Mengaliri Negeri

Mengaliri Negeri

Adi Sutakwa
Detik kita mengetahui permasalahan, detik itu pula kita mengemban tanggung jawab dan kemampuan menyelesaikan masalah di pundak kita.

Bukan sekali ini saja saya berjumpa dengan Bang Ricky, pernah sebelumnya Sekolah Alam Bengawan Solo (SABS) juga menjamu Bang Ricky sebagai tamu di SABS Fest 2015. Kala itu malam-malam di rumah pohon SABS, bulan Desember, akhir tahun, tidak lama berselang SABS juga melenggang ke Ciheras, dan saya ndak bisa ikut.

Setahun kemudian, malam-malam di ruangan nyaman ber-AC, bulan Desember, akhir tahun, beberapa minggu lalu, kembali saya bertemu dengan Bang Ricky. Kali ini dalam atmosfer yang sama sekali berbeda, satu sesi ruangan berisi kawan-kawan hebat dari berbagai penjuru negeri. Yang beberapa dari kawan saya ini, minggu lalu melanglang ke Ciheras, dan saya ndak bisa ikut, lagi.

Bang Ricky rasanya sudah seperti 'cita-cita' baru buat anak-anak muda idealis kekinian. Bukan hanya bagi mereka para engineer yang serumpun ilmu atau se-'almamater' dengan Bang Ricky, namun juga bagi aktivis-aktivis mahasiswa pertanian yang kadang galau dan gamang habis lulus mau kemana, dimana, bagaimana. Lebih dari itu, kalian para pemegang ijazah ilmu sosial juga tentu bisa belajar ekonomi dan bidang sosial yang lain di Ciheras.

Seperti tranformasinya sekarang - Lentera Angin Nusantara menjadi Lentera Bumi Nusantara - Ciheras rasanya benar betul menjadi 'bumi' bagi semua ilmu untuk para pemuda idealis yang masih setengah-setengah realistis. Susah sih cerita soal Bang Ricky kalau kamu belum tahu siapa Ricky Elson, baca dulu lah secara urut dan runtut, cukup dari timeline facebook Bang Ricky, coba lacak kira-kira 4-5 tahun terakhir sampai hari ini.

Jatuh

Tentu saja Bang Ricky datang bukan hanya ingin berceritera, beliau datang untuk 'meng-aktifkan' kami semua. Bahwa kami yang lahir di tanah negeri ini punya hutang yang harus dibayar. Omong kosong kalau kau berdalih tidak berhutang apapun pada rakyat negeri ini, seluruh sendi tubuh dan nalar dirimu itu berkait dan berhubung dengan tiap sengal nafas anak-anak negeri.

Maka bangunlah, selama masa studi lakukan aktivasi diri, jadilah lumbung ilmu apapun saja sebanyak-banyaknya. Kurangi waktu tidur, kurangi waktu makan, banyak yang harus dilakukan. Bukankah kita sudah tahu bahwa waktu yang kita miliki sehari 24 jam itu jauh lebih sedikit dari segala kewajiban yang harus kita lakukan?

Kita mesti mau sadar untuk menjadi pembelajar. Pelajari apapun saja yang kau timbang akan bermaslahat kelak di masa datang. Persetan dengan bidang ilmu, bodo amat dengan fakultas, ora urus dengan program studi. Seberapa banyak pun yang kita pakari tentang pengetahuan, tidak akan pernah cukup untuk bekal melawan dan mencekal rusaknya masa depan.

Lihatlah sekeliling, cobalah berkeliling. Datangi sejauh kaki dan hartamu dapat menempuh, sambangi seteguh tangan dan tubuhmu mampu melabuh. Perhatikan dengan jeli, anak-anak negeri tidak terurus, kurus, dengan wajah yang tirus, inikah kelakuan keji kita pada calon generasi penerus?

Bangunlah dan mulailah melangkah, untai dan rajutlah kontribusi nyata apapun yang kamu bisa. Bang Ricky berpesan, kita mesti benar sebenar-benarnya totalitas, bukan hanya retorika kata atau dialektika unjuk karya.

Kata beliau, seandainya kalian melakukan hal baru, mencoba bergerak mengabdi, kalian pasti jatuh, pasti jatuh. Dikecewakan para pejabat, disia-siakan para pemangku kekuasaan yang terlibat. Sudahlah, tidak perlu merasa wah atau terlampau bungah dengan inisiasi yang kau tawarkan, lakukan saja. Jatuh itu pasti, koyo ngono kuwi wes mesti, pertanyaannya apakah kau mau kembali berdiri di jalan sunyi pengabdian ini?

Bangun

Kita wajib hukumnya melalui momen perubahan, bukan hanya dengan menunggu lantas mendapat, tetapi dengan mengambil, mencari, menelusuri, menghayati, diskusi, membaca, menekuni. Kita harus membuat momentum perubahan itu untuk diri dan lingkungan kita.

Maka karena pasti adanya masa kejatuhan, kita mesti mau menempa diri, membenturkan badan sampai batas ketahanan, mengorbankan diri demi anak-anak negeri. Ayolah, kita tidak berbicara soal negara tetapi tentang negeri, kita tidak berdiskusi soal pemerintah tetapi tentang rakyat yang tak terhitung lagi berkali-kali dipaksa kalah.

Tidak ada negara dan pemerintah pun tidak masalah kok, asalkan negeri dan rakyat tetap bisa hidup dalam kemuliaan moral dan kesejahteraan kehidupan. Nama administratif itu tidak lagi menjadi penting kalau kita sudah berbicara tentang rakyat. Bahkan kalau Tuhan mau me-restart da meng-overwrite negara ini dengan sejarah dan nama lain selain Indonesia pun rakyat tetap harus hidup layak dan tugas kitalah untuk mengupayakan itu.

Belajarlah selama apapun yang kau sanggup, tidurlah sesingkat singkatnya kau perlu. Kuasai bahasa apapun saja, karena itu adalah pintu ilmu, jendela untukmu memahami nilai, budaya, dan segalanya dari dunia luas. Detik kita mengetahui permasalahan, detik itu pula kita mengemban tanggung jawab dan kemampuan menyelesaikan masalah di pundak kita.

Tidak ada jalan pintas untuk mengelola kegagalan, tidak ada tips trik jitu, tidak ada kiat-kiat rahasia, tidak ada cara cepat, tidak ada kemudahan apapun saja yang kau kira selama ini ada. Kalau gagal ya mulai lagi, bangkit lagi meskipun harus dari awal. Kalau kalah ya bertarung lagi, berusaha lagi walaupun mesti sejak asal.

Terimalah kegagalan, tetapi ingatlah bahwa 'menerima' tidak sama dengan 'membiarkan'. Belajarlah menerima dan bersyukur, lalu bangkit dan berbuat.

Mengalir

Pernahkah terlintas walau hanya sepintas, sungai disebut sungai karena apa? Apakah karena ada airnya? Ataukah karena ada cekungan panjang dari hulu ke hilir? Kalau hanya air dan cekungan saja, jadilah air tergenang bukan sungai. Dan air yang menggenang itu tidak suci dan men-sucikan.

Maka sungai dinamai sungai karena alirannya, aliran itulah yang memberi kesucian dan kehidupan. Seharusnya seperti itulah diri dan pribadi kita, kita mesti mengalir, menyerap ilmu dan menyampaikannya, menerima kebaikan dan melakukannya.

Tentang bagaimana kau mulai membangun negeri, lakukanlah dengan caramu sendiri. Percayalah bahwa 'proposal pada langit' tetap yang pertama dan utama ketimbang proposal-proposal pendanaan lainnya. Mulailah membagi tugas, lakukanlah bersama dalam lingkaran dan barisan yang sempurna.

Terimalah negeri ini apa adanya, karena setajam apapun perbedaan kita, perbedaan keluarga, suku, daerah atau bahasa ibu kita, tetap satu kesamaan yang kita perjuangkan. Kita sama-sama menginginkan kehidupan yang lebih baik, untuk diri dan anak-anak kita.

Kita mungkin takut, dikriminalisasi, ditekan, dipaksa, diancam, diasingkan, tetapi apa lantas kita berhenti? Kalau kau masih punya Tuhan, maka apalagi yang kau takutkan? Makar, konspirasi, niat jahat, tindakan kejam, apapun saja yang merintangi jalan panjang kebaikan dan ketulusanmu, yakinlah dan bergantunglah hanya pada Tuhanmu. Karena siapa pula yang bisa melawan Tuhan?

Mengalirlah, menjadi air yang menyegarkan dan menyucikan. Untukmu, demi negerimu.

Report Page