STOP THE DRIFT: LEADERSHIP ACCOUNTABILITY

STOP THE DRIFT: LEADERSHIP ACCOUNTABILITY

Bernardus Irmanto for RUMAH MSDM

 

 Pernahkah anda melihat seorang atasan yang segan  memberikan teguran kepada anak buahnya? Yang sangat toleran demi mempertahankan harmoni dalam tim? Yang selalu mengambil kesimpulan bahwa yang salah adalah sistem, sistem yang harus diperbaiki?

Kalau anda pernah menyaksikan hal tersebut, atau bahkan pernah mengalaminya sendiri, anda tidak sendirian. Begitu banyak organisasi yang mengalami gejala yang sama. Sialnya,  gejala ini terkadang tidak terbaca, menjadi semacam kebiasaan dan bisa menular. Ketika sesuatu di “percaya” sebagai norma kelompok, maka hal yang sama akan menyebar menjadi praktek dalam sebuah organisasi

Lalu apakah yang akan terjadi pada organisasi yang demikian? Ibarat orang sakit, jika tidak cepat ditangani, maka organisasi tersebut tinggal menunggu waktu untuk mati. Akan muncul kejadian-kejadian yang mengakibatkan kerugian bagi organisasi tetapi tidak ditangani secara benar. Para atasan enggan mencari akar permasalahan dan cenderung menutupi yang sebenarnya terjadi. Mereka enggan “berkonflik” dengan bawahan. Bawahan menjadi terlena dan merasa bahwa apa yang mereka lakukan tidak salah. Mereka tidak sadar dan tidak belajar dari kesalahan yang mereka lakukan. Ketika terakumulasi, hal tersebut menjadi penyakit yang mematikan bagi organisasi.

 

DEVIATION DRIFT

Setiap atasan bertanggung gugat atas semua tindakan yang mereka lakukan untuk mencegah bawahannya melanggar aturan yang telah ditetapkan di dalam sebuah organisasi. Mereka harus memastikan bahwa bawahan memiliki pengetahuan, keahlian, peralatan dan juga perilaku yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah pekerjaan. Jadi apabila seorang bawahan gagal dalam melaksanakan sebuah pekerjaan atau melangar aturan, seorang atasan bisa dimintai tanggung gugat untuk memastikan bahwa dia telah memberikan pengetahuan, keahlian dan peralatan yang memadai. Ilustrasi dibawah ini menggambarkan akuntabilitas seorang atasan.

Seorang atasan menerapkan standar dalam pelaksanaan pekerjaan. Standar tersebut bisa berupa hukum dan perundangan, kebijakan perusahaan, prosedur, aturan dan lain sebagainya. Atasan harus memastikan bahwa bawahan tidak menyimpang dari standar tersebut. Apabila mereka menemukan penyimpangan dari standar( deviation drift), maka seorang atasan wajib secepatnya mengatasi hal tersebut. Apabila tidak dilakukan, maka penyimpangan bisa terjadi berulang dan pada suatu saat bisa menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Sebagai contoh, di sebuah perusahaan terdapat aturan bahwa dilarang mengambil jalan pintas untuk menuju lokasi tertentu. Ada seorang karyawan yang tidak mengindahkan aturan tersebut karena alasan jarak yang terlalu jauh apabila mengambil jalan yang telah ditentukan. Apabila atasan tidak “menegur” karyawan tersebut, maka si karyawan akan merasa bahwa yang dia lakukan tidak salah. Jika ada faktor external ( seperti turun hujan sehingga jalan pintas yang biasa dilalui licin), maka kecelakaan ( terpeleset) bisa saja terjadi. Siapa yang salah dalam hal ini? Tentu saja si karyawan salah. Tetapi si atasan juga dimintai tanggung gugat atas kejadian tersebut.

Oleh karena itu sangat penting bagi seorang atasan untuk memperbaiki penyimpangan sedini mungkin. Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana seorang atasan bisa memastikan penyebab dari penyimpangan tersebut dan bisa mengatasinya dengan tepat

  

PROGRESSION LOGIC CHART

Untuk bisa memastikan sebab sebuah penyimpangan, seorang atasa bisa menggunakan tool sederhana, sebuah folow chart, seperti dibawah ini. Pada dasarnya atasan harus duduk bersama dengan bawahan yang terlibat dalam sebuah “undesired event”. Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk mencari fakta terkait dengan kejadian, sehingga atasan berada dalam “I know“state, bukan “I think”.  Hal tersebut sangat penting supaya atasan bisa mengambil kesimpulan yang tepat


Seperti dalam diagram diatas, ada empat pertanyaan yang bisa digunakan sebagai panduan

·        Apakah Ada standar yang mengatur hal-hal terkait penyimpangan?

·        Apakah jika karyawan tersebut mengikuti standard, undesired event tetap terjadi?

·        Apakah standar diketahui oleh karyawan yang bersangkutan?

·        Apakah karyawan memilih untuk mengabaikan standar walaupun dia mengetahui standard tersebut?

·        Apakah penyimpangan tersebut telah menjadi praktek umum?

 

Jawaban dari masing-masing pertanyaan secara bertahap akan menghantar seorang atasan kepada pemahaman atas apa yang sebenarnya terjadi. Yang penting diperhatikan, dalam diskusi ini seorang atasan

·        Harus terbuka dan mengesampingkan asumsi

·        Tidak mendominasi pembicaraan. Atasan harus mengajukan pertanyaan yang tepat dan membiarkan bawahan memberikan keterangan. “More listening than talking”. Mengajukan “probing questions” bisa dilakukan tapi bukan dengan maksud “menjebak”, tetapi mendapatkan klarifikasi lebih lanjut dari pernyataan bawahan

·        Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan

·        Biarkan bawahan “mengatakan” sendiri kesalahannya apabila memang dia melakukan kesalahan. Dalam flow chart diatas, apabila karyawan mengetahui adanya standar tetapi mengabaikannya, maka dia akan dikenai sangsi disiplin. Inti pembicaraan bukanlah untuk menyatakan bahwa karyawan yang bersangkutan akan mendapatkan sangsi disiplin. Tujuan sebenarnya adalah supaya karyawan yang bersangkutan menyadari kesalahan yang dilakukan dan menerima konsekuensi dari kesalahan tersebut

Untuk bisa mendorong praktek ini tidak lah mudah. Perlu komitmen dan persistensi dari para atasan, mulai dari manajemen puncak. Para atasan harus “hold each other accountable”. Mereka harus “walk the talk”, mempraktekkan tool diatas secara fair dan konsisten. Diskusi yang dilakukan perlu di dokumentasikan dan statistik terkait diskusi tersebut perlu di monitor dari waktu ke waktu. Pertemuan regular untuk membicarakan perkembangan penerapan praktek ini sangat perlu dilakukan untuk:

·        Pembelajaran bersama. Praktek dan kejadian yang terjadi di suatu area bisa menjadi pembelajaran untuk area yang lain

·        Membuat inisiatif ini visible, dan menjadi diskusi rutin diantara para karyawan

·        Melihat apakah sudah terjadi perubahan nyata dalam organisasi. Dari pengalaman saya perlu waktu paling cepat 18 bulan dari mulai digulirkannya inisiatif ini sampai terjadi perubahan yang berkelanjutan. Pada awalnya, akan lebih banyak kasus berakhir dengan kesimpulan “perlu perbaikan system”, atau “perlu pelatihan” atau “coaching”. Hanya sedikit sekali yang berakhir pada “personal transgression”. Hal tersebut perlu di lihat dengan lebih seksama. Sangat mungkin para atasan masih enggan untuk menggali informasi dan memilih untuk membuat kesimpulan yang relatif ringan konsekuensinya. Walaupun tujuan penerapan tool ini bukan untuk menjatuhkan hukuman, pada sebuah organisasi yang relatif sudah stabil ( sudah relative lengkap “business controls”nya), maka biasanya undesired events lebih banyak terkait dengan personal transgression

Report Page