Indonesia, Jangan Lagi Santai dalam Menghadapi Virus Korona

Indonesia, Jangan Lagi Santai dalam Menghadapi Virus Korona

Ahmad Arif

Setelah dua bulan menyangkal kemungkinan masuknya Covid-19, Indonesia kini tak boleh lagi bersantai karena epidemi sudah di depan mata. Kegagalan mengatasi wabah virus korona bakal membahayakan keselamatan bangsa.

Rumah sakit di China yang Februari lalu disesaki pasien Covid-19 kini mulai kosong seiring banyak pasien sembuh dan kasus baru berkurang. Namun, wabah virus korona kini membesar di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. 

Hingga Rabu (11/3/2020) pagi, Coronavirus Disease (Covid-19) menginfeksi 80.761 orang di seluruh China, 4.794 orang di antaranya dalam kondisi kritis. Jumlah korban meninggal mencapai 3.136 jiwa, sedangkan yang sembuh 60.124 orang.

Kajian bersama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pemerintah China yang dipublikasikan pada 28 Februari 2020 mencatat tanda-tanda keberhasilan negeri itu mengatasi wabah itu. Pada 10 Februari, di awal survei misi gabungan, masih ada 2.478 kasus baru per hari. Dua pekan turun menjadi 409 kasus baru per hari dan pada Rabu ini tinggal 7 kasus baru.

Kunci untuk meredam wabah ini adalah penahanan penyebaran Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2), penyebab penyakit Covid-19, secara masif. Tindakan paling dramatis adalah penutupan kota Wuhan dan kota-kota terdekat di Provinsi Hubei sejak 23 Januari. Sedikitnya 50 juta orang dikarantina. Kegiatan yang mempertemukan banyak orang dihentikan. Selain sikap agresif pemerintah, penduduknya juga melakukan karantina mandiri.

Petugas kesehatan mengambil sampel dari seorang anak perempuan di sebuah perumahan di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, untuk diperiksa apakah positif Covid-19 atau tidak, Kamis (5/3/2020).

China juga serius melacak riwayat kontak pasien. Di Wuhan, lebih dari 1.800 tim, terdiri dari lima orang atau lebih, melacak puluhan ribu kontak. Dua aplikasi telepon seluler terpopuler di China, AliPay dan WeChat, digunakan untuk melacak pergerakan dan bahkan mencegat orang yang terinfeksi untuk tidak bepergian.

”Setiap orang memiliki semacam sistem lampu lalu lintas,” kata anggota misi gabungan WHO-China, Gabriel Leung, seperti ditulis Sciencemag, Senin (2/3/2020). Kode warna pada ponsel, yaitu hijau, kuning, atau merah, ini menunjukkan status kesehatan seseorang, yang menentukan apakah dia bisa melewati penjaga di stasiun kereta api dan pos pemeriksaan lain.

”Sebagai konsekuensi, aktivitas publik sangat berkurang,” catatan laporan itu. Tetapi langkah itu berhasil. Pada akhirnya, orang yang terinfeksi jarang menyebarkan virus, kecuali anggota rumah tangga mereka sendiri sehingga lebih mudah ditangani. ”Begitulah cara epidemi terkendali,” kata Leung.

Sementara untuk perawatan pasien, otoritas China membangun dua rumah sakit khusus di Wuhan hanya dalam waktu sepekan. Petugas kesehatan dari seluruh negeri dikirim ke pusat wabah untuk menangani segera pasien. Tingkat kematian rata-rata akibat Covid-19 di Wuhan yang pernah mencapai 14 persen di awal wabah turun menjadi 5,8 persen.

Sekalipun menelan banyak korban jiwa dan kerugian ekonomi, tetapi upaya masif telah menghindarkan China dari kerugian lebih besar.

Masalahnya, virus ini telanjur menyebar ke luar China dan menginfeksi 115 negara. Apakah dunia, termasuk Indonesia, dapat mengambil pelajaran dari China?Vietnam dianggap cukup berhasil mengendalikan wabah ini, setidaknya hingga kini. Sekalipun berbatasan dengan China dan melaporkan kasus pertama pada 23 Januari, tetapi jumlah kasus hingga kini baru 31 kasus.

Personel militer menyemprotkan disinfektan di jalan di kota Hanoi, Vietnam, untuk mencegah penyebaran wabah Covid-19, Sabtu (7/3/2020).

Itu pun separuhnya terjadi setelah kedatangan sepasang pelancong Inggris yang menularkan ke penumpang pesawat pada pekan ini. Hingga akhir Februari, jumlah kasus di Vietnam baru 16 orang dan semuanya sembuh. Tak ada korban jiwa.

Kidong Park, perwakilan WHO di Vietnam dalam keterangan pers, menyebut, keberhasilan Vietnam karena pemerintah proaktif dan tegas. Vietnam mendeklarasikan epidemi korona pada 1 Februari ketika jumlah kasus di negara itu menjadi enam. Pada 13 Februari, mereka mengarantina 10.600 penduduk kota Son Loi dan menelusuri riwayat kontak secara masif.

Contoh lain, Singapura, yang melaporkan kasus pertama 23 Januari. Sekalipun awalnya memicu kepanikan, dengan penapisan dan penelusuran riwayat kontak, komunikasi ke publik yang jelas, negeri ini sukses meredam wabah. Hingga kini terdapat 160 kasus, 93 orang sembuh dan belum ada korban jiwa.

Data di laman resmi Pemerintah Singapura menunjukkan, beberapa kasus baru adalah orang yang sebelumnya di Indonesia, baik warga mereka sendiri maupun warga Indonesia, misalnya nomor 152 dan 153. Dua orang dari Indonesia ini disebut memiliki gejala Covid-19 sebelumnya, bahkan satu di antaranya pernah dirawat di rumah sakit di Jakarta.

Contoh sebaliknya terjadi di Iran, Amerika Serikat, hingga Italia, yang menghadapi lonjakan tiba-tiba wabah virus korona. Pada 21 Februari, Italia baru melaporkan 20 kasus, seperti jumlah kasus di Indonesia sekarang.

Namun, pada 11 Maret, kasus di Italia menjadi 10.149 kasus dengan tambahan 977 kasus baru dalam sehari dan 631 orang meninggal. Ini merupakan yang terbanyak di luar China. Situasi ini membuat Italia kini mengarantina seluruh negeri.

Iran memiliki 8.042 kasus dengan penambahan baru 881 dalam sehari dan korban meninggal 291 orang. Amerika Serikat mendeteksi 886 kasus positif dengan kasus baru 182 dalam sehari dengan korban meninggal 2 orang.

Tantangan di Indonesia

Hampir semua negara yang kini mengalami lonjakan kasus Covid-19 cenderung terlambat mengantisipasi sirkulasi virus secara domestik. Bahkan, dalam kasus Amerika Serikat, menurut ahli epidemologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, hal itu karena penyangkalan risiko oleh Presiden Donald Trump. Padahal, mereka seharusnya mampu jika kesiapsiagaan diintensifkan sejak awal.

”Penyangkalan oleh otoritas di Indonesia mirip dengan Presiden Trump, yang awalnya juga menyerukan banyak berdoa,” kata Pandu, yang pernah menjadi anggota Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza pada 2006.

Laporan ahli epidemiologi dari Harvard TH Chan School of Public Health di medRxiv pada 5 Februari 2020 mengingatkan, Indonesia seharusnya sudah melaporkan adanya kasus positif korona bersamaan dengan negara tetangga yang memiliki penerbangan langsung yang intensif dengan Wuhan. Tiadanya kasus di Indonesia pada saat itu dianggap karena adanya masalah dalam penapisan.

”Pemerintah seharusnya lebih cepat mengoreksi diri,” kata Ahmad Utomo, peneliti utama di Stemcell and Cancer Institute, Jakarta. Prosedur penapisan dan pelaporannya harus transparan seperti dilakukan Singapura dengan menerbitkannya di Journal American Medical Association awal Maret 2020. ”Ini penting untuk membangun kepercayaan publik di dalam dan di luar negeri bahwa kita mampu melakukannya,” katanya.

Informasi yang diperoleh Kompas, Indonesia baru menggunakan enam lapis penapisan korona, yaitu protokol China, Jerman, Hong Kong, Jepang, Thailand, dan Amerika Serikat sekitar awal Maret 2020. Sebelumnya, Indonesia memakai protokol CDC-AS, yang bermasalah pada reagen kit.

Perubahan ini kemungkinan mempengaruhi hasil dengan ditemukannya kasus positif korona nomor 01 dan 02 di Indonesia, yang kemudian diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. ”Lalu bagaimana dengan orang-orang yang telah dinyatakan negatif sebelumnya?” kata Ahmad.

Keterlambatan penapisan ini dikhawatirkan menyebabkan virus ini telah bersirkulasi secara domestik di Indonesia tanpa diketahui. Salah satu tandanya banyak laporan kasus orang terdeteksi korona sepulang dari Indonesia. Indonesia pun harus melakukan penapisan lebih progresif. Sejauh ini Kementerian Kesehatan baru memeriksa 694 orang yang diduga terinfeksi korona. ”Jumlah ini sangat kecil,” kata Ahmad.

Sebagai perbandingan, di Korea Selatan, tes korona telah dilakukan terhadap 109.591 orang. Dari jumlah itu, ditemukan 7.382 orang yang positif. Demikian juga Singapura dan negara lain telah bergerak sangat serius dalam penapisan.

Warga tetap berolahraga pada hari bebas kendaraan bermotor atau car free day di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (8/3/2020), di tengah wabah Covid-19 yang melanda dunia.

Herawati Supolo Sudoyo, Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengatakan, selain mencegah meluasnya sebaran virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19, penapisan juga mencegah keterlambatan penanganan pasien. Ini karena virus ini berbeda dengan influenza yang bisa sembuh dengan sendirinya. Pasien Covid-19 perlu ditangani sejak awal infeksi agar tidak mengalami titik kritis, yaitu saat virus korona baru ini mencapai paru-paru.

Direktur Departemen Penyakit Menular di Peking University First Hospital Wang Guiqiang, seperti dikutip kantor berita China, Xinhua, juga mengatakan, ”Ada kesalahpahaman bahwa Covid-19 adalah penyakit yang sembuh sendiri sehingga tidak memerlukan pengobatan. Ini jelas keliru.”

Indonesia telah kehilangan waktu karena selama Januari hingga Februari melonggarkan kesiapsiagaan dengan berbagai narasi keliru, seperti contoh orang Indonesia akan aman karena doa, kebal, hingga meremehkan tingkat kematian wabah ini. Ketika negara lain menutupi pintu masuk, pemerintah justru promosi wisata. Kini, saatnya Indonesia mengatasi ketertinggalan itu. Bangsa ini tak bisa lagi bersantai...

Report Page