Shalawat Nabi Antara Sunnah dan Bid’ah

Shalawat Nabi Antara Sunnah dan Bid’ah

Asy Syariah Edisi 007 Nov 14, 2011
Antara Sunnah dan Bid'ah

Pada edisi sebelumnya, telah dijelaskan seputar anjuran bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta waktu-waktu yang dianjurkan untuk bershalawat. Kajian berikut akan membahas beberapa kesalahan seputar shalawat.

Beberapa Kesalahan Seputar Shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pertama: Membuat berbagai model shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak pernah diajarkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula berasal dari atsar salafush shalih. Bahkan, di antara mereka ada yang berlebih-lebihan dalam menyebutkan sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sifat tersebut tidak layak disandarkan kecuali kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah ‘azza wa jalla telah berfirman,

لَا تَغۡلُواْ فِي دِينِكُمۡ

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam agama kalian.” (an-Nisa: 171)

dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌفَقُوْلُوْا: عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

“Janganlah kalian terlalu memujiku sebagaimana Nasrani terlalu memuji ‘Isa bin Maryam. Sebab, sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka dari itu, katakanlah, ‘Hamba Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya’.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu)

Termasuk model shalawat bid’ah yang tersebar di kalangan kaum muslimin bahkan sampai ditempel di dinding masjid adalah shalawat yang dikenal dengan nama “shalawat nariyah”. Konon, barang siapa membacanya sebanyak 4.444 kali dapat menghilangkan kesulitan atau meluluskan hajat yang diinginkannya. Ini adalah persangkaan yang batil yang tidak ada dalilnya sama sekali. Apalagi jika kita mengetahui isi shalawatnya, akan tampak jelas nuansa kesyirikannya. Berikut lafadz shalawatnya,

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا

عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهِ الْعُقَدُ

وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ

وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ

آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

“Ya Allah, berikanlah shalawat dengan shalawat yang sempurna.

Dan sampaikanlah salam dengan salam yang sempurna kepada baginda kami Muhammad yang dengannya terlepaslah ikatan.

Dan dengannya, dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya, diluluskannya hajat keinginan.

Dan dengannya, didapatkan berbagai keinginan, baiknya akhir kehidupan,

dan disirami kegundahan dengan wajahnya yang mulia.

Dan kepada keluarganya, para sahabatnya, sejumlah tiap yang ilmu yang Engkau miliki.”

Shalawat ini, telah dijelaskan penyimpangannya oleh sebagian ulama. Di antaranya apa yang disebutkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhahullah berikut ini.

1. Sesungguhnya akidah tauhid yang diseru oleh al-Qur’an al-Karim dan apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sematalah yang mampu melepaskan ikatan (problem), menghilangkan kesulitan, mengabulkan keinginan (hajat), dan memberikan apa yang diinginkan oleh manusia di saat mereka berdoa.

Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdoa kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala untuk menghilangkan kesedihannya, atau untuk menyembuhkan penyakitnya, meskipun sosok yang dituju oleh doa tersebut adalah malaikat yang dekat atau nabi yang diutus. Sebab, al-Qur’an telah mengingkari doa yang ditujukan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala, baik dari kalangan rasul maupun para wali. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمۡلِكُونَ كَشۡفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمۡ وَلَا تَحۡوِيلًا ٥٦ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا٥٧

“Katakanlah, ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isra: 56—57)

Ahli tafsir berkata, “(Ayat) ini turun (berkenaan) dengan sekelompok orang yang berdoa kepada al-Masih, para malaikat, atau kalangan jin yang saleh.”

2. Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan, menghilangkan kesusahan, (dsb), sedangkan Al-Qur’an menyuruh beliau untuk berkata,

قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ ١٨٨

“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudaratan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku berbuat kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (al-A’raf: 188)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, “Dengan kehendak Allah dan kehendakmu”.

Beliau bersabda, “Apakah engkau hendak menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Ucapkanlah, ‘Dengan kehendak Allah semata’.” (HR. an-Nasai dengan sanad yang hasan)

Perlu diketahui, pada akhir shalawat ini terdapat pembatasan jumlah ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Ini juga merupakan kesalahan besar.

3. Sekiranya kita menghapus kata بِهِ ‘dengannya (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)’ dan menggantinya dengan kata بِهَا ‘dengannya (shalawat Allah subhanahu wa ta’ala)’ maka makna shalawat ini benar tanpa menetapkan jumlah (4.444 kali, –pen.) yang tidak disyariatkan.

Jadi, bentuknya menjadi sebagai berikut, “Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan sampaikanlah salam berupa salam yang sempurna kepada Muhammad, yang dengannya (yaitu dengan shalawat-Nya) melepaskan ikatan (kesulitan)….”, dst.

Sebab, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah, dan diperbolehkan bertawassul dengan ibadah itu untuk menghilangkan kesusahan.

4. Mengapa kita membaca shalawat-shalawat bid’ah semacam ini (yang berasal) dari perkataan makhluk untuk kemudian meninggalkan shalawat Ibrahimiyah yang berasal dari perkataan al-Ma’shum shallallahu ‘alaihi wa sallam? (Minhaj Al-Firqatin Najiyah, Muhammad bin Jamil Zainu, hlm. 227—228)

Kedua:

Termasuk di antara kesalahan yang banyak dilakukan kaum muslimin dalam bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penambahan lafadz “sayyidina” (baginda kami). Lafadz ini sama sekali tidak pernah diriwayatkan dalam hadits-hadits yang sahih. Jika hal ini disyariatkan, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada para sahabatnya. Oleh karena itu, telah dinukilkan pengingkaran atas hal ini dari sebagian ulama. Termasuk di antaranya adalah salah seorang ulama besar bermazhab asy-Syafi’iyyah yaitu al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah.

Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gharabili—murid yang selalu mendampingi al-Hafizh Ibnu Hajar—menukilkan: Telah ditanya (al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah-red.) tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik di dalam maupun di luar shalat, baik dikatakan wajib atau sunnahnya (dibaca di waktu tersebut), apakah disyaratkan padanya untuk menyifati beliau dengan “sayyid”, misalnya dikatakan,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

‘Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Sayyidina Muhammad’, atau,

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِ الْخَلْقِ

‘Ya Allah, berikanlah shalawat kepada pemimpin seluruh makhluk’, atau ‘kepada pemimpin anak cucu Adam’?

Ataukah cukup dengan mengucapkan ‘Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Muhammad’? Mana yang lebih afdal? Menyebutkan lafadz sayyid karena itu adalah sifat yang melekat pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam? Atau tidak menyertakannya karena tidak ada dalam riwayat?

Beliau menjawab, “Ya, mengikuti lafadz yang telah ma’tsur (ada riwayatnya) itu lebih rajih (kuat). Dan janganlah seseorang berkata, ‘Jangan-jangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan itu karena sikap tawadhu beliau sebagaimana beliau tidak pernah menyebut dirinya dengan tambahan ‘shallallahu alaihi wasallam’, sedangkan umatnya dianjurkan mengucapkan hal ini setiap (nama) beliau disebutkan’. Karena itu, kita katakan, ‘Sekiranya (penyebutan sayyidina) itu lebih rajih, tentu ada (riwayat) dari para sahabat kemudian dari tabi’in. Kita belum mendapati satu pun riwayat dari salah seorang sahabat. Tidak pula para tabi’in mengucapkan hal itu dari sekian banyak riwayat mereka dalam hal ini.’

Inilah al-Imam asy-Syafi’i—semoga Allah meninggikan derajatnya, dan beliau termasuk orang yang paling banyak dalam mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—, beliau berkata dalam pembukaan kitabnya yang merupakan sandaran kitab para pengikut mazhabnya, ‘Allahumma shalli ‘alaa Muhammad’, dan seterusnya.”

Demikian pula al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah. Ia telah mengkhususkan satu bab tentang cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kitabnya asy-Syifa dan menukilkan beberapa riwayat yang marfu’ dari beberapa sahabat dan tabi’in. Namun tidak satu pun riwayat dari kalangan sahabat dan lainnya dengan lafadz “sayyidina”.

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, setelah menyebutkan perkataan al-Hafizh, “Apa yang telah menjadi pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah tentang tidak disyariatkannya tambahan ‘sayyidina’ dalam bershalawat adalah karena mengikuti perintah yang mulia.

Inilah yang menjadi pegangan para pengikut mazhab Hanafi. Inilah yang sepantasnya kita berpegang dengannya, sebab merupakan pertanda kejujuran kita atas kecintaan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ

“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Oleh karena itu, al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam kitabnya ar-Raudhah, “Shalawat yang paling sempurna kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘Allahumma shalli ‘alaa Muhammad…” tanpa menyebutkan lafadz ‘sayyidina’.” (Shifat Shalat an-Nabi, karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, hlm. 172—175)

Ketiga:

Melantunkan shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berirama dan terkadang dilakukan secara berjamaah. Bahkan, ada yang diiringi oleh lantunan musik piano, genderang, rebana, dan lainnya. Sungguh, ini adalah nyata kebatilan yang dikemas dalam bentuk ibadah. Bagaikan najis yang dicampur dengan setetes air suci. Allahul musta’an.

Tak hanya itu, tujuan shalawat pun kini telah bias. Yang awalnya untuk mendoakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kini menjadi hiburan yang dapat dinikmati suara dan iringan musiknya.

Keempat:

Di antara shalawat buatan tersebut, ada yang justru merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah penyebutan “habibullah” (kekasih Allah subhanahu wa ta’ala) kepada beliau.

Model shalawat seperti ini telah disebarkan oleh sebagian penyeru bid’ah di negara kita, seperti apa yang disebutkan Muhammad Arifin Ilham al-Banjari dalam bukunya Hikmah Zikir Berjama’ah halaman terakhir,

يَا نَبِيُّ سَلاَمٌ عَلَيْكَ

يَا رَسُوْلُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ

يَا حَبِيْبُ سَلاَمٌ عَلَيْكَ

صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْكَ

Perhatikanlah, ketika dia menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “habib”. Ini pula yang disebutkan salah seorang pendukungnya, Drs. Ahmad Dimyathi Badruzzaman, dalam bukunya Amaliah Zikir Taubah (hlm. 54) sebagai berikut,

السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا نَبِيَّ اللهِ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، السَّلاَمُعَلَيْكَ يَا حَبِيْبَ اللهِ

Penyebutan “habibullah” yang dinisbatkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bertentangan dengan hadits sahih yang menyebutkan bahwa beliau adalah “khalilullah” dan bukan “habibullah.” Hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Abi ‘Izzi al-Hanafi rahimahullah dalam kitabnya Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyah. Kata beliau, “Telah tsabit (sahih) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan tingkatan mahabbah (kecintaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya) yang tertinggi, yaitu Khullah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ اتَّخَذَنِي خَلِيْلاً كَمَا اتَّخَذَ إبْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil-Nya sebagaimana telah menjadikan Ibrahim sebagai Khalil.” (Sahih, HR. Muslim)

وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أَهْلِ اْلأَرْضِ خَلِيْلاً لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيْلاًوَلَكِنْ صَاحِبُكُمْ خَلِيْلُ الرَّحْمَنِ

“Sekiranya aku diperbolehkan untuk mengambil khalil dari penduduk bumi, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakr sebagai Khalil. Akan tetapi, sahabat kalian ini (yaitu Nabi) adalah Khalilur Rahman.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan lafadz ini, dan yang semakna diriwayatkan oleh Muslim. Disebutkan oleh pentahqiq/penelitinya)

Kedua hadits ini sahih. Keduanya membatalkan pendapat yang mengatakan, “Al-Khullah untuk Ibrahim sedangkan al-Mahabbah untuk Muhammad. Jadi, Ibrahim (adalah) Khalilullah, sedangkan Muhammad (adalah) Habibullah.” Dan (disebutkan) pula dalam ash-Shahih,

إِنِّي أُبَرِّأُ إِلَى كُلِّ خَلِيْلٍ مِنْ خُلَّتِهِ

“Aku berlepas diri (kepada Allah) untuk aku menjadikan setiap khalil dari kalian.” (Sahih, HR. Muslim)

Adapun ‘al-Mahabbah’ didapatkan oleh selain beliau. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٣٤

“Dan Allah mencintai setiap orang yang berbuat baik.” (Ali ‘Imran: 134)

Firman-Nya,

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ ٧٦

“Sesungguhnya Allah cinta (mahabbah) kepada orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 76)

Firman-Nya,

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢

“Sesungguhnya Allah mencintai orang yang selalu bertobat dan bersuci.” (al-Baqarah: 222)

Lalu di mana letak keistimewaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan dengan yang lain? Dengan itu, berarti kita merendahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari martabatnya yang tinggi. Dengan demikian, batal-lah pendapat yang mengkhususkan “khalil” bagi Ibrahim dan “habib” bagi Muhammad. Yang benar, “khalil” itu adalah kekhususan bagi keduanya (Ibrahim dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Adapun “habib” itu bersifat lebih umum. Adapun hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi yang di dalamnya terdapat lafadz,

إِنَّ إِبْرَاهِيْمَ خَلِيْلُ اللهِ، أَلاَ وَأَنَا حَبِيْبُ اللهِ وَلاَ فَخْرَ

“Sesungguhnya Ibrahim adalah khalilullah. Ketahuilah, aku adalah habibullah dan tidak berbangga.”

Hadits ini tidak sahih. (Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi, 1/164—165, tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki dan Syu’aib al-Arnauth)

Lemahnya hadits tersebut karena adanya dua perawi yang lemah. Yaitu Zam’ah bin Shalih dan Salamah bin Wahram. Hadits ini juga dinyatakan lemah oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam tahqiq-nya terhadap Syarah ath-Thahawiyah (hlm. 165). Ini juga yang disebutkan oleh asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam ta’liq-nya terhadap al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah (hlm. 31).

Dengan penjelasan ini, maka jangan ada lagi yang masih berkata bahwa “zikir jama’i” model Arifin Ilham adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebab, hal itu justru menunjukkan kebodohan dan kedangkalan ilmu yang dimilikinya. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah ‘azza wa jalla. Amin.

Wallahul muwaffiq.


Sumber: http://asysyariah.com/shalawat-nabi-antara-sunnah-dan-bidah-2/

Report Page