa yang saya peroleh sampai sekarang dan apa pun yang akan saya peroleh di kemudian hari seandainya saya dapat menerima pangkat yang saya impikan itu semuanya berkat kebaikan Tuan Morrel. Pandangan hidup saya hanya terbatas sampai kepada perasaan-perasaan ini: Saya mencintai ayah, saya menghargai Tuan Morrel dan saya mencintai Mercedes. Itulah yang dapat saya terangkan, Tuan. Seperti Tuan lihat, pandangan hidup saya tidak menarik dan tidak penting.”

Villefort mengawasi Dantes dengan seksama. Pemuda ini sangat tulus dan terbuka, penuh dengan perasaan cinta kasih kepada sesamanya, termasuk kepada jaksa garang yang sekarang sedang memeriksanya.

“Apakah engkau mempunyai musuh?” tanya Villefort,

“Musuh? Tidak, saya bukanlah orang yang cukup penting untuk punya musuh. Saya akui bahwa saya sedikit cepat marah, namun terhadap anak buah saya selalu mencoba mengekangnya. Saya mempunyai dua belas kelasi sebagai bawahan. Silakan Tuan bertanya kepada mereka, saya yakin mereka akan mengatakan bahwa mereka menyukai dan menghormati saya”

“Kalau engkau tidak mempunyai musuh, paling sedikit, padamu ada sesuatu yang dapat menimbulkan iri hati orang. Umpamanya, engkau hampir menjadi kapten dalam usia sembilan belas tahun dan engkau mempersunting gadis yang cantik. Kedua hal itu merupakan nasib baik yang jarang terjadi dalam dunia ini. Salah satu daripadanya, mungkin menyebabkan seseorang irihati kepadamu.*’

“Apa yang Tuan katakan itu benar. Saya yakin Tuan mengenal watak manusia lebih baik dari saya. Tetapi, apabila orang yang dengki itu berada dalam lingkungan kawan-kawan saya, lebih baik saya tidak mengetahuinya, sebab saya akan terpaksa membencinya”

Keliru kalau engkau berfikir seperti itu, kita harus selalu mencoba melihat segala persoalan sekeliling kita sejelas mungkin. Dalam pandanganku engkau seorang pemuda yang cukup berharga sehingga aku bersedia menolongmu memberikan sedikit penjelasan tentang keadaanmu sekarang,dengan jalan memperlihatkan surat pengaduan yang menyebabkan engkau harus berhadapan dengan aku. Ini-lah apakah kau kenal tulisan ini?”

Dantes membaca surat itu. Seketika wajahnya berubah menjadi merah. Dia berkata,

“Tidak, Tuan, saya tidak mengenalnya Tulisan ini palsu, tetapi cukup jelas. Saya merasa beruntung,” tambahnya sambil memandang Villefort dengan penuh rasa terima kasih,

“berurusan dengan orang seperti Tuan, sebab fitnah yang keji ini jelas perbuatan seorang musuh jahat.” Dari sorot mata Dantes ketika ia mengucapkan kalimat tadi, Villefort menangkap suatu kekuatan yang dahsyat tersembunyi di balik kehalusan dan kesopanannya.

“Sekarang,” kata Villefort, “jawablah sejujur-jujurnya, tidak sebagai seorang tahanan kepada jaksa melainkan sebagai seorang yang difitnah kepada orang lain yang menaruh perhatian dari lubuk hatinya. Adakah kebenaran pengaduan gelap itu?” Dia melemparkan surat itu ke atas mejanya dengan perasaan jijik.

“Saya akan menceriterakan seluruh kebenaran, Tuan, dan untuk itu saya bersumpah demi kehormatan saya sebagai seorang pelaut, demi cinta saya kepada Mercedes, dan demi hidup ayah saya. Setelah kami meninggalkan Napoli, Kapten Leclere tiba-tiba mendapat serangan penyakit pada otaknya. Merasa bahwa hidupnya akan segera berakhir, beliau memanggil saya, kemudian beliau berkata, ‘Dantes yang baik, bersumpahlah bahwa engkau akan sudi melakukan apa yang akan saya minta. Ini adalah persoalan yang sangat

penting.’

”Saya bersumpah, Kapten,” kata saya.

‘Kalau saya mati.' katanya, ‘engkau ambil alih pimpinan oleh karena engkau Jurumudi Pertama. Singgahlah di Pulau Elba, pergi ke darat di Porto Ferralo, minta bertemu dengan Marsekal, dan berikan surat ini kepadanya. Mungkin sekali, engkau akan dititipi surat atau dipercaya untuk melakukan sesuatu tugas. Tugas itu seharusnya untukku, tetapi hendaknya engkau melaksanakan itu untukku, dan segala kehormatannya untukmu.’

‘Saya akan melaksanakannya, Kapten,’ kata saya. Tetapi mungkin menemui Marsekal itu tidak semudah yang Tuan sangka, Kapten.'

Ini ada sebuah cincin yang akan menghilangkan semua rintangan katanya sambil memberikan sebuah cincin. Dua jam kemudian beliau sudah tidak sadarkan diri dan terus-menerus mengigau. Keesokan harinya meninggal.”

“Lalu, apa yang kaulakukan?”

“Apa yang juga akan dilakukan setiap orang yang berada dalam keadaan seperti saya, Tuan. Permintaan seseorang yang berada di ambang kematian selalu bersifat suci, tetapi bagi seorang pelaut permintaan atasannya merupakan perintah yang harus dilaksanakan.

Saya tiba di Pulau Elba keesokan harinya kemudian turun ke darat seorang diri. Seperti yang saya perkirakan pada mulanya menemukan beberapa kesukaran untuk dapat bertemu dengan Marsekal itu. Saya mengirimkan cincin itu kepadanya dan setelah itu semua pintu terbuka untuk saya. Marsekal memberikan sebuah surat yang dialamatkan ke Paris dan meminta saya menyerahkannya secara pribadi. Saya berjanji akan melaksanakannya, oleh karena itu sesuai dengan permintaan terakhir Kapten saya. Saya berlabuh di Marseilles, segera menyelesaikan segala urusan kapal, kemudian menemui tunangan yang saya jumpai dalam keadaan lebih cantik daripada biasanya. Akhirnya, Tuan, saya merayakan pesta pertunangan kami dan bermaksud kawin pada hari itu juga untuk kemudian pergi ke Paris keesokan harinya. Pada saat itulah saya ditangkap berdasarkan surat pengaduan yang ternyata menjijikkan bagi Tuan – sama seperti bagi saya.”

“Tampaknya engkau telah mengatakan apa yang sebenarnya,” kata Villefort,

“kalaupun engkau melakukan kesalahan, itu hanya disebabkan kecerobohan, bahkan kecerobohan itu masih dapat dipertanggungjawabkan karena perintah Kapten. Berikan surat yang kauterima di Pulau Elba itu kepadaku, berikan janji kepadaku bahwa engkau akan datang pabila saja engkau diminta datang, dan kembalilah ke kawan-kawanmu.”

“Apakah maksudnya saya bebas, Tuan?” Dantes berteriak penuh kegembiraan.

“Ya, tetapi berikan dahulu surat itu.”

“Saya kira sudah ada pada Tuan; mereka telah merampasnya bersama surat-surat saya lainnya.”

“Sebentar,” kata Villefort lagi kepada Dantes yang sudah mengambil sarung tangan dan topinya. “Kepada siapa surat itu dialamatkan?”

“Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron di Paris.”

Sebuah halilintar tak akan mengejutkan Villefort seperti jawaban Dantes itu. Dia terhenyak kembali ke kursinya, padahal ia sudah berdiri hendak mengambil tumpukan surat-surat yang diambil dari Dantes. Dia mengambil surat celaka itu dan memandangnya dengan kekacauan pikiran yang tidak tergambarkan. “Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron 13,” katanya perlahan-lahan. Wajahnya makin lama makin pucat

“Benar, Tuan,” kata Dantes yang juga terheran heran “Apakah Tuan mengenalnya?”

“Tidak!” jawab Villefort dengan tegas. “Seorang abdi Raja yang setia tidak pernah mengenal pengkhianat,”

“Apakah surat itu tentang pengkhianatan?” tanya Dantes yang merasa dirinya sudah bebas, tetapi juga merasakan kegawatan keadaan lebih daripada semula. “Walau bagaimana. Tuan, seperti tadi sudah saya katakan, saya sama sekali tidak mengetahui akan isi surat itu.”

“Betul,” kata Villefort, “tetapi engkau mengetahui nama si alamat”

“Saya wajib mengetahuinya agar dapat menyampaikannya, Tuan.”

“Apakah engkau pernah memperlihatkan surat ini kepada orang lain?” tanya Villefort kemudian membacanya.

‘Tidak kepada siapa pun, Tuan. Saya bersumpah.”

“Dan tak seorang pun tahu bahwa engkau harus menyampaikan sebuah surat dari Pulau Elba kepada Tuan Noirtier?”

‘Tidak seorang pun, kecuali orang yang menitipkannya.”

“Ini sangat berbahaya! Sangat berbahaya!” Villefort menggerutu setelah ia tamat membacanya. Bibirnya yang rapat ketat, tangannya yang gemetar dan matanya yang liar berapi-api menimbulkan kecemasan pada Dantes.

“Kalau saja dia mengetahui isi surat ini,” kata Villefort dalam hati, “dan seandainya dia mengetahui bahwa Noirtier ayah Villefort, hancurlah aku untuk selamanya!”

Dia berusaha sekuat tenaga menguasai dirinya, kemudian berkata kepada Dantes setenang mungkin, “Sekarang saya baru melihat bahwa dakwaan kepadamu sangat berat.

Saya tidak mempunyai wewenang untuk membebaskanmu sekarang juga seperti yang saya sangka semula. Engkau telah melihat bagaimana aku mencoba ingin menolongmu, tetapi ternyata sekarang aku harus tetap menahanmu untuk sementara, mudah-mudahan untuk waktu yang sependek mungkin. Bukti utama yang dapat mencelakakanmu adalah surat ini, dan, lihatlah . . .” Dia menghampiri tungku api pemanas ruangan, melemparkan surat itu ke dalamnya dan memperhatikannya sampai habis menjadi abu. “Seperti kausaksikan sendiri,” ia meneruskan, “bukti itu telah kubakar.”

“Oh!” teriak Dantes gembira, “Tuan lebih dari baik, Tuan adalah wujud kebaikan itu sendiri.”

“Aku kira sekarang engkau dapat mempercayai aku. Karena itu, dengarkan baik-baik nasihatku ini. Aku akan menahanmu di sini sampai malam nanti. Mungkin akan ada orang lain memeriksamu. Katakan semua yang pernah kau ceriterakan kepadaku, kecuali” tentang surat itu. Jangan disinggung-singgung sepatah pun.”

“Saya berjanji, Tuan,” kata Dantes.

“Kalau ada orang bertanya tentang itu, sangkal saja. Sangkal dengan keras dan engkau pasti selamat.”

“Saya akan menyangkalnya, Tuan, jangan khawatir.”

“Baik!” kata Villefort. Dia menekan tombol dan tak lama kemudian komisaris polisi masuk.

“Ikuti Tuan ini,” katanya kepada Dantes. Dantes membungkuk hormat kemudian melemparkan pandangan terima kasih dan berjalan ke luar kamar.

Segera setelah pintu tertutup kembali badan Villefort terasa sangat lemah. Ia terkulai di kursinya setengah pingsan. “Ya Tuhanku!” katanya bergumam. “Kalau saja Jaksa Penuntut Umum ada di Marseilles, dia akan melihat surat itu dan hancurlah aku! Oh, Ayah, apakah Ayah akan selalu menjadi perintang kebahagiaanku? Apakah saya harus terus-menerus menentang Ayah? “

Tiba-tiba, sebuah pikiran terlintas dalam benaknya. Sebuah senyuman terukir di bibirnya dan matanya yang cekung memusat seakan-akan sedang memandang suatu bayangan. ”Ya!” katanya. “Surat yang dapat menghancurkan diriku itu, mungkin juga dapat memberikan keuntungan. Ayo, Villefort: berjuanglah!”

Setelah dia yakin bahwa tahanan itu sudah keluar dari ruang tamu, Wakil Jaksa Penuntut Umum itu bergegas-gegas pergi ke rumah tunangannya.

Report Page