Stars.

Stars.

J

Pada bintang, aku menceritakan segalanya tentangmu.

Tepat di antara susunan asterik yang terjaring rapi pada malam, suara lembutku terdengar diantara lorong telinga Sirius dan Bellatrix. Aku merangkai seluruh bunga beserta bencana perihal dirimu di pagi buta dan malam senyap. Aku betah membawakan cerita tentangmu pada jutaan saksi cahaya atas netraku yang berbinar dan bibir bergetar. Jikalau kujabarkan hanya dengan rangkaian suara dan aksara, maka kamus dan arsip dalam perpustakaan sangat miskin akan makna.

Tentang kamu yang begitu paripurna, aku jatuh cinta dalam untaian rambut hitam yang selalu kau banggakan. Bahkan aku ingin semalam saja terdampar di pulau bahasa bersama candra dan gemerlap lautan bintang hanya saja aku ingin menghabiskan waktu yang senyap bersamamu. Kau duduk di bawah pohon rindang sendirian, bergelayut dengan sejuta warna kelam, kau mendreketkan jiwa misterimu: rambutmu diusap lembut oleh angin; yang nyatanya merupakan wujud dari segala doa yang tercipta pada waktu hening.

Tentang senyummu yang cemerlang, kau mengukir cekungan selayaknya sepasar kedasih mungil dalam pipimu. Sedang aku, hanya bisa melihat dari jauh segalanya tentangmu. Anggap saja aku ini patung; maka hadirku hanyalah sebagai saksi bisu dari dirimu yang kuanggap peristiwa sejarah yang paling hafal kurapal dalam ruangan kedap suara. Hadirku memang sebagai patung; menikmati semuanya dari balik bayang semu, tak berani berucap rasa karsa, maupun sekedar bersua.

Tentang struktur tanganmu itu, aku harap bahwa ada sejuta alur takdir yang tertulis namaku disana, ntah sebagai debu yang tak sengaja singgah dan menghilang dalam basuhan air, tak masalah jika itu adalah air matamu yang kamu seka. Tak sia-sia artnya seluruh hal yang aku tumpahkan pada rasi bintang kala aku berdiri di atas sepatuku sembari menyimpan memori pada amigdala ini; diberi kesempatan satu kalimat, kusebut namanya dengan yakin "Oh Tuhan, itu dia!"

Tak apa orang kebanyakan memberitahu bahwa aku berada di dermaga khayal, asal kunikmati sembari melewati hitungan hari yang diiringi rontoknya gigi, menggambar kerut pada kulit seputih susu, dan tulang yang sebentar lagi menuju runtuh. Karena aku tau: kau adalah sebuah negara dan aku adalah pengelana tanpa peta, tak peduli seberapa kecilnya hadirku di gedung imigrasi hatimu, selagi harapan yang kugantung pada kartika bintang nyata adanya.

Report Page