Goodbye!!

Goodbye!!

Natsume🐰

If I could write another ending. This wouldn’t even be our song. If I could find a way where we never ever be apart, right from the start. (Greyson Chance – Home Is In Your Eyes)

Ais membaca surat Sam dengan tatapan nanar. Surat itu adalah tulisan terakhir sebelum Sam melakukan percobaan bunuh diri. Hati Ais terasa perih melihat Sam yang yang tergolek lemah di ranjang rumah sakit dengan beberapa selang menancap di tubuhnya yang diharapkan dapat membantu Sam untuk segera bangun dari masa kritisnya. “Sam, harusnya elo tahu kalo ada orang yang masih butuh elo. Masih ada orang yang mau nemenin elo. Dan masih ada orang yang menyayangi elo, Sam. Please, bangun Sam. Gue nggak ingin elo pergi dari hidup gue.” Ujar Ais di sela-sela tangis pilunya. Ais tak sadar beberapa langkah di sebelahnya ada dua makhluk tak kasap mata yang ternyata adalah jiwa Sam dan Jody, malaikat yang ditugaskan menuntun orang yang sudah waktunya untuk kembali kepada Yang Maha Kuasa. “Sam, apa kamu masih ingin pergi dari dunia ini? Lihatlah, masih ada yang menyayangimu. Lagipula ini bukan saatnya kamu pergi dari dunia ini. Jalanmu masih panjang.” Ujar Jody. Sam menggeleng pelan, “Tidak, aku ingin pergi dari dunia ini. Udah nggak ada gunanya aku hidup di dunia ini dengan penuh luka hati.” Tolak Sam tegas. “Hei, ayolah. Hmm, begini saja, kamu aku beri waktu lima hari untuk berpikir. Siapa tahu kamu menemukan alasan untuk tetap hidup di dunia ini sesuai dengan takdirmu.” Tawar Jody. “Baiklah. Tapi, bagaimana dengan wujudku? Dengan wujud seperti ini tak akan ada yang melihatku.” Kata Sam. “Apa yang gadis itu sukai? Apakah dia menyukai kucing?” tanya Jody. Sam berpikir sejenak, berusaha mengingat-ingat hal yang disukai Ais. “Ya, ku rasa.” Jawabnya dengan yakin.

“Bagaimana keadaan Sam, Ais?” tanya Tante Fifin, ibu Ais dengan lembut. Ais menghempaskan tubuhnya di sofa yang empuk, “Dia belum sadarkan diri, Bu. Dia masih koma.” Jawab Ais dengan lirih. “Orang tuanya sudah datang menjenguknya?” ibu Ais mendekati putri semata wayangnya itu sembari mengelus pelan bahu Ais mencoba menenangkan. Ais hanya menggeleng. “Kasihan Sam. Dia pasti melakukan percobaan bunuh diri karena dia frustasi dengan keadaan di rumahnya. Semoga Sam lekas sembuh, supaya dia bisa sekolah lagi bareng kamu.” Kata ibu Ais. “Iya, Bu. Semoga saja. Ais pasti akan kesepian kalo Sam nggak ada di sekolah.” Ais berusaha menahan air matanya yang mulai menumpuk di pelupuk matanya. “Aku ke atas dulu ya, Bu. Capek, besok kan sekolah.” Lanjut Ais dengan wajah tegas yang sebisa mungkin ia coba. “Meong..” langkah Ais terhenti, ia menunduk untuk mengetahui apa yang ada di dekat kakinya. Seekor kucing dengan bulu abu-abu. “Oh, ya! Ibu lupa, itu kucing pemberian teman Ibu buat kamu. Lucu, kan?” ibu Ais tersenyum jahil. “Ah, Ibu. Makasih! Aku bawa ke kamar ya?” pinta Ais dengan wajah berbinar. Di bawanya kucing yang sebenarnya adalah penjelmaan dari Sam ke kamarnya. “Ah, lucunya. Aku kasih kamu nama Sammy. Biar sama kayak Sam. Habisnya kamu lucu kayak dia. Kamu mau kan jadi pendengar setia curhatanku, Sammy?” Ujarnya. “Meong…” senyum Ais melebar, “Kyaa…lucunya.!” Jerit Ais yang berusaha melupakan kegelisahaan akan keadaan Sam.

Sam yang menjelma sebagai kucing berusaha memperluas pandangannya untuk mengamati berbagai hal di kamar Ais dengan detail. Matanya tebelalak saat melihat fotonya terpajang dengan manis di meja belajar Ais. Foto saat ia dan Ais pergi ke danau untuk piknik saat kelas VIII dulu. Di kala semua baik-baik saja. Dalam tidurnya, Ais mengingau, “Sam, pleasejangan tinggalin gue. Gue sayang elo. Sam, Sam!” Sam yang bisa diam. Sebagian hatinya merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan karena membuat Ais terluka seperti ini. Hatinya terasa sakit melihat kecemasan Ais yang masih terlukis dalam wajah tertidurnya. “Gue ada di sini, Ais. Gue pengennya bakal selalu ada di samping elo. Tapi, gue nggak pengen sakit hati lagi di rumah.” Usai mengatakan itu, Sam pun melompat ke meja belajar Ais. Matanya asyik menjelajahi tulisan di buku Ais yang terbuka. Hatinya mencelos ketika sadar bahwa itu adalah buku harian Ais.

Sam, kenapa elo ngelakuin ini semua? Kenapa? Padahal aku siap untuk mendengarkan segala keluhanmu. Seluruh isi hatimu yang selama ini memenuhi seluruh ruang di otakmu. Aku siap untuk menjadi sandaranmu. Tapi, kenapa kamu malah memilih jalan itu? Apa karena kamu nggak pernah menganggapku? Sam, aku ingin sekali seperti dulu lagi. Saat kita bareng, curhat, dan bercanda bersama. Ku mohon cepatlah sembuh. Aku merindukanmu. Jangan pernah melakukan itu lagi, ku mohon. Kembalilah menjadi dirimu, Sam.”

“Maafkan aku, Ais. Aku mungkin terlalu egois.” Sesal Sam. “Kau mau mengganti keputusanmu?” tanya Jody yang datang tiba-tiba. “Entahlah. Aku masih membutuhkan kepercayaan yang telah hilang. Aku ingin ada orang yang menginginkanku juga.” Jawab Sam. “…Aku ingin orangtuaku menginginkanku.” Lanjutnya. Jody hanya dapat menganggukkan kepalanya pelan. Sangat sulit untuknya menuntun Sam. Ia sangatlah berbeda dan sulit diyakinkan, ia sudah terlalu putus asa. Tapi Jody tetap bertekad meyakinkan Sam sesuai dengan yang harusnya terjadi, Sam harus memilih untuk hidup.

 “Ais, bagaimana keadaan Sam?” suara cempreng Sheryn tetap tak membuat Ais sadar dari lamunannya. “Elo kenapa sih? Ais, elo baik-baik aja, kan?” Sheryn mengguncang-guncang bahu Ais. Ais pun tersadar dari lamunannya, “Eng, ada apa, Ryn?” tanya Ais dengan tergagap. “Huft, untung aja. Gue kira elo kesambet. Eh, gimana keadaan Sam sekarang?” tanya Sheryn. Ais menarik napasnya sejenak, “Ada-ada aja kamu. Keadaannya masih nggak sadar, nggak tahu sampai kapan.” Jawab Ais dengan wajah yang kembali suram. “Sabar aja, ya? Gue yakin Sam pasti sembuh dan kembali ke elo lagi.” Hibur Sheryn. Hati Sheryn sakit melihat Ais, sahabatnya, mendadak suram gara-gara Sam. Ais mendengarkan kata-kata Sheryn dengan mengangguk-angguk. “Udahlah, gue nggak apa-apa, kok. Oh, ya! Nanti gue mau ke rumah sakit. Elo ikut apa nggak?” tawar Ais. Sheryn tampak berpikir sejenak sebelum menjawab tawaran Ais, “Gimana, ya? Hari ini gue mau balik bareng Dirga. Tapi tenang aja. Gue bakal ajak dia ikut ke rumah sakit buat nemenin elo.”Ais tersenyum mendengar jawaban Sheryn.

“Sam, gue dateng. Hari nggak cuma aku, tapi ada Sheryn dan Dirga. Mereka dateng buat elo. Please, bangun Sam.” Bisik Ais.

 Namun, Sam tetap tak bergeming. Ais hanya tersenyum kecut. Sheryn dan Dirga yang menemani Ais merasa kasihan. Setelah beberapa lama menjenguk Sam, mereka pun pulang. Sheryn meminta Dirga untuk mengantar Ais pulang. Setelah sampai di rumah, Ais teringat akan orang tua Sam yang mungkin saja tidak tahu akan apa yang terjadi pada Sam. Ditekannya nomer telepon Tante Winda, Mama Sam. “Assalamualaikum, Te?” dari kejauhan Mama Sam menjawab telepon Ais, “Ya, ada apa, Ais?” Ais menghela nafas. “Tante sudah tahu keadaan Sam?” “Apa? Di sini sangat bising sayang. Jadi Tante tidak bisa mendengarmu dengan jelas. Tante sedang ada acara pembukaan Resto baru. Lain kali aja ya.”

“Apakah orang tuaku memang tidak menyayangiku lagi? Mereka tidak pernah datang menjengukku. Tidak pernah mencari tahu bagaimana kabarku. Hanya pekerjaan yang mereka ributkan.” Jody pun menjawab, “Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya, kurasa.” Sam menghela nafas sejenak, “Mereka hanya mencintai pekerjaan mereka. Keluarga hanya formalitas saja.” Jody mendekati Sam, “Kau tetap tidak ingin siuman dari koma mu?” Sam menggeleng, “Aku masih tidak ingin kembali.” Ujarnya pelan. “Tapi kau merindukan Ais?” mendengar pertanyaan Jody, Sam hanya dapat terdiam. “Kau benar-benar menyukainya.”

“Hai Sammy! Ah, hari ini kau tetap menggemaskan. Kau merindukanku? Ini baru 3 hari, tapi kau benar-benar mengikutiku selalu.” Kata Ais sembari menggendong Sammy. “Hari ini ternyata Mama Sam membuka Resto baru. Mungkin kita bisa ke sana untuk memberi tahu kondisi Sam.” Sam hanya terdiam. Ais pun segera pergi ke Resto baru Mama Sam dengan Sammy di pelukannnya. Mereka sampai di sana saat sore hari. “Hai, Ais! Kamu ternyata datang. Sam mana?” Mama Sam terlihat sangat cantik dengan gaun elegannya. “Jadi, begini Tante. Ais tadi di telepon mau ngomong tentang Sam.” Sahut Ais pelan. “Ada apa dengan Sam?” Mama Sam terlihat agak panik. “Sam masuk rumah sakit, Te. Udah tiga hari ini. Dia bunuh diri. Untungnya bisa diselamatkan, tapi smapai sekarang dia masih koma. Ais kira Tante sudah tahu. ” jawab Ais dengan takut-takut. Mama Sam menangis pelan, “Papa Sam, udah tahu?” tanyanya. Ais menggeleng, “Ais nggak tahu, Te.” Mama Sam menghapus air matanya pelan, “Setelah acara ini selesai, kita pulang.”

“Pa, Sam koma. Dia berusaha bunuh diri.” Hanya singkat Mama Sam mengirim pesan itu ke Papa Sam. Baru satu menit, hpnya berdering keras. “Bagaimana bisa kau tidak tahu akan keadaan anakmu sendiri!” Mama Sam hanya menangis. “Bukankah tidak ada bedanya dengan dirimu? Kau juga selalu hanya mementingkan pekerjaanmu!” Papa Sam menghela napas “Aku pulang hari ini juga.” Tegasnya. “Ya, cepatlah. Kita sudah terlalu lama mengecewakannya.” Sore itu juga Papa Sam terbang ke Indonesia, walaupun pekerjaannya di London menunggunya.

 “Sam. Mama dan Papa datang untukmu, Nak. Bangunlah, Nak.” Pinta Mama dan Papa Sam. “Sekarang orangtuamu sudah menginginkanmu, Sam. Bagaimana pilihanmu sekarang? ” tanya Jody. “Aku tidak tahu.” Jawab Sam. “Bukankah ada banyak hal yang bisa kau lakukan jika kau memilih untuk tetap hidup?” Sam terdiam. “Bukankah ada orang yang sayangi di dunia ini? Dan kau tahu, mereka juga menyayangimu.” Sam ingin mengelak, tapi dia mengurungkannya. Hatinya bimbang akan apa yang harus ia pilih. Ia ingin tidak di dunia ini lagi, namun Ia menyayangi Ais, Ia mencintai gadis itu. Dan orangtuanya pun sekarang mau peduli tentang dirinya. “Waktumu hanya tinggal besok, Sam.” Jody mengingatkan. “Ya, aku tahu. Aku akan menjawabnya besok, setelah aku benae-benar yakin. ” Jawab Sam.

Ais lari terburu-buru begitu mendengar keadaan Sam memburuk. Disibaknya kerumunan orang yang ada di koridor rumah sakit. Ia sangat khawatir dengan keadaan Sam. Ia ingin Sam tetap bertahan. “Tunggu aku, Sam.” Batinnya. Hingga akhirnya ia sampai di depan ruang Sam. Orang tua Sam menunggu dengan keadaan gelisah. Ibu Sam memeluk Ais. Ais menangis pelan dalam dekapannya. “Semoga Sam dapat melaluinya dengan baik. Semoga Sam segera sadar dari masa kritisnya.” Ayah Sam menenangkan. Mereka tak henti-hentinya merapal doa untuk Sam. Selah cukup lama menunggu, Dokter Ganda keluar untuk mengabarkan keadaan Sam. “Dok, bagaimana keadaan Sam?” tanya Ibu Sam dengan gelisah.

“Jadi, apa pilihanmu sekarang?” tanya Jody. Sam mengangguk, “Aku memilih untuk hidup, masih ada banyak hal yang harus ku selesaikan di dunia ini. Sudah seharusnya aku menghadapi semua masalah yang menghadangku bukannya lari dari itu semua. Karena kenyataan memang tidak seindah mimpi.” Jawab Sam dengan yakin. “Pilihan yang benar. Cepat pergilah ke ragamu, kasihan Ais yang selalu menderita karena khawatir akan dirimu.” Pinta Jody. “Terima kasih.” Kata Sam sembari berlari.

           “Dok, ku mohon bantu Sam.” Pinta Ais kepada Dokter Ganda. “Iya, saya akan bantu sebisa mungkin.” jawab Dokter Ganda. Ais pun keluar dari ruangan Sam. Tak henti-hentinya bibir mungilnya merapal berbagai doa yang yang dia ingat. Dia benar-benar tidak ingin kehilangan Sam. Ayah dan ibu Ais dengan sabar menemani Ais. Begitu pula dengan orang tua Sam. Raut kecemasan melekat pada mereka semua. Setelah beberapa lama menunggu, Dokter Ganda keluar dari ruangan Sam. Mereka berbondong-bondong mendekati Dokter Ganda serta menodongnya dengan berbagai pertanyaan yang langsung disambut dengan senyuman. “Sam sudah melewati masa kritisnya. Tunggu saja. Sebentar lagi dia pasti akan siuman.” Kata Dokter Ganda menenangkan. “Salah satu dari kami boleh menungguinya, bukan?” tanya ayah Sam. “Boleh. Tapi hanya seorang saja.” Jawab Dokter Ganda. “Ais, kamu yang masuk saja, ya?” pinta ibu Sam. Ais mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke tempat Sam.

           “Ais?” sepatah kata itulah yang Sam ucapkan begitu membuka matanya. Ais yang tertidur pun terbangun. “Sam? Kamu sudah sadar?” ujar Ais sembari mengucek matanya karena ia merasa seperti mimpi. Sam meraih tangan Ais, “Please,jangan tinggalin aku. Sebentar aja.” Ais pun mengurungkan niatnya keluar untuk memanggil orang tuanya dan orang tua Sam. “Maafin aku, ya. Aku bodoh banget. Lari dari kenyataan. Padahal ada orang yang begitu menyayangiku walau selalu tak ku hiraukan. Aku janji, aku nggak akan ninggalin kamu lagi dan aku akan lari lagi dari kenyataan.” Kata Sam dengan bersungguh-sungguh. Ais tak kuasa menahan air matanya, dibiarkannya air mata itu membasahi pipinya. Tangis itu bukan tangis kesedihan melainkan kebahagiaan karena Sam telah berubah. Dengan lembut Sam menghapus air mata Ais. Ais tersenyum, “Aku maafin kok. Aku boleh keluar sekarang? Orang tuamu pasti senang tahu kamu sudah siuman.” Sam mengangguk pelan. “Ais, aku sayang kamu. Aku sebenarnya suka kamu dari pertama kita bertemu. Tapi perasaan itu terlupakan karena semua masalah yang datang bertubi-tubi padaku. Tapi, nggak ada kata terlambat, kan?” kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa Sam bendung. Semua perasaan yang Sam pendam pun tersampaikan. Ais tertegun mendengar semua itu dari Sam. Ia selalu memimpikannya. Dengan pipi memerah Ais menoleh, “Aku juga punya rasa yang sama kayak kamu, Sam.”


           “Sam, maafin Papa dan Mama, ya? Kami nggak pernah mikirin perasaanmu. Tapi kami janji, kami akan berdamai. Kami akan selalu ada untukmu, Sayang.” Kata mama Sam dengan mata sembab saking bahagianya melihat anak semata wayangnya siuman setelah beberapa minggu tak sadar-sadar. Papa Sam yang ada di sebelah Mama Sam meng-iyakan perkataan sang Mama. Dari kejauhan Sam melihat Jody tersenyum, Walau tidak jelas, Sam merasa yakin kalau Jody berkata, “Kau sudah menemukan pilihan yang tepat, bukan?” Sam mambalas dengan anggukan kepala. Ia sangat bahagia. Mungkin memang inilah jalan yang tepat untuknya. Tetap hidup bersama orang yang ia sayangi dan orang yang menyayanginya. Satu hal yang Sam sadari dari semua yang ia alami beberapa minggu ini, jangan pernah menyia-nyiakan orang yang menyayangimu karena mencari orang yang benar-benar menyayangimu tidak semudah membalikan tangan. 


Report Page