Sahabat Rasulullah ﷺ Adalah Orang-Orang Pilihan
Majalah AsySyariah.comKetika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan ajaran Islam, hanya segelintir orang yang mau mengikuti ajakan beliau. Sebagian besar manusia justru menentang beliau dengan permusuhan yang demikian keras. Orang-orang yang mau menerima ajakan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam itulah para shahabat. Mereka adalah umat yang memiliki keimanan yang paling tinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sayang, kini kaum muslimin banyak melupakan dan tidak mau berteladan kepada mereka. Padahal mereka adalah umat yang banyak mendapat pujian dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam, karena memiliki banyak keutamaan yang tidak dimiliki oleh umat lainnya.
Di masa sekarang, shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadi sekelompok orang yang asing. Keberadaan mereka sebagai “perantara” agama yang dibawa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat berikutnya telah banyak dilupakan orang. Ketika seseorang atau sekelompok orang mencoba memahami agama ini, sebagian besar tidak lagi menjadikan para shahabat sebagai rujukan. Tokoh-tokoh yang muncul belakangan atau pimpinan kelompoknya lebih mereka sukai untuk dijadikan sebagai teladan. Sementara para shahabat sebagai orang-orang yang paling baik pemahamannya terhadap agama malah mereka jauhi.
Kalau ada sebagian kaum muslimin teringat kepada para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, biasanya mereka tidak lebih menjadikan kisah hidup para shahabat itu sebagai bahan cerita untuk anak-anak. Namun bagaimana pemahaman dan pengamalan mereka terhadap agama ini, hanya sedikit kaum muslimin yang mau menggali dan mengikuti mereka.
Yang lebih ironis, ada orang-orang yang mengaku sebagai kaum muslimin namun memiliki kebencian demikian besar kepada para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berani melakukan celaan terhadap seorang shahabat atau beberapa shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, sementara di sisi lain Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam justru memuji mereka.
Para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang memiliki banyak keutamaan. Mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang telah diridhai oleh Allah, dan banyak di antara mereka ketika masih hidup sudah mendapatkan kabar gembira yaitu akan dimasukkan ke dalam jannah (surga). Tidak ada keutamaan yang demikian tinggi seperti ini didapatkan oleh umat manapun, terlebih umat setelah mereka. Abdullah bin Mas’ud ketika menggambarkan tentang para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba, maka Allah subhanahu wa ta’ala melihat hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik hati para hamba, maka dipilih untuk diri-Nya dan Dia utus membawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati-hati para hamba setelah hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Allah melihat hati-hati para shahabatnya adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Allah jadikan mereka sebagai pendukung-pendukungnya, berperang membela agamanya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin itu sebagai kebaikan, maka di sisi Allah adalah baik. Dan apa yang dilihat oleh mereka sebagai kejelekan maka di sisi Allah adalah jelek pula.” (Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Hadits ini shahih secara mauquf, diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi, Ahmad dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan. Dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Dengan gambaran di atas, kita mengetahui bahwa para shahabat adalah orang-orang yang istimewa yang memang sengaja Allah subhanahu wa ta’ala pilih untuk mendukung Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam mendakwahkan Islam. Tidak hanya itu, mereka bahkan banyak berperang membela Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan membela agamanya. Tentunya Ibnu Mas’ud tidak berkata berdasar hawa nafsunya atau disebabkan sifat ta’ashub (fanatisme) karena beliau sendiri adalah seorang shahabat. Tetapi beliau menyatakan demikian karena bukti-bukti yang jelas dari ucapan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. (di antara tafsirnya adalah kekhusyukan dan tawadhu’, ed.) Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
Kalimat (“dan orang-orang yang bersamanya”) di dalam ayat ini tentunya yang langsung dipahami secara teksnya adalah para shahabat, walaupun tidak menutup kemungkinan masuknya selain shahabat karena kalimat ma’ahu juga bermakna bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam agamanya. Sehingga Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menyatakan bahwa ini adalah keutamaan umat Islam khususnya para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, juz IV, hal. 215)
Sehingga para ulama menyatakan bahwa ayat ini adalah dalil yang sangat kuat tentang keutamaan para shahabat dan sekaligus haramnya mencerca dan menjatuhkan kedudukan mereka. Al-Imam Malik berdalil dengan firman Allah: (“Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”) bahwa orang-orang Syi’ah Rafidhah yang membenci para shahabat adalah kafir. Ibnu Katsir berkata: “Sekelompok ulama menyepakati ucapan Al-Imam Malik tersebut.” (Lihat Tafsirul Qur`anil ‘Azhim, juz IV, hal. 216)
Oleh karena itu Allah subhanahu wa ta’ala dengan tegas menyatakan bahwa keridhaan-Nya adalah untuk orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka. Hal ini bermakna perintah untuk seluruh kaum muslimin agar mengikuti para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menerapkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka jannah-jannah yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Makna kalimat (“dan orang-orang yang mengikuti mereka”) adalah orang-orang yang mengikuti generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar yaitu orang-orang yang datang belakangan, baik dari kalangan para shahabat (yakni yang datang setelah Fathu Makkah), maupun yang setelah mereka sampai hari kiamat.” (Fathul Qadir, juz 2 hal. 398)
Allah Pisahkan Munafiqin dari Para Shahabat
Di antara syubhat kaum Syi’ah dan kaum mutasyayyi’in (kaum yang terpengaruh syubhat Syi’ah) adalah ucapan: “Shahabat Nabi itu tidak semuanya mukmin, ada pula di antara mereka yang munafiq atau fasik,” “Masalah iman itu kan masalah hati, bisa jadi pada lahirnya mereka seperti mukmin akan tetapi hatinya kafir,” atau ucapan: “Siapa tahu Abu Bakar dan Umar ternyata munafiq.” Ucapan-ucapan syubhat dan tasykik (membuat ragu) ini sering mereka ucapkan untuk meragukan kemuliaan dan keimanan para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan pada akhirnya menjatuhkan kedudukan mereka.
Sesungguhnya, jika pertanyaan mereka (kaum Syi’ah) adalah: “Siapa yang tahu hati mereka?” Maka jawabannya sangat jelas. Allahlah Yang Maha Mengetahui hati mereka, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan sungguh Allah benar-benar mengetahui orang-orang yang beriman, dan sungguh Dia mengetahui orang-orang yang munafiq.” (Al-Ankabut: 11)
Allah berjanji akan memberitahu ciri-ciri mereka secara detail. Bahkan dalam beberapa kejadian Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memisahkan siapa munafiqin dan siapa mukmin yaitu para shahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kalian sekarang ini, hingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin)…” (Ali ‘Imran: 179)
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata: “…yaitu pasti Allah akan berikan suatu cobaan yang akan menampakkan wali-wali-Nya dan mempermalukan musuh-musuh-Nya, dan akan diketahui siapa mukmin yang sabar dan siapa munafik yang jahat…” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/468). Juga Allah subhanahu wa ta’ala mengancam orang-orang munafiq untuk membongkar kedok mereka dalam ayat-Nya:
“Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Allah tidak akan menampakkan kedengkian mereka ? Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatanmu.” (Muhammad: 29-30)
Para Shahabat adalah Orang-orang yang Telah Lulus Ujian
Allah subhanahu wa ta’ala memiliki hikmah dalam taqdir-Nya ketika menguji setiap orang yang mengaku beriman dengan berbagai macam ujian, sehingga terlihat siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa yang berdusta (munafiq).
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) berkata: ‘Kami telah beriman’, sedangkan mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)
Ujian pertama yang dihadapi oleh orang-orang yang beriman dari kalangan para shahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah gangguan dan penyiksaan dari kaumnya di Makkah. Sebagian mereka disiksa dengan api, sebagian lainnya diusir, dicela dan dicaci-maki dengan berbagai macam tuduhan yang keji.
Dengan demikian semua orang paham bahwa para shahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum hijrah adalah orang-orang yang terbukti keimanannya dan terbebas dari tuduhan munafiq, karena tidak mungkin ada seorang yang berpura-pura masuk Islam ketika itu dicaci-maki dan disiksa. Ujian berikutnya adalah perintah hijrah yaitu meninggalkan negerinya, tanah tumpah darahnya serta meninggalkan sanak saudaranya yang masih kafir untuk menaati perintah Allah dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Allah subhanahu wa ta’ala katakan tentang mereka:
“(Juga) bagi orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hasyr: 8)
Dalam ayat ini Allah memuji para Muhajirin dengan kalimat Ash-Shadiqin (orang-orang yang jujur dan benar imannya).
Demikian pula orang-orang yang beriman di Madinah, mereka menyambut dan mempersiapkan tempat bagi para Muhajirin, bahkan mereka lebih mementingkan tamu-tamunya tersebut melebihi diri dan keluarganya. Maka Allah pun memuji para shahabat dari kalangan Anshar tersebut.
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Dalam ayat ini Allah menjuluki kaum Anshar dengan kalimat Al-Muflihun (orang-orang yang akan mendapatkan kemenangan dan kemuliaan). Merekalah yang disebut As-Sabiqunal Awwalun yaitu Muhajirin dan Anshar, sebagaimana disebutkan dalam Surat At-Taubah ayat 100 di atas.
Jihad sebagai Tolok Ukur
Ketika kaum muslimin mulai kuat dan di Madinah bertambah banyak, muncullah orang-orang yang berpura-pura mengaku sebagai muslim, pengikut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini mereka lakukan agar terlindung dirinya dan hartanya, yakni karena takut dibunuh dan dirampas hartanya sebagai pampasan perang.
Tentu saja mereka itu adalah kaum yang paling tidak suka terhadap sesuatu yang akan mengorbankan diri dan hartanya. Sehingga ketika turun perintah untuk berjihad, terlihatlah yang paling pertama menolak dan menghindarinya -dengan alasan yang dibuat-buat-, adalah para munafiqin. Dengan perintah untuk berjihad ini terpisahlah dengan jelas antara dua golongan yaitu mereka yang lulus (mukmin) dan yang gagal (munafiq).
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kalian, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) keadaan kalian.” (Muhammad: 31). Tentang yang lulus pada ujian ini, Allah subhanahu wa ta’ala katakan:
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rizki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal: 74)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala kembali memuji mereka dan menggelari mereka sebagai Ash-Shadiqun yaitu orang-orang yang jujur dan benar keimanannya, bukan munafiqin. Adapun orang-orang yang tidak jujur alias pendusta, berpura-pura masuk Islam, tetapi memendam kekafiran dan penentangan dalam hatinya, mereka telah gagal dalam menghadapi ujian yang berat ini. Allah subhanahu wa ta’ala tampakkan kemunafiqan mereka dalam beberapa peristiwa.
Setiap kali mereka berupaya untuk menghindari jihad dengan berbagai kedustaan dan sumpah palsu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-Nya yang menceritakan alasan-alasan mereka itu. Allah subhanahu wa ta’ala katakan dalam ayat-ayat tersebut dengan kalimat: “Berkata munafiqin…” atau kalimat “Berkata dengan mulutnya yang tidak ada dalam hatinya…”
Sehingga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya mengerti tentang siapa orang-orang munafiqin. Bahkan kaum muslimin pun mengetahuinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Supaya diketahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan: “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu).” Mereka berkata: “Sekiranya kami mengetahui peperangan, tentulah kami mengikutimu.” Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari pada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.” (Ali ‘Imran: 167)
“Apakah kalian tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kalian diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kalian, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (Al-Hasyr: 11)
“(Ingatlah), ketika orang-orang munafiq dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 49)
Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Al-Ahzab: 12)
Selain dengan kalimat-kalimat tersebut di atas, Allah subhanahu wa ta’ala juga jelaskan tentang mereka dengan kalimat yang semakna dan senada seperti Al-Mukhallafuun yakni orang-orang yang menghindar dari jihad, “yang tidak jujur”, atau “yang di hatinya ada penyakit” dan lain-lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: “Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah: “Api jahannam itu lebih sangat panas(nya)”, jika mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81)
“Orang-orang Badui yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: “Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami,” mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya. Katakanlah: “Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah jika Dia menghendaki kemudharatan bagimu atau jika Dia menghendaki manfaat bagimu? Sebenarnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Fath: 11)
“Dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Mengapa tiada diturunkan suatu surat?’ Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka.” (Muhammad: 20)
Demikianlah, dengan adanya perintah jihad, terpisahlah antara orang-orang yang beriman dengan orang-orang munafiq. Dan para shahabat adalah orang-orang yang telah terbukti keimanan mereka, sehingga mereka sama sekali bukan kaum munafiq. Dengan keimanan yang jujur itulah Allah subhanahu wa ta’ala memberi kemuliaan yang demikian banyak kepada mereka.
Sumber : Majalah Asy Syariah
Disunting tanpa merubah maknanya.
Gambar dari publisher telegraph.