Luka

Luka

Svrcous

Setelah New tertidur, Tawan berjalan perlahan keluar dari kamar Gun. Ya, sekarang New dibawa ke rumah Gun. Setelah kejadian di rooftop tadi, Gun langsung menghubungi Krist untuk menjemput mereka.

New yang sudah tak sadarkan diri langsung dibawa oleh Tawan ke mobil Krist. Awalnya, New akan dibawa ke rumahnya tapi Krist merasa itu tidak akan aman, karena bisa saja wanita ular itu akan datang ke rumah New. Jadi Gun memberikan saran agar New dibawa ke rumahnya saja, karena kebetulan orang tua Gun sedang keluar kota.

Tawan turun dari kamar Gun dan bergabung dengan teman-temannya yang sudah berkumpul.

"New udah tidur?" Tanya Krist.

"Udah, barusan."

"Syukurdeh."

"Sebenernya, tadi itu kenapa? Kenapa new tiba-tiba kaya gitu?" Krist dan Gun saling menatap satu sama lain, mereka bingung harus menjelaskan dari mana.

"New punya panic attack, gejalanya kambuh kalo dia ketemu nyokapnya."

"Nyokapnya? Siapa?" Awalnya Tawan bingung apa yang dimaksud oleh Gun. Namun setelah ia ingat kembali pada kejadian tadi siang, hanya ada satu wanita yang datang. Tawan sebenarnya tak yakin dengan dugaannya ini, pasalnya Bu Alin adalah sosok wanita yang disegani banyak orang.

"Bu Alin?" Tanya Tawan memastikan.

"Hmm."

"Kenapa bisa sampe kaya gitu?"

"She's a villain in neww's life." Tawan mengerutkan dahi tanda tak paham.

"Kok bisa? Maksudnya dia ibunya New, kan?"

"Dia gak pantes disebut ibu wan, dia cuma hama di hidup new. Gue gak bisa jelasin tentang si uler lebih jauh, karena gue pikir lebih baik new sendiri yang jelasin." Tawan mengangguk paham.

"Gue gak habis pikir, si uler seniat itu pengen hancurin new. Dia sengaja cari tau kegiatan New sampe sedetail ini," ucap Krist emosi.

"Dia emang udah gila, apapun dia lakuin asal hidup new menderita. Kenapa sih gue baru tau sekarang kalo dia jadi narsum di fisfest, kalo gue tau lebih awal, gue bakalan suruh new keluar dari kepanitiaan."

"Sekarang yang jadi masalah, gimana caranya jauhin si uler dari new," ucap Krist.

"Kalo kita suruh new buat keluar dari kepanitiaan, dia bakalan mau?" Tanya Tawan.

"Gue gak yakin sih, tapi kalo diliat dari kejadian tadi kayanya dia mau deh."

"Tapi gun, new butuh sertifikat kepanitian itu buat magangnya."

"Iya sih, tapi gue rasa ada cara lain buat masalah magang. Dia bisa magang di tempat lain yang persyaratannya gak harus ada sertifikat kepanitiaan atau organisasi."

"Hmm tapi lu tau sendiri new pengen banget magang di perusahaan itu. Sampe dia rela masuk kepanitiaan, padahal tu anak anti banget sama acara kaya gini."

"Emangnya new mau magang diperusahaan apa?" Tanya Tawan

"Media rayaksa."

"Susah sih buat keterima magang disana kalo persyaratannya gak lengkap."

"Nah kan. Emang gak ada cara lain ya biar dia bisa tetep ikut kepanitiaan tanpa ketemu si uler?"

"Paling kita jauhin aja dia dari kegiatan seminar," ucap Gun.

"Emang bisa?"

"Bisa aja sih, dia kan panitia buat acara puncak. Cuman ya sebagai anak divisi acara, tetep harus hadir dan bantuin pas acara seminar."

"Gue bisa bilang ke singto buat hal ini, biar new gak perlu ikut pas seminar."

"Tapi masih ada kemungkinan gak sih si uler dateng pas acara puncak."

"Pasti dateng, tapi nanti gue bakal terus nemenin dia," ucap Tawan.

"Terus tugas lo?"

"Gue bisa minta bri yang handle."

"Berarti ini aman ya kalo new lanjutin kepanitiaannya?" Tanya Krist.

"Kita usahain biar aman." Gun dan Krist mengangguk paham.

"Kalo gitu, gue titip new ke elo ya wan. Lo juga gun, kalo misal ada apa-apa kabarin gue langsung."

"Oke, gue usahain yang terbaik buat new." Krist dan gun mengangguk.

"Btw gun, malem ini gue nginep disini ya," ucap Krist.

"Oke." Lalu Gun mengalihkan pandangannya pada Tawan.

"Lo mau nginep disini gak?"

"Emang boleh?"

"Boleh kalo lo mau. Tapi lo tidur di kamar tamu, jangan bareng new."

"Oke."

"Yaudah, sekarang mending kita pesen makan. Biar nanti kalo New bangun, dia bisa langsung makan." Gun langsung mengelurkan ponselnya untuk memesan beberapa jenis makanan yang disukai New.



Pukul 7 malam, New bangun dari tidurnya. Kepalanya masih terasa pusing, namun sekarang terasa lebih baik dari sebelumnya. New mengerjapkan kedua matanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Setelah dirasa kesadarannya kembali, New memperhatikan keadaan sekitarnya.

Oh Gun bawa gue ke rumahnya.

New yang masih setengah sadar mencoba bangun dari tidurnya dan berjalan keluar kamar untuk menemui temannya. Namun ketika New membuka pintu kamar, ia berpapasan dengan Tawan yang sedang membawa makanan untuk New.

"Ternyata lo udah bangun."

"Lo ngapain disini?" Tanya New.

"Lo gak inget kalo gue yang bawa lo kesini?"

"Oh, lo yang bawa gue. Gue kira gun."

"Mana bisa gun bawa lo kesini mbul, badan lo segede beruang gini gak mungkin gun bisa bawa."

"Gue gak segede itu ya."

"Iya deh percaya. Yaudah, sekarang waktunya lo makan. Lo mau makan disini atau dimana?"

"Makan bareng yang lain aja."

"Yang lain udah pada makan mbul, tinggal lo doang yang belum."

"Yaudah disini aja. Tapi.." New menggantung ucapannya.

"Tapi kenapa?" New menatap Tawan sekilas lalu ia menunduk.

"Gue gak mau makan sendiri," ucap New dengan volume suara yang kecil.

Mendengar hal itu, senyuman Tawan mengembang, ia merasa baru kali ini melihat New yang seperti ini.

"Gue temenin." New mengangguk senang.

Makanan yang dibawa Tawan adalah makanan kesukaan New yang tadi di pesan oleh Gun. Gun sengaja membeli makanan dengan porsi besar agar New bisa makan banyak.

"Kok dikit banget sih makannya, ini ayam kesukaan lo kan." Tegur Tawan ketika melihat New makan sedikit.

"Gue kenyang."

"Kenyang apaan? Lo baru makan 2 suap juga. Nih ayamnya masih banyak, tambah lagi ya."

"Gak, gue kenyang wan."

"Abisin ayam nya aja."

"Gak ah."

"Yaudah, lo mau apa? Es cream? Dessert box? Atau apa? Biar gue beliin sekarang."

"Gak mau."

"Terus mau lo apa, hmm?" Ucap Tawan dengan suara yang lembut.

"Nyari angin yuk."

"Mau kemana?"

"Ke taman depan perumahan, disana bagus kalo malem."

"Yaudah boleh. Asal entar lo lanjut makan ya."

"Iya, tapi gak janji."

"Yaudah gak jadi."

"Ihhhhhh iya deh entar gue lanjut makan lagi."

"Nah gitu dong." New mengerucutkan bibirnya tanda ia kesal.

Sekarang Tawan dan New sedang duduk disebuah kursi yang tersedia di taman. New menatap kosong pemandangan yang ada di depannya, sedangkan Tawan fokus menatap New yang ada di sampingnya.

"Ngapain liatin gue kaya gitu," ucap New tanpa mengalihkan pandangannya.

"Cantik."

"Dih, ngerdus mulu lo." Tawan terkekeh mendengar ucapan New.

Setelah itu tak ada percakapan dari kedunya. New masih fokus dengan pemikirannya, sedangkan Tawan mencoba memberi ruang agar New merasa nyaman.

"Kenapa lo gak nanya?" Ucap New tiba-tiba.

"Nanya apaan?"

"Gue tau, lo penasaran sama kejadian tadi siang."

"Bohong kalo gue bilang gak penasaran. Tapi, gue gak bakal nanya. Gue nunggu lo bilang sendiri tanpa harus gue tanya."

"Kenapa?" New mengalihkan pandangannya pada Tawan.

"Karena gue tau, gak mudah buat cerita tentang sesuatu yang paling lo benci. Itu sama aja lo buka luka lama dan gue gak mau lo ngerasain sakit lagi." New mengangguk.

"Lo bener, gue selalu benci kalo harus cerita tentang masalah ini. Tapi wan terkadang, gue harus ngebuka luka lama biar gue bisa berdamai sama luka itu. "

"Lo bener, tapi ada konsekuensi yang harus lo bayar buat itu."

"Dan sekarang gue milih buat ngebuka luka itu."

"Jangan maksain New."

"Gak kok, gue udah pikirin ini dari lama."

"Lo serius mau ceritain ini sekarang?"

"Heem. Lo mau dengerin gak?" Tawan mengangguk tanda setuju.

"Emmm gue harus cerita dari mana ya.."

New berpikir sebentar sebelum melanjutkan ucapannya.

"Gue itu anak yang gak diharepin kehadirannya sama mama, bisa dibilang gue ada karena "kecelakaan", dan waktu itu, karir mama lagi naik-naiknya. Mama seorang presenter terkenal yang kerja di perusahaan media terbesar indonesia, terus mama gabung politik juga, belum lagi mama selalu jadi pembicara di acara kenegaraan. Dengan karir yang sebagus itu, tentunya kehadiran gue jadi penghancur citra mama kala itu." New menghela nafas berat.

"Awalnya mama mau gugurin gue, tapi ayah nolak. Ayah mau tanggung jawab dan pertahanin gue. Awalnya mama gak setuju, tapi ayah berusaha buat yakinin dan akhirnya mereka menikah. Di awal kandungan mama masih bisa kerja karena belum keliatan, tapi makin sini pasti makin keliat. Temen-temen mama dan orang disekitar mulai gosipin mama. Ya gimana engga, nikah baru dua bulan tapi perut mama udah gede aja. Hal itu ngebuat mama stress berat yang akhirnya ngebuat gue harus lahir prematur. Dari gue lahir, oma lah yang ngurus gue dibantu sama sus. Mama gak pernah ngurus gue sama sekali, bahkan disaat gue butuh asi pun dia gak mau kasih." Senyum miris terpasang di wajah New.

Tawan memegang tangan New untuk memberikan kekuatan.

"Sejak gue lahir, mama sama ayah sering bertengkar. Ayah minta mama gue buat berenti dulu kerja sampe gue umur setaun, karena kondisi gue saat itu gak sebaik bayi-bayi lain. Jelas mama nolak itu, akhirnya ayah terpaksa berenti kerja karena oma juga sibuk ngurus bibi gue yang saat itu lagi "nakal-nakalnya". Dulu, gue sering iri sama Gun atau Kit yang selalu bawa bekal buatan mamanya, atau pas pulang sekolah mereka dijemput mamanya. Sedangkan gue, selalu dijemput pak sopir kalo ayah lagi sibuk. Gue jarang pulang ke rumah, karena di rumah cuma ada sus doang. Jadi gue lebih sering ngabisin waktu di rumah Gun atau kit. Gue gak bisa bayangin kalo gak ada mereka, pasti gue udah jadi anak terbelakang yang ansos. Lo harus tau, kalo dulu gue itu kaya anak buangan hahaha." Tawan tersenyum, ia tau tawa itu mengisyaratkan rasa sakit yang New rasakan.

"Semua nya berjalan baik-baik aja, gak baik sih tapi terpaksa harus dianggap baik. Dari gue kecil, mama gak pernah nyariin gue, ehh ralat.. mama selalu nyariin gue kalo dia lagi marah."

"Kenapa?" Tanya Tawan menyela.

"Ya karena mama jadiin gue samsak buat lampiasin amarahnya. Kalo gak di maki, ya paling kena pukul." Mata Tawan melebar, ia tak menyangka New mendapatkan kekerasan seperti ini sejak ia kecil.

"Gue gak pernah ceritain ke ayah, karena gue selalu diancam kalo gue lapor gue bakal kena pukul lebih banyak dari sebelumnya. Tapi akhirnya ayah tau tentang ini pas gue kelas 6 SD. Waktu itu, gue gak sengaja numpahin susu ke dokumennya mama, mama disana marah besar. Mama maki-maki sampe nampar gue dan ayah liat kejadian itu. Ayah marah besar, dan ayah langsung ngajuin cerai. Akhirnya gue pindah ke surabaya sama ayah. Ayah cuma tau kalo mama nampar gue sekali, pas kejadian itu aja." Suara New mulai bergetar.

"Ada makian yang selalu gue inget sampe sekarang. Mama pernah bilang kalo gue itu manusia terburuk yang pernah dia liat, dia nyesel kenapa gak gugurin gue dari awal. Kata mama, gue cuman pembawa sial yang ngancurin kehidupan mama. Mama bilang gue gak pantes idup dan gue gak berhak buat bahagia. Bahkan mama suruh gue buat mat-" Tawan langsung memeluk New sebelum New menyelesaikan kalimatnya.

Tawan tak sanggup lagi harus mendengar semuanya, Ia tak tahan mendengar New diperlakukan seburuk itu.

"Gak, itu cuman omong kosong. Lo manusia terbaik yang pernah gue temuin, lo sangat layak untuk hidup dan bahagia. Inget kata-kata gue ini." Ucapan Tawan sukses membuat new menangis.

Tawan semakin memeluk New dengan erat, ia mencoba memberikan kenyamanan agar New bisa mengeluarkan rasa sakitnya.

Report Page