The Count of Monte Cristo

The Count of Monte Cristo

Alexandre Dumas

BAB IV

KEESOKAN harinya cuaca sangat menyenangkan. Matahari yang cerah mewarnai buih ombak dengan warna ungu kemerah-merahan. Pesta pertunangan telah dipersiapkan di dalam sebuah ruangan besar di tingkat kedua kedai La Reseve. Pesta direncanakan akan dimulai jam dua belas siang. Tetapi pada jam sebelas kedai itu telah penuh para undangan yang tampak tidak sabar lagi menanti. Mereka adalah kelasi-kelasi Le Pharaon dan beberapa prajurit, kawan-kawan Dantes.

Tersiar juga berita bahwa Morrel pun akan turut menghadiri pesta. Kalau benar, ini betul-betul merupakan kehormatan yang besar bagi Dantes.

Ketika pemilik kapal datang, dia disambut dengan hangat oleh para kelasi.

Kehadirannya sekaligus merupakan petunjuk yang nyata bahwa Edmond benar akan diangkat menjadi kapten mereka. Dan oleh sebab Edmond dicintai mereka, mereka merasa berterima kasih karena sekali ini pilihan pemilik kapal cocok dengan keinginan mereka sendiri.

Danglars dan Caderousse diutus memberitahu Dantes akan kehadiran Morrel, dan meminta Dantes segera datang. Tetapi sebelum mereka jauh berjalan, rombongan Dantes sudah tampak. Edmond dan Mercedes didampingi oleh empat orang gadis pengiring dan ayah Edmond. Fernand berjalan di belakang mereka dengan senyum kecut. Tetapi Edmond dan Mercedes tidak melihatnya. Keduanya sangat berbahagia sehingga mereka tidak melihat orang lain kecuali dirinya sendiri dan langit biru yang seakan-akan merestui pertunangannya.

Segera setelah mereka hendak memasuki La Reserve, Morrel turun menjemput mereka. Tamu-tamu lainnya mengikuti dari belakang. Tangga kayu berderak-derak selama kurang-lebih lima menit karena tekanan langkah-langkah yang berat. Hidangan segera diedarkan setelah mereka menempati tempat duduk masing-masing.

“Sunyi benar pesta ini,” seru ayah Edmond ketika dia menghirup bau anggur kuning yang dihidangkan di hadapan Mercedes, “Padahal di sini berkumpul tiga puluh orang yang sedang bersukacita.”

“Suami-suami memang selalu tidak pernah bersukacita,” kata Caderousse.

‘Yang jelas,” kata Dantes, “bahwa sekarang ini saya terlalu berbahagia untuk dapat bergembira ria. Bila itu yang kau maksudkan, engkau benar, Caderousse. Sukaria itu kadang-kadang mempunyai pengaruh yang aneh: dia dapat menekan kita sama beratnya dengan dukacita.”

“Tuan tidak mengkhawatirkan sesuatu, bukan?” tanya Danglars. “Menurut penglihatanku segala sesuatu berjalan lancar bagi Tuan.”

“Itulah yang agak mencemaskan hati saya,” jawab Dantes. “Saya tidak pernah berpendapat bahwa kebahagiaan dapat dicapai dengan mudah. Kebahagiaan, menurut pendapat saya, sama seperti istana dalam dongeng yang pintu gerbangnya dikawal oleh ular-ular naga. Kita harus berjuang untuk dapat merebutnya. Saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah saya lakukan sampai berhasil menjadi suami Mercedes.”

“Suami!” seru Caderousse. “Belum lagi, Kapten. Silakan mencoba berlaku seperti seorang suami, dan mari kita lihat bagaimana sambutan Mercedes.”

Pipi Mercedes memerah. Fernand memalingkan pandangan dan menyapu keringat yang membasahi dahi.

Pada saat itu terdengar ribut-ribut di tangga. Suara langkah-langkah orang berjalan ditangga kayu bercampur dengan suara orang banyak berbicara, dan suara gemerin-cing pedang mengatasi suara orang berpesta di lantai kedua. Setiap orang terdiam. Terdengar tiga kali ketukan pada daun pintu.

“Atas nama hukum, bukakan pintu!” terdengar suara bergema. Tak seorang pun menjawab. Pintu terbuka dan seorang komisaris polisi memasuki ruangan diikuti oleh empat orang bersenjata yang dipimpin oleh seorang kopral.

“Ada apa?” tanya Morrel, melangkah mendekati Komisaris yang sudah dikenalnya.

“Ini mesti ada kekeliruan.”

“Apabila ada kekeliruan, Tuan Morrel,” jawab Komisaris itu, “akan segera diperbaiki.

Sementara ini saya membawa surat perintah menangkap, dan saya mesti melakukan kewajiban saya. Siapa di antara Tuan-tuan yang bernama Edmond Dantes?”

Setiap mata menuju kepada anak muda ini yang merasa sangat tersinggung tetapi tetap menahan diri menjaga kehormatannya.. Dantes maju selangkah dan berkata. “Saya Edmond Dantes, Tuan. Apa yang Tuan kehendaki dari saya?”

”Edmond Dantes,Tuan saya tangkap.” “Ditangkap!” seru Edmond terkejut, wajahnya memucat. “Dengan alasan apa?”

“Saya ttdak tahu, tetapi Tuan akan diberitahu alasannya pada pemeriksaan yang pertama.”

Morrel menyadari bahwa perdebatan tidak akan ada gunanya. Seorang komisaris polisi dengan surat perintah menangkap di tangan sudah bukan manusia lagi, melainkan sebuah patung hukum yang kaku, tuli dan bisu. Tetapi ayah Dantes yang tidak mengetahui hal ini, segera menghampiri komisaris. Senantiasa ada saja masalah yang tidak pernah dapat dipahami oleh batin seorang ayah atau ibu. Dia meminta dan memohon dengan sangat kepada komisaris agar mengurungkan niatnya, tetapi permohonan itu tidak membuahkan apa-apa. Tetapi kesedihannya demikian hebat sehingga hati komisaris tersentuh juga.

“Tenang-tenang saja, Tuan,” katanya. “Mungkin putra Tuan hanya alpa mematuhi beberapa ketentuan pelabuhan, dan mungkin sekali ia akan segera dibebaskan kembali setelah memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan,”

Sementara itu Dantes menjabat tangan kawan-kawannya dan berkata, “Jangan khawatir, kekeliruan ini akan segera dapat dijelaskan, bahkan mungkin sekali sebelum saya sampai ke penjara.” Dia berjalan menuruni tangga mengikuti komisaris dan dikawal sekelilingnya oleh serdadu-serdadu bersenjata. Sebuah kereta telah menunggu di muka pintu. Dia menaikinya, diikuti oleh komisaris dan dua orang serdadu. Pintu ditutup dan kereta bergerak menuju Marseilles.

Report Page