Amsterdam.

Amsterdam.

Shana

Di sepanjang jalanan Amsterdam ada yang tengah kesal menggeram. Kakinya ia hentak-hentakkan sembari menyilangkan tangan di tubuh bagian depan. Shana, masih ditertawakan sosok menyebalkan di sebelahnya, berkata, “Kak Hanif, udah dong! Ngeselin banget kenapa sih?” Usut punya usut lelaki yang dimaksud ternyata sedari tadi sibuk mengusili Shana yang bersenandung senang sembari berjalan kaki. Pemandangan Amsterdam di sore hari memikat matanya untuk tetap setia memandangi. Tetapi Hanif, dengan sejuta keusilan mencubit kedua pipi Shana sambil gemas sepenuh hati. 

Konon katanya sebagai penutup kencan sedari pagi, wajib hukumnya Shana ia jahili. Dengan wajah cengengesan yang ingin dipukuli gadis itu tetapi tak sampai hati, Hanif merangkul Shana sambil berbisik, “Maaf ya cantik hehehe, Habisnya kamu lucu kalau kesel.” Sementara Shana hanya mendengus. 

Kota dengan beberapa arsitektur klasik yang sesekali ditemani alunan musik sungguh akan banyak mengukir kenangan dengan apik. Ibu kota Negeri Kincir Angin itu sukses memukau mereka berdua, Hanif dan Shana. Sebuah keputusan yang brilian untuk menghabiskan waktu bersama di tempat mereka berpijak sekarang. Meski tak diagung-agungkan sebagai kota paling romantis sedunia, seperti Paris misalnya, Amsterdam tak gagal menorehkan kenangan manis bagi mereka.


Report Page