First time.

First time.

o.


Hari dimana Minho dan Jisung mengikat janji suci, hari. Hari dimana mereka berdua berdiri di hadapan pastor, mengenakan tuxedo putih dengan tatanan rambut dan riasan wajah tipis yang menambah kesan manis pada rupa keduanya, tak dapat sembunyikan senyum manis menyimak tiap tuturan kata yang disampaikan.

Sampai pada detik dimana mereka berdua resmi menjadi sepasang suami setelah beberapa menit sebelumnya berucap mantap, “Saya bersedia.”. Disambut tepukan tangan meriah dari para kerabat, tamu, dan keluarga mengiringi proses sang Ai resmi menjadi milik Payo sepenuhnya. Dan tentu saja, disana ada Pancagriffin yang memakai baju senada berwarna biru langit, melontarkan sorak sorai dan beberapa menitikkan air mata bahagia.

Minho menggeser sedikit tubuhnya, menatap mata Jisung, seseorang yang kini sudah menjadi milik Minho seutuhnya, suami sahnya, tanggungjawabnya, orang yang akan ia bahagiakan apapun keadaannya, hidup dan matinya. Jisung membalas tatapan itu dengan senyuman paling manis yang ia punya, matanya tak mampu menyimpan haru memberontak ingin segera menitikkan bulir air dari sana.

“I Love you, Lee Jisung.”

Kalimat Minho sebelum memiringkan wajah, dekatkan bibirnya hingga keduanya terlibat dalam pagutan bibir. Minho melumat bibir cherry yang sudah menjaadi candunya sejak bertahun-tahun lalu, mengantarkan afeksi yang luar biasa. Ciuman yang membuat sudut hati keduanya terasa menghangat, ciuman yang dilandasi oleh perasaan cinta yang kokoh.

Namun ciuman hanya berselang tidak lebih dari 2 menit setelah terdengar teriakan dari seseorang,

“UDAHAN DULU COK, LANJUT NTAR MALEM AJA. GUE DAH LAPER MAU BERBURU ZUPPA SOUP!!”

Ya, suara seorang Kim Mingyu yang kemudian dihadiahi pukulan di lengan oleh tunangannya, Kim Sunwoo.

Setelah acara selesai, Minho mengantar Jisung ke apartemen baru mereka yang dihadiahi oleh papa Jisung, lebih tepatnya Minho dan Jisung dipaksa untuk menginap di apartemen baru saja malam ini dan tentu mereka berdua paham betul apa alasannya. Minho sendiri masih harus menemui ayahnya sehingga harus meninggalkan Jisung sendirian di apartemen mereka.

Dua jam berlalu, kini Minho sudah berada di depan pintu kamar mereka yang tertutup rapat. Tangannya meraih knop pintu kemudian membukanya. Kamar itu cukup luas dengan terdapat kasur ukuran double, sofa yang terlihat nyaman, rak yang dihiasi bermacam-macam figuran lucu. Selain itu, dekor kamar tersebut pun dihasi dengan dekorasi aesthetic dengan warna krem sebagai dasar dan pada dindingnya juga terpampang foto di hari pernikahan mereka berdua, Minho akui papa mertuanya memang sudah menyiapkan apartemen ini dengan sangat baik.

Saat masuk ke kamar, netranya menangkap Jisung yang sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Jisung terlihat menggunakan piyama berwarna hitam mengkilap yang menampakkan bagian selangka dan dadanya yang sedikit terbuka. Minho yang melihat pemandangan tersebut tentu tak mampu menahan degupan jantungnya, wajahnya memerah karena otaknya terus saja memikirkan hal yang tidak-tidak. Minho menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikiran kotornya.

“Asik banget main Hp-nya sampe ga sadar aku pulang?” Jisung menjengit kala dua buah lengan tiba-tiba melingkari dan memeluk lehernya, beruntung ponselnya tidak terlempar karena terkejut.

“Ih! Payo ngagetin tau ga?!” ucap Jisung memberi sedikit pukulan pada lengan suaminya. Minho terkekeh,

“Maaf sayang, habisnya kamu serius banget main HP-nya.” Dagunya ia tumpukkan di pundak Jisung.

“Hehe, aku lagi chattingan sama Sunwoo.” balas Jisung sambil mengusap sayang lengan milik Minho yang masih setia melingkar di lehernya, sesekali lengan itu ia kecup sayang.

“Sunwoo terus ih, masa udah nikah masih lebih milih Sunwoo daripada Payo?”

Jisung terkekeh kecil, membalikkan badannya guna menghadap sang dominan, menangkup kedua pipi Minho.

“Payo gak usah ngambek! Aku kan sayangnya cuma sama kamu, sama suami aku.”

Jisung membubuhkan kecupan kecupan ringan di seluruh wajah suaminya, di dahi, di mata, di hidung, dan terakhir di pipi.

“Kok udahan ciumnya? Yang ini engga?” tanya Minho memajukan bibirnya sok lucu.

“Dasar, itumah maunya kamu!” balas Jisung sebelum melingkarkan kedua tangannya di leher Minho,

Cup. Satu kali.

Cup. Dua kali.

Cup. Kecupan yang ketiga kali diiringi dengan lumatan halus oleh Jisung, namun bukan lumatan yang terlalu intens, hanya lumatan ringan.

Minho menjauhkan wajahnya tiba-tiba, terlihat ekspresi panik di wajahnya.

“Astaga...”

Jisung bingung, ada apa dengan Minho?

“Astaga... Aku habis dicium malaikat... Mimpi apa aku semalem...”

“IH PAYO DANGDUT BANGET, JELEK!”

“Hahahaha, bercanda suamiku, Ai sayangnya Payo.”

Minho beralih duduk di sebelah Jisung, menarik tubuh Jisung buat mendekat lagi ke arahnya. Pelan-pelan angkat tubuh Jisung agar duduk di pangkuannya.

Otomatis membuat pantat Jisung bersentuhan langsung dengan paha Minho.

Tatapan keduanya bertemu, salurkan cinta dan sayang melalui tatapan. Lalu perlahan namun pasti, Minho miringkan wajahnya, bawa bibirnya temui bibir sang pujaan. Berawal dari kecupan ringan hingga lama-kelamaan beralih menjadi lumatan, gigitan dan sesapan sedikit menuntut. Sukses membuat Jisung merengek, rasakan sengatan di dada disaat lidahnya dihisap oleh Minho. Jarinya ia bawa ke rambut belakang Minho, meremas lembut memberi kode bahwa ia menikmati ciuman itu. Beribu afeksi diberikan oleh Minho.

Minho melepaskan tautan bibir mereka, memandangi wajah suaminya yang sudah memerah dengan bibir yang sedikit terbuka. Jarinya usap bilah bawah bibir Jisung, sedangkan Jisung susah payah mengatur nafasnya yang dikuasai rakus oleh ciuman tadi.

“Cantik,”

“Indah,”

“Manis,”

“Kesayangan Payo,”

Posisi mereka masih sama, Jisung masih berada di pangkuan Minho. Kedua tangan Jisung masih setia bergelayutan di tengkuk Minho.

“Payo...” Jisung menatap mata Minho sayu.

“Apa sayang?”

“Kamu ga mau ambil hadiah kamu?”

Alis Minho menukik, hadiah? Setahunya Jisung tidak pernah menjanjijkan hadiah apapun kepadanya.

“Hadiah apa, Ai? Aku ga pernah minta hadiah deh kayanya?”

“Ish! Payo lelet! Hadiah itu loh!”

“Aku beneran ga tau sayang, hadiah apa?”

Wajah Jisung memerah, tidak mungkin kan ia menyebutkan hal itu secara gamblang?

Tentu saja Jisung malu! Tapi kalau Jisung tidak memulai duluan? Momen malam pertamanya bakalan rusak dong?

“emangkamugamaungelakuinitupasmalampertama?”

“Ai? Pelan-pelan dong sayang ngomongnya, aku ga ngerti.”

Oke, habis sudah kesabaran Jisung dibuatnya.

“Ish! Mau malam pertama ga?! Kalo ga mau, aku mau tidur aja! Minggir!”

Blush!

Pipi Minho tak kalah memerah, jantungnya berdegup semakin kencang.

Padahal ia sudah mati-matian menahan hasrat untuk tidak menerkam suaminya, namun suaminya malah dengan senang hati menawarkan hal tersebut? Dalam sekejap senyum Minho merekah, menyusul Jisung yang sudah menyelimuti dirinya dengan selimut dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Sayang... Ai... Tidur beneran ya?” tanya Minho mencolek-colek pelan lengan sang suami.

“Berisik! Aku malu payo.. Kamu tidur sofa aja malem ini, ga usah tidur sama aku..”

Minho mengigit pipi dalamnya dan menjambak rambutnya sendiri karena tidak tahan dengan kegemasan suaminya itu.

Minho tentu saja tidak menuruti perintah Jisung yang menyuruh dirinya tidur di sofa. Minho naik perlahan ke ranjang, berbaring di sebelah Jisung yang masih berselubung. Minho gugup, bagaimanapun juga ini adalah kali pertamanya.

Minho mencoba memeluk Jisung dari belakang, namun tidak ada penolakan dari sang empunya tubuh.

“Sayang, liat aku dong.. Masa aku dipunggungin sih..” rengek Minho.

Namun tidak disangka-sangka Jisung langsung membalikkan tubuhnya menghadap Minho—masih dengan keadaan berselubung.

Minho tersenyum semakin lebar, ingin beri tahu dunia bahwa ia bersyukur mempunyai pendamping hidup selucu dan segemas Han Jisung—ah, tidak, Lee Jisung.

Seolah mendapat lampu hijau, Minho mencoba membuka selimut yang melapisi badan Jisung yang kemudian menampilkan wajah Jisung yang berpura-pura tidur, terlihat dari matanya yang berkedip-kedip padahal matanya sedang terpejam.

Detik berikutnya, bibir Minho ia daratkan ke dahi Jisung.

“Ai, makasih ya udah percaya sama aku.. Makasih ya udah bersedia jadi hidup dan mati aku.. Makasih.. Makasih.. Makasih.. Payo sayang banget sama Ai..”

Mata Jisung terbuka, menangkap netra Minho yang bertemu dengan miliknya. Menelisik tiap sudut wajah Minho.

“Payo.. Cium..”

Tidak menunggu lama, turuti permintaan sang cinta. Minho mengelus pipi gembil itu terlebih dahulu sebelum akhirnya melahap bibir Jisung, melumat bibir merah muda itu dengan lihai. Sedang Jisung terdiam, menikmati ritme dan dinamika ciuman dari bilah favoritnya. Keduanya saling melumat, Minho memiringkan kepalanya dan melumat bibir Jisung semakin dalam.

“Mmhh,” Jisung mendesah kencang ketika Minho menggigit bibirnya, melesapkan lidah ke dalam sana, mengabsen setiap inci rongga beraroma segar itu.

Minho merubah posisi menjadi mengukung Jisung, curi satu kecupan lagi disana. “Boleh ya, sayang?” bisik Minho rendah tepat di atas bibir Jisung, tatapan sayu keduanya terkunci satu sama lain.

“Boleh, Payo.. Do me.. Aku punya kamu..” Jisung mengerang setelahnya, tangan Minho mulai berani jamah tubuh Jisung, menyelipkan tangan ke dalam piyama Jisung yang sedikit banyak sudah mengekspos bagian tulang selangka miliknya.

Sedangkan lidah Minho beralih menjilati perpotongan leher Jisung yang seputih susu dan sehalus sutra. Menambah sensasi menggelikan antara keduanya.

“Aku izin buka baju kamu ya, sayang.” Setelah anggukan lemah dari sang lawan main, tanpa menunggu waktu lama, piyama bagian atas milik Jisung kini sudah berada di lantai.

“Ai, sayang, cantik banget.”

Bibir dan lidahnya ia bawa menyesapi kembali seluruh perpotongan leher Jisung, tangannya beranikan menyentuh puting merah muda yang sedikit menegang, usap pelan puting Jisung sesekali dipilin dan dicubitnya gemas. Sedang bibirnya terfokus meninggalkan ruam merah tanda kepemilikan, tidak hanya satu, tidak hanya dua, tapi sebanyak yang Minho mau. Menandai sang kekasih hingga seluruh dunia tidak akan berani mengambil Jisung dari dekapannya.

Bibir Jisung terbuka, salivanya mendobrak ingin keluar, rasanya sangat nikmat. “Nngg—payo, terusin..”

Mendengar rengekan Jisung, tangannya beralih mulai beralih mengusap-usap paha Jisung yang masih terbalut celana piyamanya. Kemudian menanggalkan celana itu dengan mudah, menampakkan penis Jisung yang sudah sedikit mengeras. Jisung refleks menutup bagian selatannya dengan kedua tangannya, wajahnya bak kepiting rebus.

“Jangan ditutup, Ai. Aku buka juga, ya? Biar kamu ada temennya.” Dalam sekejap, Minho berhasil membuka seluruh pakaiannya, tidak menyisakan sehelai benang pun di tubuhnya. Membuat mata Jisung terbelalak, bingung harus menutup matanya atau bagian selatannya yang terekspos?

“Payo.. Aku malu..” ucap Jisung dengan nada sedikit bergetar.

“Ga usah malu, ya? Kamu cantik, dengan atau ga dengan baju, kamu tetep cantik. Percaya sama aku.” Minho kembali mencium bibir Jisung, mengetik bibir itu, memasukkan kembali lidahnya, mengabsen deretan gigi putih itu, lidahnya bergelut satu sama lain hingga membuat saliva keduanya tergabung. Bagian bawah mereka pun mulai memainkan peran, pinggul Minho perlahan ia turunkan, hingga kedua kejantanan mereka menyentuh.

“Boleh, Lee Jisung?” Minho menyempatkan bertanya ditengah-tengah nafsunya yang sudah hampir meledak-ledak.

“Aku punya kamu, so, do me then, Payo.”

Dengan begitu, Minho menggesekkan area selatan miliknya dan milik kekasihnya, “Gerak bareng ya sayang,” kemudian kembali membuai Jisung dalam ciuman lembut, biarkan keduanya nikmati indah satu sama lain.

“Ahhh—shhh.. Payo...” Jisung melenguh, memeluk leher Minho, entah karena malu atau rasanya terlalu memabukkan? Entahlah.

“Hhh—Ai.. Sayang..” tangan Minho menggenggam kedua penis itu, menggeseknya bersamaan. Buat kegiatan disana basah akibat cairan yang keluar dari pucuk penis masing-masing. Gesekan semakin cepat intens, Jisung menggigit bibirnya sedang Minho sibuk menenggelamkan wajahnya ke dalam leher suaminya, sesekali hadiahi kecupan dan sesapan manja.

Mendapat geli dan nikmat bersamaan, Jisung beranikan diri ikut memberikan stimulus pada Minho. Sedikit menggeliat, pinggulnya berjengit pelan lalu turut memaju mundurkan pantatnya hingga gesekan semakin terasa nikmat tak tertahankan.

“Nnng Ai.. Shhh—ahh... .. Sayang.. Enakk...”

“Payo.. Kamu jago banget—ahh.. Aku kayaknya b-bentar lagi mau keluar...”

Mendengar kalimat tersebut, genggaman tangan Minho pada penis keduanya ia buat semakin menyempit, tambah ritme gesekan hingga Jisung menggapai nikmatnya, terbukti dengan lenguhan panjang dan pelukan erat pada leher Minho, mengeluarkan putihnya yang mengotori perut keduanya.

“Payo.. Maaf, perut kamu jadi kotor kena punya aku..”

Keduanya sama sekali tidak menduga bila mereka dapat melakukan hal seperti ini dengan lihai, tak dipungkiri meskipun ini kali pertama namun keduanya pandai menghantarkan rasa nikmat kepada satu sama lain.

“Ai sayang.. Kita coba ‘itu’, ya? Aku pakai jari dulu, biar kamu terbiasa dulu.”

Jisung mengangguk lemah, kemudian angkat jari Minho menuju bibirnya.

Memasukkan dua bilah jari Minho ke dalam mulutnya, mengulum dan melumuri jari Minho dengan liurnya sebagai pengganti lube—yang tidak mereka persiapkan.

“Aku pernah coba ngintip koleksi video jorok Ryunjin, sebelum punya kamu masuk, harus dilonggarin dulu, pake jari kamu.”

Minho menurut, ikuti tangan Jisung yang membawa jarinya ke bawah sana, ucap selamat datang pada pintu sempit berkedut tersebut.

“Payo!” Jari tengah Minho kini tengah mencoba menorobos lubang Jisung, membuat Jisung berteriak dan semakin menaikan pantatnya, merasakan sakit bercampur dengan sensasi yang tak biasa.

“Rileks, sayang, peluk leher aku yang erat ya kalo sakit, atau gigit aja bibir aku. Aku bakal masukin pelan-pelan ya, Ai.” Jari Minho mulai menyapa lubang di bawah sana, sedangkan bibirnya meyesap bibir Jisung untuk kurangi rasa perih.

Jisung melenguh. Bahunya yang tadi menegang kini berangsur mengendur turun. Kemudian sedikit tersentak ketika Minho lesakkan dua jari sekaligus ke dalam lubang sempitnya. Dadanya membusur ke belakang saat jari Minho membentuk gunting guna melonggarkan lubang itu. Kemudian memaju mundurkan jarinya di dalam sana, menabrakkan jarinya berulang kali menimbulkan bunyi becek bercampur lenguhan karena Jari Minho sukses menyentuh titik manis Jisung.

“A-ahh.. Payo, udahan ya jarinya? Pake punya kamu aja ya langsung. Boleh, ya?” rengek Jisung menahan tangan Minho.

“Aku ambil kondom dulu ya di tas, kebetulan tadi si Kiming ngasih aku sekotak gede.”

“Ga usah.. Ini kali pertama kita.. Aku mau ngerasain punya kamu secara langsung.”

“I-iya, Ai. Aku izin masukin, ya?”

Minho mengarahkan miliknya yang sudah sepenuhnya mengeras, memberikan rangsangan kecil dengan menggesekkan kepala penisnya di lubang Jisung.

Minho mencoba mendorong masuk penisnya secara perlahan, berusaha selembut mungkin, tak rela menyakiti sang pujaan.

“AHH! Pelan payo.. Sakit banget.. P-punya kamu.. Besar..”

Jisung sempat mengutuk dirinya sendiri karena mengatakan hal yang sangat terdengar seperti? Memalukan?

“Tahan ya sayang? Nanti sakitnya bakalan hilang kok. Sedikit lagi, ya?”

“Iya.. Kamu pelan-pel—PAYO KAMU MAU BUNUH AKU YA?” pekik Jisung saat Minho memasukkan penisnya sekaligus menimbulkan rasa sakit yang tak terbendung. Sangat penuh di bawah sana, terasa sempit dan sesak.

Ucapannya tentang ukuran milik Minho yang besar itu benar adanya. Minho hadiahkan ciuman lembut dan meremas bokong sintal Jisung guna kurangi rasa sakit.

“Aku gerakin sekarang, sayang.” Minho mulai menggenjot lubang Jisung dengan tempo yang awalnya pelan menjadi lebih cepat, membuat tubuh si manis terhentak-hentak.

Tangan keduanya saling menggenggam, saling bertaut tak ingin lepas satu sama lain. Minho tak ingin lepaskan pandangannya yang sudah jatuh tenggelam dalam netra milik Jisung.

Kamar itu akhirnya dipenuhi oleh suara sentuhan kulit yang bergesekan, terpenuhi oleh suara desahan memuji satu sama lain. Buat Minho semakin gairah menggoyangkan pinggulnya mengaduk-aduk titik kenikmatan dalam sana.

“Masih sakit, sayang?”

“Ahh.. Enggak payo.. Udah enak—sshh... Enak banget...”

Ribuan kupu-kupu bersarang di perut keduanya. Gerakan dibawah sana tidak menghentikan keduanya untuk saling melemparkan senyum, mengucapkan kata cinta tanpa henti, beri tahu satu sama lain bahwa ‘cintaku hanya milikmu’.

Desahan keduanya bersahut-sahutan saat sang dominan mempercepat tempo gerakan pada pinggulnya dan ketika sang submisif menyempitkan lubangnya hingga penis Minho semakin terhimpit ketat.

Nyawa Minho terasa seperti ditambah ratusan tahun ketika mendengarkan sang Ai mendesahkan namanya, meracaukan dirinya yang sukses membuat Jisung semakin sayang, semakin jatuh ke dalam.

Minho hentakkan lagi, lagi dan lagi. Membawa Jisung terbuai dalam kenikmatan yang selalu Minho janjikan dan akan selalu Minho berikan.

Ciuman hangat dan lembut iringi kegiatan keduanya, bersumpah atas nama apapun, tidak akan ada sekat pada cinta keduanya. Tidak akan izinkan jeda hampiri kisah cinta keduanya.

Minho mengecup punggung tangan yang sedari tadi tak dilepaskannya, ia cium berulang kali sambil tatap wajah suaminya yang sedang terpejam, dengan mulut terbuka, tanda tak kuasa menahan rasa nikmat akibat sesi bercinta mereka yang pertama kali. Berucap satu kalimat sebelum susul sang terkasih menikmati aksi bercinta, membuat seluruh sudut ruang, langit, rembulan, bahkan satu semesta merasa iri,

“I love you, Sayang. Terima kasih sudah hadir dalam hidup aku.” Ucapnya lembut.


Report Page