[Name]

[Name]




Bisa dibilang, pemuda itu tahu banyak hal akan gadis itu. Walaupun semua pengetahuan itu hanya akan membawanya ke rangkaian teka-teki yang lebih rumit lagi, semua itu mudah baginya. Setidaknya, bagi sang pemuda pemilik surai merah itu.

Derap langkah kaki terdengar menggema di auditorium yang sepi.

Sepasang kaki itu melangkah tanpa ragu, mendekati panggung teatrikal yang di sana berdiri seorang gadis yang berperawakan familiar bagi sang pemuda. Ia menyisakan jarak lima langkah dari tepi panggung, sekedar untuk mendongak dan menatap gadis yang membelakanginya.

Lampu auditorium padam satu-persatu, menandakan bahwa teater akan dimulai. Hanya dengan satu penonton, yang sebenarnya membenci pertunjukkan teater itu. Satu lampu yang tersisa menyorot sang gadis, menekankan eksistensi yang tak mampu dibedakan dengan manekin di sekitar bila tak tersorot lampu.


"Name."


Sosok gadis itu menoleh, menunjukkan daut sinisnya yang tersenyum. Entah apa yang tersirat dari ekspresinya, namun, itu tak diambil pusing oleh sang pemuda.

Name membalikkan tubuhnya, berjalan mendekat ke arah tepi panggung teater dan duduk di sana sembari mengayunkan kedua kakinya, "Bukankah kau membenci pertunjukkan teater, Sae?" Ucap gadis itu sembari menunjuk pemuda itu.

"Tak kusangka juga," Name melirik ke arah pin nama yang terpasang di pakaian yang ia kenakan, "-- Kau masih memanggil nama lama itu, padahal yang baru terdengar lebih bagus."

Itoshi Sae hanya diam, tak berniat untuk merespon perkataan sang gadis. Melainkan ia menghampiri, melepas pin nama dari baju sang gadis secara perlahan dan memberi jarak kembali.

Netra tosca itu menatap pin nama sang gadis sejenak, tempat nama asing itu terukir. Sebelum akhirnya, pemuda itu membantingnya dan menginjaknya. Berusaha menghancurkan pin nama itu dengan kebencian yang tersirat di wajah tanpa ekspresinya.

Sang gadis sedikit terkejut, sebelum akhirnya tertawa setelah sepasang tosca itu menatap tajam ke arahnya. "Bukankah dulu kamu menyukainya, Sae?"

Sang pemilik nama tersenyum remeh, "Nama itu terdengar seperti tipu daya, aku membencinya, sangat."

Senyuman itu terukir lebih lebar di wajah sang gadis yang kini turun dari panggung, menghampiri pin nama yang telah hancur. Ditatapnya benda itu, sebelum akhirnya menatap ke arah sepasang manik tosca.

"Kamu juga bagian dari mereka, orang yang menyukai teater ini." Name berjalan mendekat ke arah Sae, mengambil kedua tangan pemuda itu dan mengenggamnya erat. "Kenapa kamu menghendaki bertemu sang pemerannya? Bukan peran yang ia perankan?"

Alih-alih merespon pertanyaan dari sang gadis, Sae malah menepis genggaman tangan itu, mengejutkan Name yang nampaknya tak memprediksi hal semacam ini.

"Teater ini bukan tempatmu, keluar. Aku akan membakar habis auditorium." Ucap pemuda itu sembari berjalan menuju atas panggung teater, menjauhi sang gadis.

Name pun menghampiri salah satu kursi auditorium di barisan depan, mendudukinya seakan ia ingin melihat apa yang akan Sae lakukan pada panggung teater kebanggaan sang gadis.

"Lantas, apa yang ingin kamu lakukan setelah membakarnya? Pergi?"

"Kamu benar."

"Terlepas dari fakta bahwa aku hidup untuk di atas panggung ini?"

"Apa Name bahagia, dengan berdiri di panggung ini sendirian?"

Gadis itupun tertawa lirih, "Kau menyebutnya seakan kau sedang tidak berbicara dengan pemilik namanya, Sae." Pemuda bersurai merah itu kini berdiri di panggung, seakan menukar posisi mereka di awal tadi. "Kau yang menguburnya hidup-hidup di dalam sana. Kau, bukanlah dia."

"Hey, ayolah! Di atas panggung ini, semua impiannya terwujud olehku. Dia tak sendirian di sana, berhenti berbicara seakan dia begitu menderita karena impiannya terwujud."

Sae tak merespon. Ia merogoh sebuah korek api dari kantongnya, menyalakan api dan menjatuhkannya di lantai kayu auditorium yang langsung terbakar. Tempat ini bahkan palsu, batin Sae.

Kobaran api dengan cepat melahap auditorium itu bersama dengan seisinya, kecuali Name dan Sae. Para pelaku itu tak terpengaruh sama sekali, walau asap dan api mulai menyergap mereka.


"Lihat, api mudah sekali menyebar. Aku tahu, kau juga membenci tempat ini, bukan?"

Sang gadis itu menyenderkan tubuhnya pada kursi yang tinggal menunggu waktu untuk terbakar itu, menghela napas berat sebelum akhirnya menutup matanya.

Itoshi Sae jauh mengetahuinya dari siapapun, baik dari dirinya sendiri. Namun, itu selalu menjadi bumerang bagi Name, yang awalnya memang sudah menduga bahwa ia benci diketahui oleh pemuda itu.

Name membenci Itoshi Sae.

Ia membenci bagaimana tatapan tosca itu menembus ke relung hatinya, menusuk pelindung rapuh yang mulanya belum tersentuh siapapun. Itupun pecah, begitupula dengan tabir teater yang akhirnya terbuka di saat yang sang gadis tak kehendaki.

Gadis itu mengangkat kakinya, meringkuk dan memeluk kakinya.

"Kamu boleh pergi, Sae. Maaf, kamu takkan mendapatkannya di sini. Aku sudah membunuhnya bahkan beberapa tahun sebelum kita bertemu." Suara yang mulai terdengar lirih itu melanjutkan ucapannya, "Sedari awal, kamu tak pernah bertemu dengannya."


Hitam dan putih itu bisa beragam, mereka bisa satu orang ataupun lebih. Kebanyakan menjadi kesatuan, melebur satu sama lain dan menjadi sebuah individu tunggal. Malangnya seorang Itoshi Sae, ia bertemu dengan dua sisi yang tak menjadi kesatuan, menciptakan abu-abu dalam pemikiran dan kesatuan diri.

Tapi, apakah itu adalah kemalangan bagi Itoshi Sae itu sendiri?

Bagaimana menurutmu?

Nama adalah naungan bagi seseorang. Mereka yang memiliki nama yang sama belum tentu merupakan individu yang satu. Apalagi mereka yang berbeda nama, dapat dirasa bahwa mereka adalah individu yang berbeda, atau, mereka telah membenci satu sama lain.

Entahlah, nama yang tersemat itu tak selalu terasa nyata. Itu, hanyalah nama.

Name.

Name, Name.

Name, Name, dan Name.

Sae menghela napas, sebelum akhirnya berjalan menghampiri sang gadis. Mendekapnya di tengah sang api yang menggila.

"Name," Tangan kanan sang pemuda itu bergerak ke atas kepala Name, mengelus surai hitam itu dengan lembut. "Ayo, kita pulang" bisiknya.


Tempatmu bukan di teater ini, melainkan di hamparan bunga luas itu. Tak perlu khawatir, Itoshi Sae akan melindungimu. Aku lebih kuat, dari logikamu.
















Report Page