Gift

Gift

Janerisca Hanggini Ayudhiya

⠀⠀⠀ Jumantara pekat terus menerus mengeluarkan kesedihannya. Selayak mengetahui apa yang kini sedang aku rasa dalam relung hampa jiwaku ini.


⠀⠀⠀ Ragaku sedang terbaring di atas brankar rumah sakit, dan hanya dapat memperhatikan saban sudut ruangan yang dipenuhi dengan ambu obat itu. 


⠀⠀⠀ “Sepertinya, ini bukanlah kamar inap biasa. Bagaimana aku membayar biayanya? Lalu ... mengapalah mereka menempatkanku di sini? Ada apa ini?” gumamku sendiri, masih dalam hati. 


⠀⠀⠀ Suara knop pintu membuyarkan pikiranku, satu orang dokter masuk ke dalam ruanganku. Termaktub kalimat

“DR. HARASKA P.W., S.KED” ada pada tanda pengenal di baju profesi punya dirinya. Ah, iya. Dia jugalah kawanku. 


⠀⠀⠀ “Sudah sadar, Nona?” sapanya 


⠀⠀⠀ “Belum. Kau lihat saja sendiri.” Ia cuma terkekeh mendengar jawabku.


⠀⠀⠀ “Ah, sudah kubilang berapa kali? Apabila di luar sedang hujan lebatnya, lebih baik diam saja di rumah. Jangan kelayapan. Ya, kalau sudah seperti ini, siapa yang akan merasakannya? Kan, kamu juga.” Ah! Omel darinya berisik. Seperti ibu ketika sedang marah saja.


⠀⠀⠀ “Stok camilanku habis, Ras. Aku membutuhkannya untuk menemaniku menonton drama favoritku,” jawabku.


⠀⠀⠀ “Haish! Lain kali, tunggulah dulu sampai hujan mereda. Baru kau boleh bepergian. Kau mengerti, tidak?”


⠀⠀⠀ “Ya, ya. Aku sangat mengerti.”


⠀⠀⠀ “Nah, sudah selesai, Jane,” ucap Haraska selepas ia beres memeriksa keadaanku. 


⠀⠀⠀ “Suster yang merawatku bilang bila aku koma selama empat bulan di sini. Itu benar?” tanyaku kepadanya.


⠀⠀⠀ “Ya, yang ia katakan benar. Kau sudah tertidur di sini empat bulan.”


⠀⠀⠀ “T— tapi ... aku tidak merasakan bahwa ... bahwa, diriku sedang koma.”


⠀⠀⠀ “Janerisca Hanggini Ayudhiya, jujur. Aku ingin memukulmu saat ini rasanya. Kau, kan, tertidur. Ya, mana bisa kau merasakannya?”


⠀⠀⠀ “Ras, maksudku bukan seperti itu. Tapi saat tertidur, aku merasa ada orang menemaniku. Dan ia menangis, seperti ... sangat tersiksa saat melihat keadaanku. Apa kau tahu siapa dia?” 


⠀⠀⠀ “Tangisannya membuatku ingin menangis juga. Tapi suaranya seperti bukan suara tangisan wanita ....”


⠀⠀⠀ “Sebentar. Jadi ... maksudmu itu suara tangisan dari seorang pria, ya?”


⠀⠀⠀ “Iya! Benar ... aku jadi ingin ikut menangis kala mengingat suaranya.”


⠀⠀⠀ "Hey, Jane? Jangan menangis! Mungkin itu hanya khayalanmu saja. Tak ada yang dapat masuk ke dalam ruanganmu tanpa tanda pengenal.”


⠀⠀⠀ “Ah! Iya, ya. Ini ruang VVIP, kan?” Haras hanya menjawab pertanyaanku dengan menganggukan kepalanya.


⠀⠀⠀ “Oh! Atau, jangan-jangan ... itu dirimu yang menangis, ya? Kau takut kehilanganku, kan?” godaku padanya.


⠀⠀⠀ “Tidak, bukan aku. Aku bahkan hanya menjagamu di siang hari saja,” jawab ia dengan tegas lagikan tuntas.


⠀⠀⠀ “Baiklah, baiklah.”


⠀⠀⠀ “Omong-omong ... terima kasih telah merawatku, ya! Tapi, sepertinya diriku harus bekerja lebih giat habis ini. Biaya untuk ruangan ini tentunya tak terbilang murah, bukan?” ucapku untuk membuka pembicaraan baru.


⠀⠀⠀ “Tidak perlu, rumah sakit sudah menanggung semua biayanya.” Lalu seketika itu, aku memasang ekspresi bingung kala mendengar jawabannya.


⠀⠀⠀ “Kenapa?”


⠀⠀⠀ “Entahlah. Mungkin karena saat itu rumah sakit sedang ulang tahun.”


⠀⠀⠀ “Ah, begitu rupanya. Aku harus menemui bosmu berarti. Sebab, aku ingin mengucap terima kasih di atas segala kebaikannya ini, Ras.”


⠀⠀⠀ “Maaf, Jane. Tapi bosku tidak sesantai itu, apalagi bertemu hanya untuk ucapan terima kasih itu saja.”


⠀⠀⠀ “Akan tetapi, tetaplah saja aku harus berterima kasih padanya, kan?" 


⠀⠀⠀ “Benar, sih. Bagaimana biar aku saja yang menyampaikannya apabila aku bertemu dengan beliau nanti?”


⠀⠀⠀ “Baiklah, terima kasih!”


⠀⠀⠀ “Sama-sama, Janerisca.”


Report Page