Amelia

Amelia

Cak Ipin

Cerpen Miftahul Arifin


RIAK gelombang di bawah sana menemani lamunanku. Mataku masih tertuju pada satu titik nun jauh. Sebuah pulau kecil, aku menamainya pulau keabadian. 

Barangkali orang bertanya-tanya serupa apa pulau itu. Tak bisa kujabarkan rinci. Tetapi aku selalu melihatnya, tampat seluruh perahu dan kapal kapal hendak bersandar. Tempat pohon-pohon rindang mengitarinya pantai-pantai. Tempat rumah-rumah orang ingin tinggal. Dan aku telah berlayar, di sana, ingin menetap dalam tempo tak terbatas. 

Sudah sekitar empat jam kapal perintis KM Sabuk Nusantara bertolak dari Pelabuhan Kalianget menuju Pulau Kangean. Menurut jadwal dan cerita yang pernah kudengar kapal akan sampai enam jam lagi. Ini perjalanan pertamaku ke pulau yang pernah menjadi tempat menyepi pak kiaiku di pesantren dulu. Aku mendapat tugas menelusuri rekam jejak beliau selama di Pulau Kangean.

Matahari masih terik. Kapal terus melanju menuju arah yang dituju. Memecah ombak laut yang tak begitu ganas. Memecah arah mata angin yang sepoi-sepoi menyetuh wajahku. Beradu merdu dengan bunyi mesin kapal, suaranya menyertai lamunan.  

Aku baru saja ke kamar kecil di dalam kapal. Aku melihat sebagian besar penumpang sudah pulas. Sebagian lagi masih terjaga dengan tatapan kosong. Ada yang mondar mandir, silih berganti ke kamar mandi. Di bagian belakang, tepat di bawah skoci, beberapa pemuda terlihat bersantai setelah sebelumnya kulihat bermain kartu. Kapten kapal? pasti dia tetap fokus mengendalikan kapal agar sampai sesuai jadwal. Apa arti pemandangan laut bagi orang yang kesehariannya telah di laut. 

Aku sendiri memilih tempat sunyi. Di lantai dua, di emperan kapal sebelah kanan, sebelum lantai ketiga atau atap kapal. Aku tak keberatan meski harus berlindung di bawah tembok agar tak kena panas. Ini perjalanan laut terjauh yang pernah kulakukan. Aku tidak ingin menyiakannya dengan tidak melihat ombak di laut lepas atau dengan tertidur pulas. Aku hanya ingin duduk bersandar, sambil menulis catatan atau hanya sekadar melamun dengan mata masih tertuju ke satu pandang: Pulau Keabadian. 

***

Kau baru saja menanyakanku. "Sampai di mana?"

Aku sempat berpikir bagaimana harus menjawab pertanyaanmu. Pertanyaan yang sebenarnya mudah tapi jadi sulit dalam situasi sekarang. Dan kurasa aku tak harus menoleh kanan atau kiri untuk mendapatkan alamat. 

"Di laut lepas," jawabku sambil tertawa. 

Kau pun tertawa. Mungkin kau juga merasa aneh dengan pertanyaamu sendiri sambil berpikir bagaimana aku mencari alamat di tengah laut.

Lalu kukirimkan beberapa gambar padamu. Kau kemudian mengejek. Katamu, aku suka ngeksis. Padahal, ya, kau juga tak bisa tahan bila melihat kamera. Lihat saja kalau kau jalan-jalan. Tidak ada foto-foto yang tidak ada gambarmu, sendiri atau bersama temanmu. 

"Aku hanya berfoto kalau viewnya bagus," kau berkilah. 

"Kalau kau ikut pasti setiap detik kau minta difoto. Di kapal ini viewnya semuanya bagus," 

Kau tertawa. 

"Coba kamu ambil gambar kayak titanic," katamu kemudian. 

"Mana bisa ambil gambar mirip titanic kalau sendirian? seandainya kau ikut, mungkin baru bisa. Aku jek kau Ros,"

Kau tertawa. Aneh aneh saja, kau malah memintaku bermain titanic dengan teman lelakiku di kapal. 

"Enak aja, kalau sama temanku namanya bukan titanic. Tapi titanus komplikasi dengan ginjal dan asam urat. Nggak deh pokoknya,"

Kau tertawa lagi. Aku menyusulmu tawamu dan sesaat kita telah saling tertawa. 

Namamu Amelia. Tetapi kau biasa dipanggil Mem. Entah apa alasannya. Tetapi kedengarannya menarik. Seingatku aku hanya dua kali memanggilmu dengan panggilan itu. 

Aku mengenalmu pertama kali di sekolah. Kau adik kelas. Aku kakak kelas. Kau junior. Aku senior. Kita saling mengenal di lembaga kepenulisan. Sejak itu kita sering bertemu. Meski terkadang hanya sekadar saling melihat tanpa saling cakap. 

Aku masih ingat ketika aku membimbingmu belajar menulis. Kau selalu tanpak bersemangat. Kau punya keinginan kuat untuk pandai menulis. Kau mengikuti arahanku. Aku yang telah lebih dulu bergabung di dunia tulis menulis mengajarimu sebisaku. Dan memang sudah menjadi kewajibanku membimbingmu. Walau terkadang hanya sharing pengalaman. 

Aku pun selalu berkepentingan denganmu. Sambil kutanya bagaimana perkembanganmu di dunia kepenulisan, aku menyelingkannya dengan candaan. Kau pun tertawa kadang-kadang. Tetapi aku malah semakin khawatir akan kehilangan. eeeh. 

***

Hari sudah sore. Kapal terus melaju, menerjang angin dan gelombang. Senja tanpak lebih indah bila wajah menghadap ke barat. Matahari mulai surup, mulai menelan dirinya diganti malam. Tetapi senja yang berhias awan putih mengukir warna langit itu menyebalkan. Tak bisa kutunjukkan keindahannya kepadamu sebab laut dengan sinyal ponsel masih sering bermusuhan.

Akhirnya aku memilih melamun dengan pandangan masih saja tertuju pada satu titik. Pulau ke abadian. 

"Hush, ngelamun saja dari tadi!" Khimar tiba-tiba menepuk punggungku, mengejutkanku. 

"Dari mana saja kau?" 

"Dari lantai bawah," sambil di lemparnya kaleng minuman ke laut. Menggelinding sebentar lalu terbawa ombak. 

"Kau tahu Amelia kan?" 

"Blasteran Madura-Jawa itu?" 

"Iya. Belakangan ini aku selalu memikirkanya" 

"Hah? kamu suka dia?" tanyanya dengan raut wajah seakan tak percaya. Wajahnya agak lama memandangku. 

"Kok kamu kaget begitu?" 

"Sebentar... sebentar.. bukannya dia masih ada hubungan saudara dengan mu?" 

"Emang tak boleh?" 

"Bukan begitu" 

" Lantas?" 

"Aneh aja" 

"Sejak kapan cinta itu pilih-pilih orang?"

" Iya juga sih. Amel tahu kalau kamu suka?" 

" Belum. Aku belum punya nyali mengatakannya" 

" Dia sudah punya pacar?" 

"Entah. Aku dilema" 

" Maksudnya?"

"Di satu sisi dia adikku. Buyutnya masih saudara dengan buyutku. Kalau dia menerima cinta aku, aku selamat. Kalau tidak aku khawatir nasibnya seperti tetanggaku. Niatnya merekatkan hubungan bersaudara. Tapi rusak gara-gara cinta. Satu dari anggota keluarganya nggak setuju." 

"Tak usah terlalu kau cemaskan. Tinggal sikapmu setelah itu kalau-kalau kau ditolak atau keluarganya ada yang tak setuju." 

"Kupikirkan saranmu" 

****

Khimar telah menghilang beberapa saat setelah kuceritakan perasaanku tentang Amelia. Tak perlu ditanya soal itu karena mudah ditebak. Kalau tidak cari makanan, pasti dia tidur. Kebiasaan sejak kecil itu tak hilang- hilang walaupun telah duduk di sekolah menengah atas. 

Apalagi di laut lepas begini. Gelombang akan mengocok perutnya hingga kelaparan. Angin akan meniup matanya hingga tak tahan kantuk. Baginya makan dan tidur serupa hadiah yang selalu diterimanya dengan senang hati. 

Aku? bagaimana aku bisa tidur bila jiwa terus berkecamuk. Lagian senja baru saja lewat. Laut mulai gelap. Hanya desir angin dan suara mesin kapal bercampur hempasan ombak terus terdengar. 

Kuambil pulpen dan kertas di dalam tas. Aku ingin menulis sajak tentang Amelia. Mungkin dengan cara ini aku aku bisa lebih tenang. Entah nanti dia membacanya atau tidak. 

Pulau Keabadian

I

di bawah kapal ini air terus menyibak

di kedalaman ribuan meter

di dadaku,

kau terus meronta

aku sedang berlayar, kasih

menerobos gelombang

memecah deru angin

di lautan ganasmu

kapal ini milikku

sedang berlayar menujumu

di pulau keabadian

II

aku kembali berlayar

menerjang ombak dan badai

bersama kau

yang terpandang di kejauhan

di pulaumu aku segera menemukanmu

serupa kapal ini segera bersandar menemukan pelabuhan

kemudian menjadi altar bagi para penumpang

III

telah kusiapkan perahu kecil. penghubung dua pulau, penyambung dua kisah pantai-pantai : pulauku pulaumu, kisahku kisahmu.

kita akan sering berlayar, kasih. ke pulauku atau ke pulaumu, dalam satu kisah satu perahu : laut, ombak, dan badai.

hingga perahu karam di lautan tenang.

***

Ah, brengsek! 

Belum selesai sajak kutulis, tinta pulpenku ternyata habis. Sementara kalimat kalimat pengandaian akan keindahan Amelia terus bermunculan memenuhi isi kepala. 

Hari sudah mulai gelap. Tetapi kelap kelip lampu mulai terlihat di depan sana. Pulau tujuan sudah dekat. Sebentar lagi sampai. Ingin kubuang sajak yang tak selesai tetapi tiba-tiba dikagetkan dering ponsel. Satu pesan masuk. Dari Amelia. Rupanya sudah ada sinyal. Pulau benar-benar sudah dekat. 

Amelia menanyakan keberadaanku. Kubilang baru sampai di pelabuhan. Kukubilang padanya, aku membuatkan sajak untuknya. Tetapi belum selesai, tinta pulpenku habis. 

"Amelia, maukah kau mau melanjutkan sajak yang tak selesai ini?"

Amelia belum membalas pesan singkat yang kukirim melalui WatsApp. Barangkali dia lagi ada kerjaan atau sedang tidak bisa diganggu karena bersama lelaki yang disebutnya Yayan. 


Laut Lepas Kangean-Kalianget

29 Juni 2018

Report Page