ELENA

ELENA

DrevaTelegraph

By. Anggie Siagian

BAB 1


Hari ke-2 


Jumlah kata : 1003


Rencana Rahasia


“Aquí está el boleto, disfruten el viaje.” (Ini tiketnya, nikmati perjalanannya.) Perempuan berambut panjang bergelombang itu segera mengambil tiket yang diberikan oleh penjaga dan berlari kearah terminal pesawat yang akan ditujunya. Elena menggunakan hoodie berwarna hitam, topi, dan sepatu kets, ia berlari sambil menunduk untuk menutupi wajahnya.


Sedikit merasa lapar, Elena pun memutar langkahnya kearah restoran fastfood. Ia membawa koper dan tas ranselnya menuju restoran itu dan mengantre dibelakang. “Bienvenido, ¿qué te gustaría pedir?” (Selamat datang, apa yang ingin anda pesan?) Elena melihat menu sekilas, dan langsung memesan menu yang berisi burger dan kentang. “Este paquete.” (Paket yang ini saja.) Elena pun mengeluarkan selembaran uang dari dompetnya dan bergeser kearah kiri, menunggu makanan yang ia pesan. 


Elena membuka handphonenya dan mengecek waktu yang tertera. Waktu menunjukkan pukul dua pagi lebih 27 menit, yang berarti pesawatnya akan berangkat 20 menit lagi. Merasa namanya terpanggil, Elena berjalan kearah kasir dan menerima makanan tersebut. Ia kembali berjalan kearah terminal yang ia tuju dengan tetap menundukkan wajahnya.


Bunyi telefon yang berasal dari ponselnya memberhentikan langkah perempuan itu. Tertera nama “Mom.”pada bagian tengah ponsel, menandakan bahwa telefon itu berasal dari ibunya. Elena menghiraukannya dan tetap melanjutkannya. Tanpa pikir panjang, Elena menginjak ponselnya dan menggesek-gesekkan kakinya. Ia lempar ponsel itu kedalam tong sampah dan tersenyum senang.


“Dadah, Ma. Aku pergi dulu, ya.” Elena berbicara sendiri pada dirinya sambil tersenyum lebar. Sudah lama ia berencana pergi diam-diam dari rumahnya dan pergi ke negara lain seperti ini. Ibunya tak pernah memperbolehkannya keluar rumah, kecuali penjaga pribadinya mengikutinya kemanapun ia pergi.


Elena tidak melihat negara apa yang ia pilih untuk destinasinya. Ia sengaja. Ia mau rencana kabur-nya kali ini menjadi petualangan baginya. Entah negara itu akan menjadi Amerika, Singapore, ataupun yang lainnya, ia tak peduli. 


Pintu terminal terbuka, Elena masuk kedalam pesawat dan duduk di kursi sesuai dengan nomor kursi yang tertera pada tiket. Elena duduk di kursi paling ujung, pastinya di sebelah jendela. Ia menyukai pemandangan dari atas langit sambil mendengarkan lagu menggunakan earphonenya.


Seorang lelaki mengisi bangku kosong disampingnya dengan ransel hitam dan jaket coklat. Elena tidak terlalu memperhatikan lelaki itu dan menutup matanya. 


12 jam sebelumnya.

Elena menyeruput teh yang baru saja diantarkan oleh juru masak dirumahnya sambil membaca majalah model terbaru. Kemarin ia baru saja menginjak umur 18 tahun, yang berarti tahun ini ia seharusnya sudah memasuki kuliah. Ibu Elena, Ava Rochelynn, berjanji akan menyekolahkan Elena di public school dan bukan lagi homeschooling seperti yang sudah ia terapkan dari kecil.


Elena sangat bahagia hari ini. Ia belum pernah sekalipun keluar rumah untuk bersekolah ataupun ke supermarket sendiri. Asisten-asisten dirumahnya selalu mengikutinya kemanapun ia pergi, bahkan jika hanya ingin bermain di taman depan rumah.


Mengendarai mobil, jajan di warung, ataupun naik perahu saja belum pernah dirasakan gadis yang satu ini. Ava Rochelynn merupakan bangsawan Eropa yang cukup berjabatan tinggi, sehingga identitas Elena tidak pernah disebarluaskan pada dunia publik. 


Sejak kecil Elena tidak pernah mempunyai teman, sehingga ia menjadi sangat penasaran dengan dunia luar. Homeschooling menjadi kebiasaan rutin Elena setiap harinya, hanya belajar dirumah dan mengobrol dengan satu atau dua guru saja. Ia sudah menunggu kesempatannya untuk bersekolah di sekolah biasa sejak lama, sesuai janji ibunya pada umur 18 tahun ia diperbolehkan bersekolah di public school.


“Mamá, ¿puedo realmente ir a una escuela pública, verdad?” (Ma, aku benar-benar bisa pergi ke public school, kan?” tanya Elena pada sang Ibu. Ibunya hanya mengangguk tak peduli dan tetap membaca berkas-berkas dihadapannya. Elena yang menganggap itu sebagai “iya”, langsung beranjak ke kamarnya sambil tersenyum senang.


 --


Malam telah tiba, Elena sudah mempersiapkan dirinya untuk pergi ke sekolah. Ia sudah menata makeup-nya untuk besok pagi dan sudah menata rambutnya. Tiba-tiba terasa rasa haus dari tenggorokannya, ia pun beranjak dari kamar tidur untuk mengambil air.


Elena membawa segelas air dan teko dengan sedikit linglung, takut terjatuh. Tak sengaja menginjak kertas, Elena pun terpeleset dan terjatuh. “Ay, duele,” (Aduh, sakit.) batinnya. Air dari gelas dan teko tersebut pun bertumpahan disekujur karpet dan membasahi sedikit bajunya. Elena mengambil secarik kertas itu, penyebab semua kekacauan ini terjadi.


Elena membaca kertas itu dari kata pertama hingga kata terakhirnya. Ia respon terkejut dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Ibunya berbohong. Ia tidak akan bersekolah di sekolah yang ia impikan. Tertera pada kertas itu bahwa ibunya sudah membuat kontrak dengan yayasan homeschoolnya bahwa ia akan bersekolah dengan metode itu sampai ia lulus.


Kuping perempuan itu memanas dan matanya melotot murka. Ia berjalan kearah kamarnya dan memasukkan semua bajunya kedalam koper. Persetan dengan ibu dan keluarga aneh ini, aku kabur dari sini. “Al diablo con esta extraña madre y familia, me estoy escapando de aquí.” (Persetan dengan mama dan keluarga yang aneh ini, aku kabur dari sini.)

Elena berlari dan kabur dari taman belakang, membawa koper tas dan berpakaian layaknya orang biasa. Gaun besar yang tadinya selalu ia gunakan, rambut yang selalu dicepol, semua tampilan “putri” itu ia singkirkan.


12 Jam setelahnya.

Pesawat akan segera berangkat. Elena menikmati perjalanan ini sebagai petualangan sendirinya. Tanpa asisten yang menyebalkan, Mama yang tak pernah menjawab, dan satu laki-laki aneh itu, ia bebas.


Elena tetap percaya diri melakukan perjalanan ini karena ia mahir dalam berbagai bahasa. Selama homeschooling 12 tahun, ia belajar berbagai macam bahasa didunia ini. Ia juga pastinya memiliki banyak uang dan barang-barang. 1 hal yang ia takuti : Namanya masuk dalam berita.


“Apa aku ganti nama saja-” Ditengah sibuk dengan pikirannya, seorang pria berbicara kepada Elena sambil menggaruk kepalanya. “Disculpe, ¿sabe adónde se dirige este avión?” (Permisi, apakah Anda tahu pesawat ini akan mengarah kemana?) Elena hanya menengok dengan muka polosnya, dan menggeleng.


Sepertinya laki-laki itu juga bingung melihat seorang perempuan muda yang tidak tau kemana arahnya destinasi pesawat ini. Laki-laki itu tidak bertampang seperti orang Eropa. Sepertinya ia turis yang tersesat. 


Elena yang merasa sedikit kasihan padanya, memberi kantong belanjaan makanannya pada pria itu. Sebenarnya, Elena juga lapar. Entah apa yang ada dipikirannya, ia memberi makanan itu dan melupakan perut laparnya. 


Gadis berkulit sawo matang itu menatap pria itu, dan memperhatikan wajahnya. Elena tersenyum kearahnya, sambil mencabut earphone kiri dan kanannya, “No lo sé, solo disfruta el viaje.” (Entahlah, nikmati aja perjalanannya).


BAB 2


Hari ke-2


Jumlah kata : 1015


Kali Pertama


“Kejar mereka, jangan sampai lolos.” Sekitar tiga polisi pada siang hari yang sangat terik itu berlarian, mengejar sekelompok pemuda. Para pemuda itu mencoba kabur saat tertangkap mencuri pistol dari mobil polisi.


“Rafael, jangan sampai kehilangan jejak mereka. Sebastian ada disana. Jika kita mendapatkan laki-laki nakal itu, kita bisa mendapat imbalan yang sangat besar.” Perempuan panjang itu menegaskan wajahnya dan menghembuskan puntung rokok dihadapannya.


Rafael mengangguk dan menjalankan mobil dengan kecepatan penuh. Sebastian, Paris, dan Alex adalah sekumpulan orang yang berulah jahat di sekitar kota ini. Mereka merampok, mencuri, dan menipu banyak orang.


“Michelle, persiapkan dirimu. Kali ini, kita pasti mendapatkan mereka.”


--

“Bas, ini kita mau lari kearah mana? Kiri buntu, kanan arah airport, loh.” Teriak gadis berambut pirang itu sambil berlari kencang. Terdapat dua laki-laki di kanan dan kirinya, yang satu memakai kacamata, dan yang satu laginya memasang ekspresi tertawa.


“Lex, galucu ah, ketawa mulu. Gue lagi serius,” ucap Paris menjulurkan lidahnya pada pria berambut keriting itu. 


“Mana gue tau, tanya bos besar kita ini, lah!” ujar Alex dengan nada sedikit mengejek. Alex dan Sebastian seharusnya berada di kampus sekarang. Alih-alih belajar dan menyimak guru di gedung sekolah, kedua remaja ini sedang mencoba kabur dari polisi yang mengejar mereka.


Pria yang merasa dirinya disebut, menengok kerarah kiri dan melhat kedua temannya. “Gatau, terserah.” Alex dan Paris merespon perintah itu bukan dengan wajah bingung, tetapi dengan ekspresi tersenyum. Dengan kecepatan penuh, mereka berhenti di sebuah parkiran motor, dan mencuri motor-motor besar. 


“Ready? Airport, ya. Gas.” Sebastian mengambil komando dan melancarkan lajuan motor yang dinaikinya. Beberapa penduduk berteriak dibelakang alias korban yang motornya tercuri. Alex dan Paris hanya tertawa puas dan tetap melajukan motornya.


“Kei, mereka udah tau nama asli depan lu belum?” tanya Alex pada Keisha yang menghadap kearahnya.


“Belum, kali? Gatau, dah.” Keisha menurunkan kaca pada helmnya agar tidak ada orang yang melihat wajahnya. Tiga motor itu melaju kearah airport dengan kecepatan tinggi. “Ini pertigaan depan misah, ya. Sampai ketemu disana.”


--

Pesawat yang ditumpangi Elena baru saja sampai. Selama perjalanan, Elena tidak bisa tidur tenang sekali saja. Anak-anak kecil yang berada di belakangnya menendang-nendang bangku yang ia duduki, sehingga ia tak bisa duduk dengan nyaman.


Ia terbangun karena dibangunkan oleh pramugari. Saat menengok kearah kanan, lelaki yang duduk disebelahnya sudah tidak ada. “Tinggal aku yang belum turun ya?” batinnya. Ia pun berterima kasih kepada pramugari itu, dan turun dari pesawat.


Sesampainya di sana, Elena mengeluarkan passportnya. Ia terkejut. Elena lupa bahwa passport yang ia pakai masih tertera dengan nama aslinya. Saat di airport Eropa, ia tidak memakai passport fisiknya karena ia memesan secara online. Asistennya sudah men-setting hapenya sehingga ia tinggal mengklik tombol pesan.


Elena panik dan buru-buru mencari toilet terdekat. Ia berlari dan mencari satu toilet pun, tetapi tidak ketemu. “Aduh, gimana ini? Lupa banget!” Perempuan itu mulai mencoba berjalan dengan lambat untuk mengulur waktu pengantrian masuk kedalam.


Merasa ada badan yang menabrak dirinya, Elena terjatuh dan ranselnya pun ikut terjatuh juga. Entah mengapa, tiba-tiba orang yang menabraknya ikut menarik Elena dan menyeretnya kabur. Elena ikut berlari bersamanya karena orang ini berlari dan menyeretnya tiba-tiba.


“Uh, ¿qué diablos?” (Eh, apa-apaan sih?) Elena mencoba melepas genggaman pria itu tetapi cangkramannya terlalu kuat. Pria ini tetap berlari dan meloncati pagar. Elena yang terseret di belakang hanya terhuyung kesana-kemari akibat seretan pria ini.


Kehabisan ide, Elena pun menggigit tangan pria itu sehingga pria itu berhenti menyeretnya.


“Eh, sakit!,” ujar pria itu sambil mengeluarkan tangannya dari gigitan Elena. “Oh, ini di Indonesia.” Elena melihat ke sekeliling dan mempelajari tempat yang baru ia kunjungi. Gadis itu mengetahui bahwa ini adalah negara Indonesia, karena ia mengenali bahasanya. Bahasa Indonesia sering ia gunakan juga, karena ayah Elena blasteran Indonesia-Eropa.


Elena menatap pria ini bingung. Untuk apa siang bolong begini berlari-lari cepat? Tetap saja, pria ini menyelamatkannya dari razia itu. Elena merasa sedikit bersalah, dan meminta maaf.


“Makasih udah nolong aku.” Elena tersenyum padanya sambil menjulurkan tangannya. Pria itu hanya menghadap kearah juluran tangan gadis di hadapannya dan memalingkan wajahnya kearah lain.


“Eh, sombong banget, udah dibilang makasih juga!” decak Elena sedikit kesal dengan kelakuan aneh pria ini. 


“Orang luar?.” Lelaki itu menatap kearahnya dengan setengah muka, aura sombong keluar dari hadapannya. Elena yang sedikit panik, takut bahwa pria ini mengetahui bahwa ia adalah putri bangsawan, mencoba untuk tetap tenang.


“Engga, emang kulit putih aja.” Elena menundukkan kepalanya dan mencoba untuk keluar dari situasi ini. 


Elena melihat ada suatu cat putih yang tergambar pada sepatu laki-laki itu. “Se-bas-ti-an” Tulisan yang terlihat seperti di cat pada sepatu itu menarik perhatian Elena.


“Kamu suka ngecat?” tanya Elena pada Sebastian. Sontak, pria dengan tinggi 175 cm ini bingung. Sebenarnya, apa yang Elena tanya itu benar. Ia suka melukis. Hanya saja, ia bingung. Bagaimana caranya perempuan ini tahu bahwa ia suka melukis?


“Kenapa emangnya?” tanya Sebastian sedikit menaikkan nada risihnya.


“Oh, gakpapa. Itu.” Elena menunjuk kearah sepatu Sebastian.


“Lah, emang-” Percakapan Sebastian dan Elena terpotong oleh suara mobil polisi yang nyaring. Spontan, Elena dan Sebastian berlari secepat mungkin menjauhi polisi itu.


Sebastian heran melihat perempuan ini. “Lu ngapain ngikutin gua? Mereka itu ngejar gua, sana, pergi!”


Elena dengan panik mencoba untuk mendekat kearah Sebastian. “Itu mereka ngejar aku. Aku kan gapunya passport.”


Sebastian yang kaget dengan tingkah laku perempuan ini menyuruhnya berpencar. Sebastian kearah kiri, dan Elena kearah kanan. “Kita liat aja nanti siapa yang dikejar.”


Elena mengangguk dan mengambil jalur kanan. Ia terus berlari tanpa menghadap kearah belakang. Perasaan takut, panik, dan bingung bercampur secara bersamaan sehingga membuat ia merasa sangat lelah.


Dengan pelan-pelan, Elena berhenti dan menengok kearah belakang. Ia tidak melihat satu-pun mobil polisi berada dibelakangnya. 


“Wah, berarti bener dong. Mereka ngejarnya si dia, bukan aku.” Elena mengerutkan alisnya heran. Syukurlah bukan dia yang dikejar.


Elena melanjutkan jalannya mencari hotel disekitar jalan ini untuk tempat menginapnya. Sekarang ia berada di Kota Denpasar, Bali. Tempat dimana dia akan menjalankan petualangan pertamanya.


--


“Bas, lu kemana aja sih? Gue sampe deg-degan tadi ngeliat lu lari-lari gitu. Gila, lu!” Seru Alex sedikit menampar bahu sahabatnya itu. 


“Tau nih, Bas. Ngapain sih?” Paris melanjutkan ceramah Alex.


Sebastian tidak sedang mendengarkan ocehan mereka pada saat ini. Dipikirannya sekarang adalah, “Cewe yang tadi siapa, ya?”


BAB 3


Hari ke-3


Jumlah kata : 1087


Lari


Panekuk dan soto ayam menjadi menu utama hotel pada pagi hari ini. Elena mengenakan piyamanya dan turun kebawah, menuju restoran yang terdapat di lantai pertama hotel. 


“Kamar nomor berapa, kak?” Elena menyebutkan nomor kamarnya dan masuk ke ruangan restoran. Ia berencana untuk membeli handphone baru setelah makan pagi ini dan sekaligus mencari-cari universitas untuk kuliahnya.


Elena mencari tempat duduk yang kosong disekitarnya, tetapi semua bangku telah diisi. Ia pun memutuskan untuk membawa sarapannya kedalam kamarnya sekalian bersih-bersih pagi. 


“Hey, sini. Duduk bareng kita, aja,” panggil seorang perempuan dari belakang Elena. Perempuan yang merasa dirinya terpanggil pun menengok, dan mendapati dua orang yang terlihat sebaya dengannya. Elena yang merasa itu tawaran yang menguntungkan bagi dirinya pun memutarbalikkan langkahnya, dan ikut duduk bersama mereka.


Elena menaruh sarapannya di meja dan memperhatikan kedua orang ini. “Apa mereka gak risih tiba-tiba ada stranger yang ikut makan dengan mereka?” ujar Elena dalam pikirannya.


“Gakpapa, santai aja. Anggep aja kamu kenal sama kami berdua. Turis atau gimana nih?” tanya gadis berambut coklat pendek itu. Elena sedikit ragu untuk menjawabnya. Mereka tidak terlihat seperti kumpulan orang yang berniat jahat, tetapi entah kenapa ia tidak merasa nyaman.


“Ehm, iya. Baru aja datang kemarin.” Elena menjawab pertanyaan mereka dan melanjutkan santapan paginya. Terlintas dipikirannya bahwa ia bahkan belum mengetahui nama kota ini apa. Sedikit suara dari dirinya menyuruh Elena untuk bertanya pada mereka, tetapi setengahnya lagi ingin tetap diam.


“Kenalin, gue Keisha. Dia Alvin.” Keisha mengarahkan jari telunjuknya pada pria berkacamata yang duduk tepat di hadapan Elena.


Elena mengangguk dan tersenyum kepada Keisha dan Alvin. “Aku-“ Elena berhenti sejenak, sedikit bimbang untuk memberitahukan nama aslinya pada mereka. Apa membuat nama palsu saja ya?


“Aku Elle. Salam kenal.” Keisha dan Alvin mengangguk mengerti dan melanjutkan santapan mereka. Sepuluh menit pun berlalu dengan hening, tidak ada obrolan apapun.


“Maaf sebelumnya, tapi kalian tahu tidak dimana mall terdekat dari sini?” Mulut Elena yang lancar mengeluarkan huruf-huruf itu pun membuatnya sedikit kaget sendiri. Alvin buru-buru menelan nasi yang berada di mulutnya sambil tertawa kecil.


“Ada, tapi harus naik mobil. Mau kami anter?” tawar Alvin pada Elena. Elena yang tidak berpikir panjang saat itu menganggap tawaran ini adalah rezeki baginya. Ia pun mengangguk semangat dan meneguk jus mangga yang berada di hadapannnya.


“Makasih, ya.”


--


Elena turun dari mobil hitam panjang itu dan merapihkan pakaian yang dikenakannya. Ia sudah sampai di salah satu mall yang berada di kota ini. Entah mengapa hari ini Elena sangat bersemangat dan tidak sabar untuk mengenal kota ini.


“Elle, lu mau beli apa? Sini, biar kita temenin.” Keisha pun menggandeng tangan Elena dan tersenyum hangat padanya. Alvin hanya mengikuti dari belakang sambil mengambil korek api miliknya yang sudah dipersiapkan untuk menyalakan rokoknya.


“Aku mau beli hape. Hapeku rusak kemarin rusak, nih, jadi ribet kemana-mana,” jawab Elena sambil bolak-balik menengok ke kanan dan kiri. Ini pertama kalinya ia pergi ke mall sendiri, tidak ditemani dengan asistennya. Bahkan, ia bisa dibilang sangat jarang pergi ke mall.


Keisha pun membawa Elena ke salah satu toko handphone dan membiarkan gadis lugu itu memilih handphone yang ia mau. Disaat Elena sedang sibuk dengan pemilihan handphonenya, Keisha dan Alvin sedikit menyingkir dan berdiri di sudut toko.


“Kei, lu agak kasian gak sih sama dia? Apa rencana kita batal aja?” tanya Alvin pada Keisha yang sedang memperhatikan Elena.


“Gila ya, lu? Kita udah sejauh ini dan lu seenaknya mau batalin? Ogah, gue. Sana, pergi aja kalo gamau,” usir Keisha sambil menggesturkan tangannya untuk menyuruh Alvin pergi.


“Yaudah, deh. Tapi lu jangan nyesel ya, kalo nanti rencananya gagal.” Keisha mengangguk dan kembali berjalan mendekati Elena.


Elena baru saja selesai memilih handphone yang ia mau. Ia keluarkan dompet dari kantongnya, dan mengambil sebuah kartu. Elena berniat ingin membawa Keisha dan Alex untuk membeli es krim, sebagai tanda terimakasihnya pada mereka karena telah menuntunnya.


“Ayuk Vin, Kei, aku udah selesai bayar. Kita mau kemana?” Elena menengok ke samping dan mendapati kedua temannya tidak berada disana.


Elena menengok ke kanan, kiri, dan mencari keluar toko. Ia tetap tidak mendapati kedua orang itu dan memutuskan untuk pulang sendiri. Perasaan sedih dan bingung menyelimuti dirinya. Memangnya tadi aku ada salah ngomong, sampai mereka pergi saja begitu?” tanya Elena pada dirinya sendiri.


Elena berencana untuk tetap membeli es krim untuk menghibur dirinya sendiri. Ia pun berdiri di antrean sambil memegang kantong yang berisikan handphone barunya. 


“Totalnya Rp 74.000, kak.” Elena meraba kantongnya, mencari dompetnya yang ia simpan disana. Elena mencari di kantong belanja, saku celana depan dan belakang, dan di lantai mall tetapi tetap tidak menemukan dompetnya.


Ia mencoba mengingat-ingat dimana ia taruh dompetnya. “Perasaan tadi sudah aku ambil dari toko, apa ketinggalan ya?” Elena sedikit panik, karena seingatnya ia sudah membawanya.


Sampai akhirnya ia terkejut sendiri, menyadari dimana keberadaan dompetnya. Dompet yang berisikan seluruh identitasnya, uang, dan barang-barang berharga lainnya yang tersimpan disana.


Tak menyangka bahwa merekalah yang melakukan ini padanya. Terukir amarah dari wajahnya, Elena mengepalkan tangannya kesal.


“Keisha, Alvin, aku pikir kalian orang baik.”


--


“Lex, lari lebih cepet napa? Nanti kita ketahuan, cepetan, ah!” teriak Keisha yang berlari jauh didepan Alex. Alex dan Keisha berlari dengan membawa barang curin barunya. Ya, dompet Elena. 


“Sabar, tuan putri. Lu kira gue apa sampai bisa lari secepet lu?” omel Alex.


Alex menengok kebelakang dan mendapati gadis yang baru saja menjadi korbannya mengikuti dirinya dari belakang. Alex yang panik langsung berteriak pada Keisha dan menambah kecepatan berlarinya.


“Kei ada Elle dibelakang, cepetan larinya dodol!” seru Alex.


Keisha berhenti berlari dan menunggu Elena datang padanya. Alex spontan bingung, dan memberhentikan larinya juga. Elena yang melihat Keisha tiba-tiba berhenti, mempercepat larinya dan berdiri didepan Keisha.


“Mana, mana dompet ak-”


Elena terjatuh di aspal, dengan luka di pelipisnya.


--


Elena terbangun dari pikirannya dengan sayup-sayup mendengar suara laki-laki. Suara itu terdengar seperti orang yang sedang marah ataupun mengomel-omel panjang.


“Kalian ini bodoh apa gimana, sih? Dia itu temen gue, ngapain jadi korban curian kalian? Kebiasaan, suka ngasal.” 


Suara itu mengisi ruangan kecil ini dan membuat Elena terbangun dari tidurnya. 


Tangan Elena terikat dengan tali dan ia terduduk diikat pada kursi kayu. Elena yang masih dalam keadaan setengah sadar menggerakkan tangannya, agar bisa melepaskan kaitan tali yang cukup kencang itu. 


Pria berambut berantakan dengan kemeja putih berjalan kearah Elena dan berdiri dihadapannya. Elena ingin mengatakan sesuatu, tetapi mulutnya ditutupi dengan solatip. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggoyangkan bangku yang terikat paksa pada dirinya.


Elena menatap pria itu, sedikit terkejut kecil.


Pria itu membuka tali yang terikat pada Elena, dan membuka solatip yang tertempel pada mulut gadis ini. Elena mengambil napas yang dalam, terengah-engah karena disekap untuk waktu yang sepertinya cukup lama.


“Eh, kamu? Ngapain disini, disekap juga?”


BAB 4


Hari ke-4


Jumlah kata : 875


Papan Selancar


Sebastian menoleh kearah suara perempuan itu dengan ekspresi bingung. 


“Hah?” 


Elena berjalan kearah Sebastian sambil memperhatikan lelaki itu dari atas ke bawah. Alex dan Keisha pun ditinggalkan dengan rasa penasaran juga dengan bagaimana mereka bisa mengenal satu sama lain. 


“Bas, dia siapa, sih? Tumben gak bilang-bilang kalo punya temen.” 


Alex menyahut diikuti dengan Keisha yang mengangguk-angguk.


“Kamu, kok, kenal sama mereka?”


Elena menyilangkan kedua tangannya dan bersender pada dinding berawarna krem itu. Sebastian tampak tidak habis pikir dengan perempuan ini. Dia yang diculik, tetapi dia juga yang menginterogasi.


“Emangnya kenapa?” 


“Mereka orang jahat, udah, sini. Jauh-jauh dari mereka.”


Elena menarik tangan Sebastian kearahnya, melindunginya dari Alex dan Keisha. Sepengetahuan Elena, Alex dan Keisha adalah orang yang baru saja mencuri dompet miliknya dan bukanlah orang yang pantas dijadikan teman.


Keisha melangkahkan kakinya kepada Elena, sambil memegang dompet milik perempuan itu. Ia menyodorkan dompet Elena dan memalingkan wajahnya. 


“Mereka temen gua,” ujar Sebastian berdiri di belakang Elena.


“Maaf, ya, El. Kita gatau kalau lu temennya si Bas,” ucap Alex meminta maaf pada Elena.


Elena merupakan orang yang tidak berpikir panjang, jadi, dengan senang hati ia memaafkan Keisha dan Alex. Ia hanya mengingatkan kedua orang itu untuk tidak mengulang perbuatan mereka lagi.


Sebastian berjalan kearah Keisha dan berbisik padanya. Keisha mengangguk dan melepaskan ikatan rambutnya.


“Yaudah, El. Sebagai permintaan maaf kita, lu mau jalan-jalan gak? Kita yang bayarin,” tawar Keisha pada Elena.

Elena tersenyum dan memegang tangan Keisha.


“Mau!”


--


“Kita kan mau jalan-jalan, kok malah jadi kayak gini, sih?” 


Elena berlari dengan napasnya yang sudah ngos-ngosan, sambil menjaga tas yang dibawanya agar tidak terjatuh dari genggamannya.


“Ya, lu, sih. Banyak mau,” jawab Sebastian pelan.


Elena, Sebastian, dan Keisha, dan Alex. sedang berlari kencang menghindari kejaran sekumpulan polisi dari belakang.


“Kita mencar aja udah!” teriak Keisha.


Mereka berempat pun berpencar. Keisha dan Alex tetap pada jalur tengah, sedangkan Elena dan Sebastian berlari kearah kiri.


“Apes banget gue mencarnya sama ini cewe,” batin Sebastian.


Setelah berlari beberapa lama, terdapat dua polisi yang masih mengikuti mereka. Sebastian dengan cepat menarik kay kedekat tong sampah, dan menutup mulutnya agar tidak berteriak.


Sebastian mengintip kebelakang, melihat apakah para polisiitu masih mengikutinya atau tidak. 


Disisi lain, Elena yang posisinya seperti berada di dekapan Sebastian pun menjadi gugup. Ia ingin bergerak keluar, tetapi Sebastian menahannya.


Sebastian melihat situasi dan menghela napas lega. Polisi-polisi itu tidak mengikutinya lagi. Ia pun menengok ke bawah dan tersadar akan posisinya sekarang dengan Elena. Buru-buru ia melepaskan tangannya dari mulut Elena dan mengusirnya untuk berjarak darinya lebih jauh.


“Eh, apa-apaansi deket-deket.” 


Elena melihat Sebastian bingung, tak terpikir olehnya ada lelaki sebodoh ini.


“Jelas-jelas kamu tadi yang duluan peluk aku, gakjelas,” balas Elena cuek.


“Elu yang duluan sembunyi ke gua,” sindir Sebastian tetap tahan dengan pendapatnya.


Sebastian meninggalkan perempuan itu dan berjalan keluar dari gang sempit yang menjadi tempat berlindungnya tadi. Elena yang merasa tidak didengar dengan ocehannya, berjalan mengikuti Sebastian dan berdiri di sampingnya.


Mereka berjalan keluar dari gang, dan menemukan pantai besar dihadapannya. Elena dengan terkejut langsung berlari kearah pantai, dan bermain pasir ditepinya.


Sebastian melihat perempuan itu dan menggeleng-gelengkan kepalanya. 


“Kayak anak kecil,” batinnya.


Laki-laki dengan tinggi 175 cm itu menyusuri pantai dan berjalan kearah tempat sewa papan surfing. Sebastian tidak suka hanya duduk-duduk saja di pantai. Biasanya, ia akan menyewa papan surfing dan menghabiskan waktunya ber-surfing dengan Alex.


Dia memang tidak semahir Alex dalam hal surfing, tetapi bukan berarti ia amatir juga.


“Bang, papannya satu. Dua jam aja,” ujar Sebastian.


“Papannya satu lagi, bang.” 


Suara laki-laki dengan nada berat berbicara di belakang Sebastian. 


“Oh, elu Lex.”


Alex tertawa keras dan memukul bahu Sebastian pelan. Ia sudah berencana akan mengagetkan Sebastian dari belakang, tetapi sedikit takut untuk melakukannya. Ia takut membangunkan amarah Sebastian, sebab pria yang satu ini tidak suka dibuat kaget.


“Bas, cewe lu mana?” tanya Alex mencari keberadaan Elena.


Seingatnya, ia tadi melihat Elena dan Sebastian berjalan kearah sini.


Sebastian menaikkan bahunya menandakan seakan ia tidak tahu dan tidak peduli terhadap keberadaan Elena sekarang. 


Sejujurnya, Sebastian sangat penasaran dengan perempuan itu.


Sebab, gadis itu hanya muncul secara tiba-tiba. Ia tak pernah melihatnya sekali pun, padahal ia sudah banyak mengunjungi negara di dunia ini. Alex, Keisha, dan Sebastian adalah pencuri dengan nama yang cukup terkenal di kalangan polisi.


Mereka sudah melakukan aksinya dibanyak negara, dan belum pernah sekali pun tertangkap. 


“Eh, itu dia. Oi, Elle! Sini, ikut, gue ajarin cara selancar!” teriak Alex.


Elena yang merasa namanya terpanggil, menoleh kearah panggilan itu dan mendapati Alex yang sedak berteriak kearahnya. Elena mengangguk dan berlari menuju Alex dan Sebastian.


“Lex, ngapain ngajak dia? Nanti, dia jadi beban. Udah, tinggalin aja,” bisik Sebastian pada Alex.


Alex yang merasa tidak enak pada Elena pun hanya diam, tidak merespon kata-kata sahabatnya.


“Ayo!” ujar Elena semangat.


Alex pun berlari ke air bersama Elena sambil tertawa senang. Alex mengajari Elena bagaimana cara berselancar. Pria disudut lain yang melihat mereka bersenang-senang bersama, merasa dirinya panas sendiri.


Ia pun melancarkan papan seluncurnya dan berdiri diatasnya. 


Elena melihat dari kejauhan bahwa Sebastian sudah berselancar. Merasa tadi dirinya sudah diejek tadi, ia ingin menyusul laki-laki itu.


“Alvin, ayo susul dia. Jangan mau kalah dari dia,” ajak Elena pada Alex.


“Eh, lupa kasitau Elle. Nama gue Alex, bukan Alvin.”


Elena yang terlalu bersemangat untuk mengalahkan Sebastian pun langsung membawa papan selancarnya dan mencari arus ombak untuk mengikuti Sebastian.


“Eh, Elle jangan kearah situ, bahaya!”

Report Page