stalker

stalker

fiontene

Malam itu Hongdae terbilang cukup ramai. Hiruk-pikuk pengunjung maupun penduduk mengudara dan melebur. Cahaya lampu begitu terang, memberikan penerangan untuk orang-orang bersenang-senang. Musik berbagai genre samar-samar terdengar, menyaingi obrolan verbal yang terlempar dari mulut orang-orang. Malam minggu itu, beribu-ribu kepala menghabiskan waktu di satu zona, berdesak-desakkan menuju destinasi yang menyajikan makanan maupun kopi, memuaskan lapar dahaga maupun hawa nafsu. Meskipun pagi kian mendekat, tak banyak orang yang menjauhi tempat bernama Hongdae itu. Justru semakin ramai.

 

Beragam rupa wajah. Berpasang-pasang mata dan telinga. Bermacam-macam pikiran dalam otak di kepala.

 

Begitu pula dengan wanita bernama Kim Minju yang sedang melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya yang terlalu cepat menguras energinya. Energinya yang terkuras berteriak untuk meminta asupan oksigen yang lebih. Alhasil, nafasnya terengah-engah. Namun, keselamatannya menjadi prioritasnya pada malam itu, pada waktu itu.

 

Minju sudah menyadari bahwa dari satu jam belakangan ada seorang pria paruh baya yang kerap mengikutinya. Minju kira itu hanyalah sebuah kebetulan. Namun, beberapaka kali Minju mencuri pandang, pria itu tidak pernah betul-betul hilang dari sudut matanya. Minju yang kerap mendengar cerita mengerikan tentang penguntit, langsung ketakutan mencari perlindungan. Namun Minju tidak ingin berteriak, takut mengundang amarah dari pria penguntit itu.

 

Minju menelusupkan tubuhnya diantara sekian banyak orang, berharap membingungkan si penguntit. Tiba-tiba saja sebuah ide terbesit di benaknya. Ia segera mencari orang terdekat yang dapat ia pintai pertolongan. Harus laki-laki. Pria penguntit biasanya takut dengan laki-laki.

 

“Sayang, apakah kau sudah lama menunggu?” tanya Minju sambil melingkarkan tangannya di lengan orang asing itu. Pria asing yang sedari tadi hanya sibuk dengan handphonenya dan berdiri di sisi jalan itu menoleh dengan kebingungan. “Mohon maaf, maksud-“

 

“Sayang, maafkan aku karena terlalu lama ya” ucap Minju lagi sambil sesekali mencuri pandang ke belakang. Sialan. Orang itu masih mengikutinya ternyata. “Berpura-puralah kau pacarku. Tolong. Ada seseorang yang sedari tadi sedang mengikuti” bisik Minju dengan hati-hati.

 

Seakan sudah paham dengan situasi, pria itu menurunkan tangan Minju dari lengannya kemudian menautkan jemari tangannya di tangan Minju. “Aku maafkan. Ayo sekarang kita jalan-jalan” ajak pria itu sambil menarik tangannya.

 

Mereka berdua berjalan bersama dengan tangan yang saling bertaut, melebur di antara banyak pasangan yang sedang menikmati malam, berusaha untuk tidak terlihat canggung. “Siapa namamu dan berapa umurmu?” tanya Minju seraya berbisik.

 

“Lee Minho. Umurku 23 tahun” bisiknya dalam suara yang lebih pelan.

 

Minju terdiam seakan sedang memikirkan sesuatu, “Kak Minho!” ucap Minju dengan lantang dan intonasi menggemaskan yang dibuat-buat. Pria bernama Minho sedikit terkejut dibuatnya, ia sedikit membelelakan matanya. Kenapa dia tiba-tiba saja memanggilnya oppa? Tapi seperdetik kemudian Minho paham kenapa tadi Minju menanyakan umurnya. Mungkin saja Minju lebih muda darinya.

 

“Ya?”

 

“Mari kita berfoto bersama” ajak Minju sembari merogoh handphone yang ada di saku jaketnya. Mereka berdua langsung berjalan ke pinggir jalan untuk menjauhi keramaian. Minju lantas mengubah kamera handphonenya menjadi kamera depan dan meangkat tangannya untuk mengambil foto mereka berdua.

 

“3 … 2 … 1”

 

Minju langsung dengan cepat mengamati hasil fotonya, ia pun memperbesar foto yang ada di layar handphonenya untuk mencari keberadaan si penguntit itu. “Masih ada ternyata” ucap Minju dengan lirih sambil memperlihatkan foto itu ke Minho.

 

Minho menghela nafasnya lalu kembali menautkan tangannya ke tangan Minju. “Ayo kita makan. Katanya tadi lapar” ucapnya tiba-tiba sambil menarik tangan Minju.

 

“Makan?”

 

“Apa yang ingin kamu makan malam ini?”

 

“Terserah kak Minho saja”

 

“Uhh … donkatsu saja bagaimana?”

 

Minju tersenyum dan mengangguk kecil. Minho langsung mempercepat langkah kakinya dan Minju mau tidak mau mengikutinya. Mereka terus berjalan dengan cepat untuk mengalihkan perhatian si penguntit.

 

Sesampainya di dalam restoran Donkatsu, mereka berdua terengah-engah sambil mencoba menghirup oksigen yang ada. Ternyata berjalan dengan cepat tak seringan yang mereka bayangkan.

 

Minho melirik ke arah pintu maupun jendela besar yang ada di restoran itu, dia tidak mendapati si penguntit itu lagi dalam pandangannya. Minho pun menghela nafas lega dan langsung menarik sebuah kursi untuk mempersilahkan Minju duduk.

 

“Sepertinya si penguntit itu sudah tidak ada”

 

Minju tersenyum lega. “Syukurlah”

 

“Tapi kau harus tetap berhati-hati, bisa saja dia akan mengikutimu lagi saat pulang. Mungkin dia sekarang sedang bersembunyi”

 

“Jangan menakutiku!”

 

“Biasanya orang-orang aneh seperti itu tidak akan mudah menyerah”

 

Minju terdiam sejenak sambil mengatur nafasnya sekaligus dengan rasa takutnya yang tadi memuncak. “Aku tadi takut sekali”

 

“Tapi kenapa kau sendirian tadi?” tanya Minho sambil membuka buku menu. “Kau ingin makan apa?” tanya Minho di sela-sela pembicaraan mereka.

 

Donkatsu saja, minumnya air mineral”

 

“Baiklah. Pelayan!” Minho setengah berteriak sambil mengangkat tangannya untuk memanggil seorang pelayan. “Donkatsu dua, air mineral satu, dan Coca cola satu”.

 

Setelah mencatat pesanan, pelayan itu mengambil buku menu lalu langsung pergi meninggalkan meja mereka.

 

“Maaf, tadi terpotong. Sampai mana kita tadi?”

 

“Sampai kau bertanya mengapa aku sendirian”

 

“Oh iya. Kenapa kau sendirian? Bukankah itu berbahaya?”

 

“Aku tadi sebenarnya bersama teman-temanku. Tapi kami berpisah saat pulang … dan saat aku sedang menunggu di halte bus, aku lihat ada orang yang terus membuntutiku bahkan semenjak aku sedang bersama teman-temanku tadi”

 

“Hati-hati. Akhir-akhir ini banyak orang aneh” ucap Minho.

 

“Apakah kau orang aneh?”

 

Minho mengernyitkan dahinya. “Maksudmu?”

 

“Kau membawaku makan kesini dan kita bahkan baru saja mengenal”

 

“Aku menyelamatkanmu tadi. Belum, kita belum mengenal. Kau tau namaku, tapi aku belum tau namamu. Siapa namamu?”

 

“Kim Minju”

 

“Kau lebih muda dariku? Tadi kau memanggilku kak Minho”

 

“Aku 20 tahun”

 

Minho sedikit tertawa, “20 tahun? Kau baru saja memasuki usia legal bukan?”. Minju hanya memberikan anggukan kecil sebagai jawabannya.

 

“Kau tadi minum-minum dengan temanmu? Kenapa kau tidak terlihat mabuk?”

 

“Oh, aku hanya minum satu sloki. Aku masih tidak terbiasa dengan rasanya”

“Teman-temanmu sudah lihai meminum alkohol? Ah, ataukah pacarmu?” tanya Minho seraya tersenyum kecil kea rah pelayan yang sedang meletakkan makanan di atas meja mereka. Setelah pelayan itu pergi, Minho kembali mengalihkan atensinya ke Minju.

 

“Teman-temanku. Aku tidak punya pacar, aku sedang melajang”

 

“Baiklah. Jadi apakah kau akan pulang sendiri setelah ini?”

 

Minju mengunyah donkatsunya sembari memikirkan sesuatu. Oh iya. Sebaiknya aku menelpon sepupuku untuk menjemputku disini supaya kami bisa pulang bersama” ucap Minju sambil mengambil handphonenya.

 

“Halo? Wonyoung?” Minju memulai pembicaraan dengan seseorang yang meangkat panggilan telponnya di sisi lain. Suaranya begitu kecil, Minho yang ada di dekatnya pun tidak bisa mendengar apa yang orang bernama “Wonyoung” itu sedang bicarakan.

 

“Bisakah kau menjemputku di Hongdae? Tadi ada penguntit yang mengikutiku. Aku takut pulang ke rumah sendirian” jelas Minju. “1 jam lagi? Oh, tidak apa-apa. Aku akan menunggu disini, sedang ada yang menemaniku. Nanti kukirimkan alamatnya”.

 

“Baik. Terima kasih Wonyoung! Nanti akan kutraktir kopi kesukaanmu” ucap Minju untuk yang terakhir kalinya sebelum ia menutup panggilannya. Sebelum ia benar-benar kembali menyantap makanannya, Minju langsung mengirimkan lokasi restoran itu ke Wonyoung.

 

“Sepupuku akan menjemputku” ucap Minju dengan singkat.

 

“Sepupumu itu … perempuan?”

 

“Iya. Kenapa?”

 

“Bisakah aku mengantar kalian berdua? Agak berbahaya jika dua perempuan pulang berdua. Bisa saja dia masih mengikutimu”

 

“Huh?”

 

Minho terdasar bahwa Minju mungkin saja belum bisa mempercayainya karena mereka baru mengenal. Namun, Minho merasa aneh sendiri karena ia kerap merasa khawatir akan keselamatan wanita itu.

 

“Aku- aku bukan orang jahat. Aku hanya akan mengantarkan kalian. Jika kau tidak percaya, ini kartu identitasku sebagai jaminannya” ucap Minho sambil mengambil kartu identitasnya dari dompetnya lalu meletakkannya di atas meja.

 

“Ah, tidak perlu. Aku mempercayaimu. Hanya saja … apakah tidak merepotkan?”

 

Minho tersenyum. “Tidak sama sekali. Aku hanya khawatir saja”

 

Minju membalas senyumnya dan mengangguk. “Baiklah. Kau boleh ikut mengantarku pulang” ucap Minju mengizinkan.

 

“Bagaimana kalau orang itu mengikutiku sampai ke rumah?”

 

“Kau tinggal sendiri?” tanya Minho, Minju hanya mengangguk.

 

“Apakah aku bisa masuk ke rumahmu? Sepupumu tadi bisa tidur denganmu dan aku bisa sambil berjaga di ruang tengah” usul Minho, Minju mengerjapkan matanya sambil menenggak air mineralnya dengan cepat.

 

“Apakah tidak apa-apa?”

 

“Tentu”

 

“Maksudku … laki-laki masuk ke rumah seorang perempuan yang tinggal sendiri”

 

Minho tertawa geli. “Bukankah kita tadi berpura-pura sebagai sepasang kekasih?”

 

“Lalu?”

 

“Seorang laki-laki yang menginap di rumah pacarnya …. bukankah sudah dianggap normal di zaman sekarang?”

 

Minju membelalakan matanya. Oh, tentu saja dia belum tahu dengan pergaulan orang dewasa. Dia baru saja berkuliah beberapa bulan yang lalu, menyicipi alkohol pun terkadang cukup menyiksanya.

 

“Benarkah?”

 

Minho mengerjapkan matanya seakan tidak percaya. “Kau tidak tahu? Oh … apakah kau tidak …”

 

“Aku tidak pernah dan aku tidak tau” jawab Minju singkat.

 

“Oh, maaf. Kukira kau tau”

 

“Memangnya kau sering menginap di rumah pacarmu?”

 

Minho hanya tersenyum dengan kikuk. “Ya. Beberapa kali”

 

“Sampai sekarang?”

 

“Oh, aku sedang melajang sekarang”

 

“Sudah lama putus dengan pacarmu?”

 

“Baru saja. Mungkin baru 2 bulan. Kami menjalani hubungan jarak jauh. Kami menjalin hubungan sejak kami masih menjadi murid SMA Gimpo. Tapi ia memutuskan untuk kuliah di Gimpo, sedangkan aku mendapatkan beasiswa di Seoul. Hubungan jarak jauh itu sangat menyiksa, kami hanya bertemu sebulan sekali. Namun, beberapa bulan sebelum kami putus, dia terus membatalkan janji untuk pergi ke Seoul … dan saat aku mengunjunginya ke Gimpo, dia ternyata sedang berkencan dengan laki-laki lain”

 

Minju terus memperhatikan raut muka Minho yang kian berubah seiring kata-katanya yang terdengar menyedihkan. Senyumnya luntur sedikit demi sedikit dan suaranya perlahan memelan.

 

“Oh, maaf. Bukan maksudku untuk membuatmu mengingat memori buruk itu lagi”

 

“Kau tidak salah. Jangan meminta maaf. Lagipula hubunganku dengannya sudah cerita lama” Minho kembali tertawa seakan-akan dia tidak baru saja menceritakan kisah cintanya yang penuh drama.

 

“Untung saja kau tadi menarik seseorang yang sedang tidak memiliki pacar. Jika saja aku masih mempunyai pacar, pacarku pasti akan cemburu” goda Minho sambil tertawa, Minju hanya ikut tertawa saat ingatan-ingatannya kembali pada keputusannya yang spontan tadi.

 

“Jadi … hubungan jarak jauh sulit bagimu? Apakah sekarang kau mau mencari pasangan yang tinggalnya juga di Seoul?” tanya Minju penasaran, masih tak ingin menghentikan topik pembicaraan.

 

Minho hanya menggangguk.

 

“Kau tinggal di Seoul?” tanya Minho tiba-tiba. Namun, siapa sangka pertanyaan dari Minho itu justru membuat Minju tersipu. Telinganya memerah dan kontak mata yang sedari tadi mereka pertahankan pun langsung patah. Minho yang menyadarinya langsung merasa panik.

 

“Uh, Minju. Bukan maksudku, aku tak bermaksud menyambung pertanyaanmu dengan pertanyaanku tadi. Kedua pertanyaan kita tadi tidak ada hubungannya, maafkan aku” kilahnya dengan terbelit-belit. Minju hanya tertawa canggung sambil menyentuh botol air mineralnya dengan gerakan repetitif, tentunya untuk mengalihkan fokusnya dan menghilangkan rasa gugupnya.

 

“Sebaiknya kita menghabiskan makanan ini. Sepertinya Wonyoung akan datang sebentar lagi” pinta Minju yang langsung menyuap makanannya dengan tergesa-gesa.

 

“Baiklah” balas Minho dengan pelan. Di dalam hatinya ia sedikit tertawa karena kecerobohannya tadi. Namun, apakah Minho tadi benar-benar bersikap ceroboh ataukah hatinya memang mendorongnya untuk berkata jujur?

 

Entahlah. Namun, pertemuan tak disengaja itu mungkin tak akan berakhir disitu saja. Jika keduanya berhendak, rasa canggung yang sedang mereka rasakan itu mungkin akan segera berubah menjadi rasa percaya dan senyum canggung itu mungkin akan segera berubah menjadi gelak tawa.

.

.

.

“Sepertinya penguntit itu tidak mengikutimu. Aku sudah memperhatikan sepanjang perjalanan, tidak ada mobil yang mengikuti kita” jelas Minho,

 

Kali itu, Minho, Minju, dan Wonyoung sudah sampai di rumah Minju. Setelah perjalanan pulang yang memakan waktu setengah jam, akhirnya Minju bisa bernafas lega. Minju yakin pria penguntit itu tidak lagi mengikutinya. Ia yakin karena Minho meyakinkannya. Minho terus menjaganya dari saat mereka keluar restoran sampai mereka menginjakkan kaki di halaman rumah Minju. Sangat atentif. Bahkan saat keluar dari restoran, Minho tak lagi mengobrol dengannya karena atensinya terus terfokus pada lingkungan sekitar. Minho mengaku ia khawatir jika pria penguntit itu bersembunyi dan justru mengikuti mereka sampai rumah. Namun, seperti yang sudah Minho bilang, pria penguntit itu sepertinya sudah tidak mengikuti mereka lagi. Minju bisa bernafas lega karena berarti alamatnya aman dari penguntit itu.

 

“Terima kasih, Minho” ucap Minju seraya berdiri di ambang pintu.

 

“Sepertinya aku tidak perlu menginap” ucap Minho.

 

“Kenapa?”

 

“Pria penguntit itu sepertinya tidak mengikutimu sampai ke rumah. Kau pasti aman” ucap Minho meyakinkan, namun anehnya Minju merasa sedikit kecewa. Tapi Minju semakin aneh dibuatnya, mengapa dia harus merasa kecewa karena seorang pria yang baru saja dikenalnya membatalkan rencana untuk menginap di rumahnya?

 

“Tapi …. catat kontakku. Kau bisa menghubungiku nanti jika kau perlu sesuatu” Minho langsung mendekatkan layar handphonenya ke arah Minju dan Minju langsung mencatatnya di handphonenya.

 

“Sudah kucatat. Aku akan menghubungimu”

 

“Santai saja. Hubungi saja saat kau perlu”

 

“Jika aku perlu teman untuk mengobrol, aoakah aku bisa menghubungimu?” tanya Minju. Pertanyaan itu justru membuat Minho tersenyum karena Minho tau ke arah mana Minju akan membawa pembicaraan mereka.

 

“Tentu saja. Aku tidak akan keberatan” jawab Minho sambil tersenyum manis. Sungguh rasanya ia tak mau meninggalkan wanita yang sedang berdiri di ambang pintu rumahnya itu. Jika saja waktu tidak menunjukkan pukul 3 pagi, dia mungkin akan meminta Minju untuk berbicara dengannya lebih lama lagi.

 

“Mungkin kau bisa menginap lain kali” tawar Minju, Minho hanya tertawa canggung dibuatnya. “Istirahatlah. Aku akan menghubungimu besok”

 

“Untuk apa menghubungiku?”

 

“Untuk memastikan apakah kau telah tidur dengan nyenyak. Aku pulang dulu” goda Minho sambil melangkahkan kakinya menjauhi rumah Minju. Minho langsung berlari ke arah taksi yang sedari tadi dimintainya untuk menunggunya.


Setelah taksi yang mengantar Minho pulang itu pun melaju, Minju hanya bisa berjalan gontai sambil menutup pintu rumahnya. Senyumnya terus mengembang dan tak mau berhenti. Bahkan, Wonyoung pun hanya bisa terkekeh geli melihat kelakuan kepupunya yang terlihat malu-malu itu.

 

Minju takut senyumnya akan terus memaksanya untuk memikirkan pria itu. Takut jika dia tidak bisa tidur karenanya. Jika dia tidak bisa tidur, dia tidak mungkin bisa memberitahukan Minho bahwa tidurnya cukup nyenyak saat Minho menghubunginya nanti.

 

Ah, Minju merasa serba salah dibuatnya.


Report Page