AYA

AYA

yunimatul

08 


Pejuang deadline 😁


Naskah ini dipublikasikan guna mengikuti tantangan 300 hari menulis oleh @300days_challenge


Karya saya tidak bagus-bagus sangat (pikir saya), tapi saya harap panjengengan (dengan saya sebagai saksi) adalah sebagus-bagusnya seseorang yang bisa menghargai jerih payah karya orang lain..


"Hari ini aku bermimpi, aku bermimpi... bersama, kita akan menghasilkan suatu karya. Bersama, kita akan berkolaborasi, merangkai diksi, menciptakan puisi, yang begitu merasuk dalam sanubari. Bersama, kita akan lewati malam dengan angan yang bersemayam, dengan impian yang penuh dengan harapan. Bersama, kita akan tidur berselimutkan sajak, beralaskan kata-kata bijak. Bersama, kita akan bahagia, jika karya kita dipuja. Bersama, kita akan memperbaikinya, jika karya kita dihina. Dan bersama, kita akan menggapai bintang Ats-Tsuroyya."


Word : 2200+

Mari bantu saya temukan typo ✍️



Sore ini setelah materi bimbel, ada pertandingan bola voli di lapangan bola voli STAI Hidayatur Rochman. Pertandingan ini diselenggarakan oleh panitia bimbel Santriversitas. Anak putra SOSHUM melawan anak putra SAINTEK, dan anak putri hanya sebagai supporter.


Aku di sini bingung, sebenarnya mana yang harus ku dukung? Temanku SOSHUM atau Mas Zahran dan Kang Arul yang berada di kelas SAINTEK. Akhirnya aku duduk diam saja di sisi kanan lapangan tempat pertandingan berlangsung. Memegang secarik kertas puisi yang akan ku persembahkan untuk seseorang.


Aku celingak-celinguk mencarinya, namun ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya yang mancung. Padahal biasanya aku selalu sadar jika ia berada di sekitarku, di bawah jangkauan mataku. Bahkan saat ia lewat di depan kelas bimbelku pun, aku bisa merasakannya, dan mataku tak bisa berkedip ataupun berpaling ketika melihatnya.


Dia tidak ada di sini. Bahkan ketika pertandingan dimulai pun, ia tidak ada. Padahal Mas Zahran sudah di lapangan, bukankah mereka selalu bersama? 'Kang, sampeyan dimana?'


Lalu tiba-tiba saja saja ku lihat Kang Arul berlari tergopoh-gopoh. Ekspresi wajahnya sangat serius dan panik. Ia menginterupsi permainan, dan dengan tergesa-gesa menyeret Mas Zahran keluar dari lapangan pertandingan. Hal itu membuat Mas Zahran terkejut hingga kehilangan keseimbangan dalam memukul bola, dan bola itu mendarat tepat mengenai kepala Mbak Zahira, membuat Mbak Zahira pingsan. 


Semuanya berteriak histeris. Semua santri putri berusaha menolong Mbak Zahira, tapi aku sendiri tengah linglung karena memperhatikan gerak-gerik Kang Arul dan Mas Zahran dari kejauhan. Mas Zahran terlihat marah, tapi ketika Kang Arul membisikkan sesuatu kepadanya, matanya membulat, ekspresi di wajah Mas Zahran berubah menjadi panik.


Kemudian Mas Zahran meminta temannya untuk menggantikan dirinya di lapangan pertandingan, sesekali melirik ke arah sini, mungkin ia ingin memastikan kondisi Mbak Zahira, tapi Kang Arul dan Mas Zahran tak kunjung kemari, mereka malah bergegas pergi. Aku berdiri dengan gusar, menolong Mbak Zahira untuk membawanya ke UKS dengan rasa panik. Apa yang sebenarnya terjadi? Firasatku berkata ini bukan hal yang baik.


>>>


Ketika shalat maghrib di masjid Hidayatur Rochman kepanikanku semakin menjadi-jadi ketika mengetahui bukan Abi yang menjadi imam, melainkan Pak Hamis, ustad di kampung halamanku.


Dengan perasaan kalut aku berlari ke rumah ndalem, mencari keberadaan Ummi, Abi, Mas Zahran, dan Kang Arul. Tapi ndalem kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan seseorang di sini. Bahkan semua lampu ruangan pun belum menyala.


Aku mencari hapeku yang dikumpulkan di ruang baca Abi. Setelah ketemu aku menelpon Ummi. Ummi berkata Abi gerah, beliau pingsan hingga harus dilarikan ke rumah sakit. 


Setelah mengetahui rumah sakit dan nama ruangan Abi, aku menutup telvon. Aku bergegas pergi ke rumah sakit menggunakan kendaraan umum roda tiga, tossa. Karena aku memang tidak bisa mengendarai sepeda motor.


Sesampainya di depan ruangan Abi, aku bertemu Mas Zahran yang baru saja menutup pintu kamar inap Abi.


"Pripun, Mas? Kondisinya Abi bagaimana?" tanyaku tergesa-gesa.


"Hamdan Lillah. Abi cuma kecapekan," ucapnya lalu hendak bergegas pergi.


Aku menghadang jalannya dan bertanya hendak kemana dia. Dan dia menjawab hendak shalat maghrib. Lalu aku bertanya apakah Kang Arul di dalam, dan ia menjawab iya.


"Mas, boleh saya minta tolong?"


"Apalagi tho, Nis? Saya mau sholat maghrib itu loh. Waktunya sudah mepet banget," ucapnya mulai kesal karena sedari tadi saya terus memblokir jalannya.


"Tolong ... Mas jangan bilang ke Kang Arul kalau saya ini putrinya Abi, nggih!" titahku padanya.


"Memangnya saya pernah menceritakan siapa putrinya Abi ke orang lain? Ndak, kan?"


"Ya ... sampeyan kan dekat sekali dengan Kang Arul. Saya kan jadi was-was," kataku. Aku memang selalu melarang orang-orang yang tahu statusku untuk tidak menceritakannya kepada siapapun. Selama ini, yang hanya orang-orang ketahui adalah Abi punya seorang putri, dia berada di lingkungan Hidayatur Rochman, tapi orang-orang tidak paham yang mana putri Abi itu, karena aku juga jarang keluar dan menyembunyikan statusku itu.


Aku sangat takut, jika Kang Arul mengetahui statusku sebagai putrinya Abi, aku takut ia akan menghormatiku bahkan menjauhiku, padahal aku ingin ia berbaur biasa. Aku takut ia akan menganggapku hanya mengandalkan status untuk memperoleh apapun yang ku mau. Tidak, aku tidak ingin ia berpikiran seperti itu. Aku ingin ia berpikir aku bisa karena kemampuanku sendiri, karena usahaku sendiri.


Seseorang tiba-tiba saja membuka pintu kamar inap Abi. Jantungku nyaris jatuh dari tempatnya mengetahui siapa yang membuka pintu. Dia adalah Kang Arul. Ku harap ia tidak mendengar pembicaraanku dengan Mas Zahran.


Ekspresinya biasa saja. Berarti benar, ia tidak mendengar apapun. Dia mengajak Mas Zahran untuk bergegas ke masjid rumah sakit untuk shalat maghrib, dan ia pun mempersilahkanku untuk masuk. 


>>>


Ketika Abi istirahat aku memutuskan untuk duduk di ruang tunggu luar. Termenung di sana, memutar-mutar kertas puisi karyaku, yang sedari tadi belum juga sempat ku berikan pada Kang Arul. Aku memikirkan kesehatan Abi, aku bersyukur Abi baik-baik saja. Tapi aku juga sedih, di saat Abi sakit seperti ini, meski di sembunyikan pun, para santri selalu merasa resah tanpa kehadiran Abi. Karena belum ada yang mampu menggantikan beliau.


Dalam renungan yang panjang, tiba-tiba ada seseorang yang memberiku secarik kertas. Aku menengadah, mulutku nyaris menganga lebar mengetahui siapa yang berada di hadapanku kini. 


Sesosok pria berkemeja coklat kotak-kotak, dengan sarung berwarna kuning oranye kotak-kotak. Wajah itu tersenyum, aku masih bisa melihat sejuknya air wudhu yang membasahi binar matanya. Rambut depannya lebih rapi usai shalat, tidak seperti biasanya yang berponi dan berantakan. Kali ini, rambut bagian depan itu tertutup peci hitam dengan rapat, hingga jidatnya yang lebar semakin terlihat lebar.


"Apa ini, Kang?" tanyaku sembari mengambil alih kertas di tangannya dengan tangan kananku, dan kertasku sendiri ku genggam dengan tangan kiriku.


"Dibikak mawon! Itu sudah jadi haknya sampeyan, kok," jawabnya. Lalu ia duduk di sebelahku, membatasi jarak kami dengan menyisakan satu kursi kosong.


Segera saja ku buka kertas pemberiannya. Sebuah puisi ternyata, tentu saja dia yang membuatnya.


Apa sendumu itu terlalu meracuni kalbu?

Hingga kau bisu

Tak bisa katakan sesuatu


Apa sedihmu itu terlalu mengusik sanubari?

Hingga kau berdiam diri

Tak menguntai diksi dalam puisi


Apa pilumu itu terlalu menghujam jiwa?

Hingga kau diam seribu Bahasa

Tak goreskan kata dengan tinta


Lantas apa yang harus ku lakukan?

Agar kau kembali temui keceriaan

Lalu apa yang harus ku perbuat?

Agar binar matamu kembali menghangat


Tersenyumlah senjaku

Bahagialah nirmalaku

Karena aku adalah seseorang yang paling tidak mampu

Melihatmu dirundung duka selalu


Aku tersenyum, puisinya selalu bisa meranggas ke dalam lubuk hatiku. Membuatku ingin dielus setiap inci huruf yang ia pahat dengan syahdu. Tapi menurutku, ia terlalu tergesa-gesa berkata senjaku dan nirmalaku, dan itu tidak baik. Apa sebaiknya aku harus memperingatkannya?


"Dua kosong ya berarti?" ucapnya membuyarkan kebimbanganku.


"Nopone, Kang?" heranku lantas dengan cepat ku tolehkan kepalaku padanya.


"Loh ya nggih, tho. Saya sudah membuat dua puisi, sedangkan sampeyan belum sama sekali."


"Eh ... ndak, tho. Dua satu. Ini saya sudah membuatnya, kok!" elakku sembari ku berikan kertas yang sedari tadi sudah ku persiapkan untuknya.


Ia menerimanya dengan tersenyum, tapi ketika ia membuka dan membacanya, senyum itu perlahan hilang. Hatiku jadi was-was, gelisah. 'Kenapa, Kang? Apa karyaku sepayah itu?'


Ia masih terus membacanya, dengan tangan kanannya yang mengurut batang hidungnya yang mancung. 'Mengapa, Kang? Apa puisiku begitu memusingkanmu? Mengapa kau membacanya lama sekali?' Hatiku bergemericik, ia tak tenang. Ada rasa malu dan pilu di kedalaman sana.


"Boleh saya minta tolong?" tanyanya tiba-tiba. Keningnya mengernyit, ia tampak seperti orang linglung. 


"Kengeng nopo, Kang? Karya saya jelek, ya?"


Eh dia tersenyum dan menggelengkan kepala, "Ndak ... bagus, kok." 


Itu pasti sebuah kebohongan. Kalau bagus mengapa ekspresi ketika membacanya seperti itu.


"Cuma ... puisi ini membuat saya minder," katanya dengan menatap ku sangat dalam. Ada jeda di sana.


"Puisi sampeyan membuat saya ingat jika saya harus banyak belajar. Sampeyan kan tahu saya santri anyaran. Saya kurang tahu kosakata Bahasa Arab. Sedangkan di puisi sampeyan ini ada beberapa kosakata yang ndak saya mengerti, makanya membuat saya pusing. Ini contohnya saja mar'ah, jamila, qana'ah, apa itu artinya? Saya kan belum tahu," protesnya panjang lebar tapi mimik wajahnya yang memelas membuatku ingin tertawa. Ini membuatku teringat dengan kejadian ketika aku mengucapkan kata afwan di hadapannya waktu itu.


"Wis, saiki ... tanggung jawab sampeyan adalah menuliskan saya kosakata Bahasa Arab yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari," titahnya. Ia membalik kertas puisiku, dan mengambil bolpoin di saku dadanya, menyodorkan kedua benda itu di kursi kosong pembatas kami.


"Sampeyan itu ngutusan, nggih?" ucapku dengan senyum. Aku biasanya tidak suka diperintah, tapi dengan Kang Arul entah mengapa hatiku rela. Ku raih kedua benda yang tadi Kang Arul sodorkan. Menulis beberapa kosakata di sana. Dan aku pun berbuat iseng di sana. 


Ia tersenyum ketika tahu aku berbuat iseng padanya. Tapi ia tetap mengucapkan terimakasih untuk jerih payahku menuliskannya. Ia lalu menyimpan kertas itu di saku dadanya. Ada keheningan beberapa saat kemudian, tapi saya tak bisa berhenti tersenyum karena mengingat betapa nyaman sekali mengobrol dengan Kang Arul. Ia tak membuat suasana canggung. Padahal ini pertama kalinya aku berbicara banyak dengan Kaum Adam.


"Ngomong-ngomong ...," ucap kami secara bersamaan. Kami saling pandang dan tertawa. Kami akhirnya berbantah-batahan siapa yang lebih dulu berkata. Dan ia bilang ladiest first. Sehingga akulah yang terlebih dahulu menanyainya. Dan ketika aku bertanya, ia terheran-heran karena pertanyaanku intinya sama dengan pertanyaannya, yaitu 'apakah sampeyan punya wattpad?' Itu membuat kami tertawa lagi. Sedangkan aku merasa ada penghubung antara aku dengan Kang Arul, mengingat kami begitu kompak.


Ku jawab saja aku punya akun wattpad. Dan parahnya ia bertanya lagi apakah karyaku ada yang ku pajang di sana. Hal itu membuatku murung, mengingat aku pernah memajang kumpulan puisi karyaku dengan judul Prasasti Rasa. Tapi sekarang sudah ku unpublish.


Kang Arul membeku, kepalanya langsung mengarah padaku. Ia menatapku tidak percaya. "Unpublish? Kenapa?" tanyanya lagi.


Aku mengangkat bahu. "Ya ... begitulah .... Sepertinya ndak ada seseorang yang mau membaca karya saya, bahkan sahabat pun mboten wonten sing purun. Saya akhirnya sadar, mungkin karya saya jelek," curhatku menggingit bibir dengan gugup. Sesuatu tentang Kang Arul buatku nyaman untuk mengekspresikan diri. Ada sesuatu lagi yang sebenarnya ingin ku katakan, tapi tidak jadi. Kalimat itu adalah ... 'Kang, dengar ... jauh sebelum sampeyan datang, saya merasa kesepian dalam dunia mimpi yang saya bangun sendiri.'


"Ndak boleh begitu! Mimpi itu harus dikejar dan diraih. Biasanya kalau saya sedang down dalam berkarya karena ndak ada yang memuji, ya ... meskipun itu sahabat sendiri pun, saya akan mengingat bahwa berkarya itu hobi kita, jadi kita ndak butuh penilaian orang lain. Dengan begitu, kita jadi semangat untuk berkarya lagi," ceramahnya panjang.


"Sampeyan adalah makhluk istimewa, yakini saja bahwa keistimewaan sampeyan tidak dimiliki orang lain, maka tidak akan ada dalam kamus besar sampeyan untuk hasud, iri dan riya hanya untuk membuat orang lain terkesan. Hindari itu hanya karena kadar nafsu sampeyan berlebihan,"


"Dan perlu sampeyan ingat, bahwa bunga tidak perlu menggambarkan kecantikannya untuk terlihat menawan dan disukai. Tapi bunga juga bisa dihirup dengan wanginya jika seseorang mendalami apa yang ada dalam isi," kata-katanya membuatku hatiku meleleh, namun membangkitkan rasa semangat yang luar biasa dalam jiawaku.


"Begini saja, publishlah apapun yang sampeyan suka. Nanti biar saya jadi pembaca setia yang pertama."


"Yang kedua," selaku membenarkan.


"Kok yang kedua? Lah yang pertama siapa?" ku rasa ada nada cemburu di sana.


"Ya saya sendiri lah. Mana mungkin saya nulisnya ndak sambil membaca?" jelasku. Dan ia tertawa dan mengangguk-anggukkan kepalanya.


Aku begitu bahagia. Selama ini tidak ada yang mau menghargai jerih payahku dalam bidang tulis menulis. Tapi tiba-tiba saja Kang Arul datang, ia memberi harapan, memupuk semangatku untuk menggapai mimpiku ke bintang yang ada di langit. Atau mungkin ini karena dia juga seorang penulis? Intinya mimpi kami yang sama ini membuatku bahagia. Mungkin satu pembaca setia yaitu Kang Arul sudah sangat cukup untukku.


"Dan sampeyan sendiri?" tanyaku setelah ia tidak kunjung membahas dirinya sendiri. 


"Kalau saya lebih ingin buat musikalisasi puisi. Jadi lebih fokus ke Instagram dan youtubenya dulu. Hehe," ucapnya malu-malu.


"Menghabiskan kuota saja, Kang!" protesku. Dia tersenyum dan berkata jika penguploadannya nunggu jika ada wifi. Aku tertawa, dasar santri anyaran pemburu wifi.


Tiba-tiba saja Mas Zahran datang, mengganggu suasana. Dia memberiku sekantong makanan, mengusirku agar aku makan di dalam, di kamar inapnya Abi. Sedangkan ia akan makan di sini bersama Kang Arul.


Akhirnya aku berdiri dan dengan cemberut pergi ke kamar Abi. Sebelum membuka pintu kamar, aku melihat Kang Arul sekali lagi, dan ajaibnya Kang Arul juga melirik ke arahku dan senyumku langsung hilang sambil memalingkan muka karena pipiku menjadi panas. Aku segera membuka pintu, menyembunyikan diri dengan hati yang meledak-ledak di belakangnya.


Ats-Tsuroyya. Kang Arul adalah seseorang yang membuat mimpiku terbang ke bintang itu. Atau mungkin ... dialah seseorang yang akan mengantarku ke bintang Ats-Tsuroyya itu. Atau mungkin dialah bintang Ats-Tsuroyya itu. Entahlah ... aku tak tahu. Yang ku tahu hanyalah bersamanya mimpiku serasa dekat, bahkan belum pernah sedekat ini. Dan aku sangat bahagia akan hal itu.



Gerah : Sakit


Tossa : Kendaraan beroda tiga


Pripun : Bagaimana?


Tho : Hanya kata penekanan


Nggih : Ya


Ndak : Tidak


Sampeyan : Kamu


Dibikak mawon : Dibuka saja


Nopone : Apanya


Kengeng nopo : Kenapa


Ngutusan : Suka memerintah


Anyaran : Baru


Wis, saiki : Sudah, sekarang


Ladiest first : Perempuan terlebih dahulu


Mboten wonten sing purun : Tidak ada yang mau



Kota Bangkit (Rembang),

28 Desember

©2019 Yunimatul Azizah

Report Page