🎁

🎁

Galileo Arthenius.

“Gal, hujan.” 

 

Ada hujan deras di balik jendela kamar Galio setelah makalah untuk mata kuliah hukum tata negara itu diselesaikan. Mereka berdua sadar dimana letak salahnya. Ada tujuh hari sebelum waktu pengumpulan, namun yang mereka lakukan hanya sekedar tidur-tiduran di sekre BEM atau main pubg di kamar luas milik Galio. Kadang di kamar Kaizo yang temboknya penuh ditempel poster green day. Ingat, mereka punya tujuh hari untuk menghindari resiko mengerjakan hingga jam dua belas malam. 

 

“Yaudah, nginep aja di sini.” 

 

Galio itu mudah ditebak. Ia tak akan memusingkan apapun. Di luar hujan? Yasudah, Kaizo menginap di sini saja. Terus ke kampus besok gimana? Pakai bajunya saja. Toh ukuran mereka tak beda jauh. 

 

“Lo tuh kebiasaan.” Galio yang sudah berbaring lebih dulu di ranjang menatap temannya bingung. Apanya? “Lo tuh ngegampangin banget.” 

 

“Ya lagian ngapain dibikin susah?” 

 

Tuh kan. 

 

Masalahnya, perasaan Kaizo juga digampangkan. Yang lebih tua selalu mematok bagaimana teman satu ukmnya itu tak menyimpan rasa yang cukup pantas disebut cinta untuknya. Sudah lama Kaizo memilih untuk tidak menginap di rumah Galio dengan alasan klise yang selalu ia simpan rapat-rapat. 

 

Menjemput pagi dengan Galio di sebelahnya, serta garis bawah satu ranjang itu tak baik untuk kestabilan napasnya. 

 

“Gamau deh ah gue balik aja.” 

 

Tubuh Galio maju meraih teman keras kepalanya. Lengan itu ditangkap, lalu ditarik hingga tubuh Kaizo limbung. Terjerembab menghimpit Galio yang tertawa-tawa dengan matanya yang berbentuk bulan sabit tiap cekikikan dari mulut itu keluar. 

 

“Terus lo sakit deh. Gue ga mau ya presentasi sendiri.” 

 

Galio itu tampan. Ditambah saat dilihat dari atas. Kaizo jadi tak sadar waktu kedua lengan Galio melingkar di pinggangnya. “Nginep ya? Lo udah lama banget ga nginep.” 

 

Untuk semalam saja, mungkin Kaizo masih tahan. Gapapa, pikirnya. 

 

“Lo kayaknya nyaman banget di atas gue?” terdengar seperti protes, tapi lingkar lengan di pinggang Kaizo tak kunjung Galio lepas. 

 

Rasa-rasanya, Kaizo seperti tertangkap sedang mengintip jawaban ujian. Malu. “Yaudah lepas sih tangan lo. Apa jangan-jangan lo yang ketagihan meluk gue?” 

 

Di atas adalah contoh dari cara Kaizo mempertahankan harga dirinya. 

 

“Iya. Lo anget soalnya.” 

 

Bener kan, Kaizo bilang juga apa. 

 

Galio punya banyak waktu di dunia untuk membolak-balik perasaan Kaizo dengan cara kurang ajar setiap harinya. Dan opsi paling aman yang Kaizo punya adalah melarikan diri. Tapi sungguh sialnya semesta sedang tak beri izin. 

 

Lengan Galio di pinggangnya melonggar, namun Kaizo dapat merasakan bagaimana lengan yang sama membawa tubuhnya berbaring di sisi ranjang. Sisi yang dekat dengan tembok dan jendela menghadap jalan. 

 

Di luar dingin. anginnya terasa. 

 

“Kedinginan?” padahal ac di kamar Galio sudah dimatikan mengingat Kaizo tak cukup kuat dengan suhu rendah. Tapi uniknya tubuh Kaizo itu hangat. Galio seperti memeluk cangkir cokelat hangat yang neneknya biasa buat di pagi hari kala musim penghujan. 

 

Selimut yang tadi hanya bersinggungan dengan ujung jari kini ditarik Galio. Cukup. Sangat cukup malah, untuk kedua tubuh mereka. 

 

Mereka berbaring. saling berhadapan. Atau dipaksa untuk saling berhadapan oleh Galio karena, hey, Kaizo lebih memilih bersitatap dengan tembok kamar untuk menjaga detak jantungnya. 

 

“Lo kayak bayi.” mendengus. Kaizo malas membantah perkataan Galio karena tahu hanya berujung pada kekalahannya. 

 

Meskipun satu tangan Galio enggan berpindah dari pinggang Kaizo, ia masih punya satu lengan lagi untuk mengusap leher temannya. Wangi susu dan madu, mungkin sisa aroma sabun mandi yang Kaizo pakai tadi sore sebelum ke rumahnya. 

 

Yang diusap hanya mengusakkan pipi ke bantal. Menyamankan tubuhnya. Ia butuh istirahat mengingat sekarang waktu di jam dinding menuju larut.

“Kaizo.” 

 

Dibalas dengan gumaman, matanya tetap nyaman terpejam. 

 

“Sini, deketan.” padahal, Galio tidak butuh persetujuan Kaizo karena pada akhirnya, kepala Kaizo dibawa menghadap dadanya. Rambut Kaizo diusak. Bertambah dengan wangi almond yang menenangkan. 

 

Ujung-ujung kaki mereka bersentuhan. Kaizo juga sadar kadang jemari kaki Galio menggelitik betisnya. Kebiasaan Galio sebelum tertidur pulas. 

 

“Galio.” yang dipanggil dan dipanggil enggan membuka mata. Dagu Galio menempel di pucuk kepala Kaizo. Nyaman. 

 

“Hmm?” 

 

“Emang kalau temen tuh pelukan gini ya?” 

 

Punggung Kaizo dielus. Kulit di balik kain itu dapat merasakan bagaimana telapak tangan Galio membentuk pola dari pundaknya, lalu turun ke pinggul. Pelan-pelan. kemudian berhenti lama di muaranya. 

 

“Engga, temen mana ada yang kayak gini.” bukan dagu yang kini memberi jejak pada pucuk kepala Kaizo. Namun bibir Galio dengan sepaket kecupan lama. Seperti doa pengantar tidur. 

 

“Tapi mau gimana.” Kaizo merengut kecewa saat kecupan itu diakhiri. Anak rambut Kaizo menggelitik leher Galio. Geli yang menyenangkan. “Mungkin nanti pagi gue tanyain, dia mau lebih dari temen atau engga.” 

 

Mendengar itu, hujan di balik jendela ikut bersemu.


by : severus, anthem’s member.

Report Page