Demon Slayer.

Demon Slayer.


Aku mengangkat pedangku tinggi-tinggi tanpa berhenti berlari mengejar makhluk yang mencoba menghindar.

"Berhenti mengayunkan pedangmu, Hailovi. Berikan aku adik kesayanganmu maka kamu akan pulang dengan selamat."

Aku menggeleng kuat dan terus mengikis jaring-jaring yang terus ia keluarkan untuk membunuhku.

Benar, jaring itu tajam melebihi goresan pedang. Aku harus menghindarinya. Seketika, aku merasa ada angin yang berhembus dan dalam satu kedipan mata aku terbang menjauhi iblis itu. Air mataku terus jatuh. Aku melihat kepala iblis itu sudah terpisah dengan pedangnya.

Aku mencium bau asing, bau yang sangat maskulin memeluk tubuhku. Benar, bau sosok yang tadi menggendongku.

"Kekuatanmu belum maksimal. Jangan memaksakan tubuh kecilmu melawan iblis satu bulan."

"..."

Aku mengabaikan kalimatnya dan menoleh ke arah adikku yang sudah tertidur berlumuran darah. Beruntung ia adalah iblis sehingga dapat menyembuhkan tubuhnya sendiri.

"H-Haku... Haku bangun!"

Tak lama, satu orang datang dengan sayapnya, ia menyuntikkan sesuatu pada tubuh Haku.

"Hahaha, Hailovi, tidak perlu cemas, aku juga bagian dari korps pembasmi iblis! Bolehkah aku membawa tuan manis ini ke markas-ku?"

Aku hanya mengangguk kecil. Wanita itu terlihat baik dan manis. Toh pria yang menyelamatkanku hanya diam.

Aku membiarkan Haku dibawa oleh wanita itu terbang. Hingga aku tersadar dan menghampiri iblis yang akan melebur. Dengan sekuat tenaga yang aku punya, aku menghampirinya, berlutut di depannya dan menatap mata iblis pemuda itu yang berkaca-kaca.

"Aku hanya iri. Iri terhadap ikatan yang kalian punya. Hingga di masa terakhirmu, masih ada orang yang ingin menyelamatkanmu. Aku rindu-"

Aku mencium bau kesedihan yang sangat kuat, ia hanya merindukan keluarganya. Keluarganya yang mati dibunuh iblis. Aku menunduk dan menumpahkan kesedihanku pada kimono yang ia pakai.

"Berhenti merasa kasihan pada iblis-"

"Mereka juga dulunya manusia!"

"Berhenti. Kamu akan kehabisan darah jika terus membiarkan lukamu terbuka seperti itu."

"Nama mu?"

"Hailovi Kamado."

"Aku-"

"Melviano Tomioka."

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Aku melihat daftar murid Tuan Sakonji."

Kami berdua tengah duduk di atap menatap tenggelamnya matahari sembari meminum teh buatan Nyonya Kocho.

"Melviano-san. Terima kasih."

"Untuk apa....

Report Page