Pembagian Jihad Melawan Orang Kafir Secara Fisik (Bag. 1)
PublisherBagian Pertama
Penjelasan tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir dalam front fisik termasuk hal yang terpenting dalam masalah jihad ini. Telah tercatat dalam sejarah dari masa ke masa, kebanyakan orang yang salah melangkah dalam masalah jihad adalah disebabkan oleh ketidak-pahaman mereka tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir di front fisik ini. Dan ini adalah suatu ketergelinciran yang sangat besar, padahal pembagian tersebut sangatlah jelas dalam buku-buku fiqih yang menerangkan tentang masalah jihad, dan pembicaraan para ulama dalam masalah jihad semenjak dahulu hingga sekarang tidak keluar dari pembagian tersebut.
Jihad melawan orang-orang kafir secara fisik terbagi dua:
Pertama: Jihad thalab atau jihad hujum (jihad menyerang). Yaitu kaum muslimin yang memulai menyerang orang-orang kafir setelah memberikan kepada mereka tawaran masuk Islam atau membayar jizyah (upeti).
Dalil-dalil tentang hal ini jelas dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu tatkala beliau berada di Madinah, beliau mengirim pasukan dan bala tentara untuk menyeru manusia ke dalam Islam, dimana pengobaran peperangan dibangun di atas hal tersebut. Bahkan beliau menegaskan,
“Saya diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa “Tiada yang berhak diibadahi selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasul Allah”, menegakkan sholat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut maka terjagalah darah dan harta mereka kecuali dengan Islam dan hisab mereka disisi Allah.” [1]
Ini adalah nash yang sangat tegas tentang disyari’atkannya jihad hujum. Dan sejumlah ayat dan hadits yang telah berlalu penyebutannya, juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad hujum ini.
Dan jihad hujum ini hanya disyari’atkan bila terpenuhi tiga syarat [2]:
1. Dipimipin oleh seorang kepala negara.
2. Mempunyai kekuatan yang cukup.
3. Kaum muslimin mempunyai wilayah/negara kekuasaan.
Adapun syarat pertama,
Telah dijelaskan dalam sejumlah dalil bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) muslim. Diantara dalil-dalil tersebut, adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” [3]
Berkata Imam An-Nawawy (w. 676 H) menjelaskan hadits di atas, “Makna “seorang pemimpin adalah tameng” yaitu bagaikan tirai (pelindung), karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin, dan menahan sebagian manusia (untuk berlaku jelek) terhadap sebahagian yang lain, dan ia menjaga kehormatan Islam, dan dia ditakuti oleh manusia, serta manusia takut terhadap kekuasaannya. Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” [4]
Dan berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin dan menahan gangguan sebahagian manusia terhadap sebahagian yang lainnya. Dan yang diinginkan dengan imam disini adalah setiap orang yang bertanggung-jawab terhadap segala urusan manusia.” [5]
Dan dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:
“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan, saya khawatir kejelekan itu akan menimpaku,
maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam kejahiliyahan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?”
Beliau menjawab: “Iya.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan,”
Beliau menjawab, “Iya, dan telah ada asapnya.”
Saya bertanya, “Apakah asapnya?”
Beliau menjawab, “Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.”
Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.”
Beliau menjawab, “Iya, da’i –da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.”
Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?”
Beliau menjawab: “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan lisan-lisan kita.”
Saya berkata: “Apa perintahmu kepadaku jika saya mendapati hal tersebut?”
Beliau bersabda: “Engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.”
Saya berkata: “Jika kaum muslimin tidak mempunyai jama’ah dan imam.”
Beliau berkata: “Tinggalkan seluruh firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal tersebut.” [6]
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang muslim harus komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Maka orang yang keluar berjihad tanpa disertai imam atau tidak mendapatkan izin dari imam kaum muslimin maka ia dianggap telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan imam mereka dan jihad tersebut terhitung jihad bid’ah yang tidak disyari’atkan.
Karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau diajak untuk melepaskan baiatnya dari pemerintahan Yazîd bin Mu’awiyah dan membaiat Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah, beliau menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan ghodar (melanggar penjanjian) dan beliau berdalil dengan hadits,
“Diangkat bagi setiap orang yang ghodar bendera pada hari kiamat, dikatakan: “Inilah ghodarnya si fulan”.” [7]
Dan para ulama telah sepakat bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang pemimpin muslim.
Berkata Ibnu Qudamah (w. 620 H), “Dan perkara jihad kembali kepada seorang imam (pemimpin) dan ijtihadnya, dimana rakyat wajib taat kepadanya pada apa yang ia pandang dalam hal tersebut.” [8]
Dan diantara keyakinan dalam agama yang disepakati oleh para ulama dan dianggap tersesat orang yang menyimpang darinya menurut Imam Ahmad (w. 241 H), “Dan (kewajiban) berperang bersama para penguasa –yang baik maupun fajir- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidak ditinggalkan (sama sekali).” [9]
Dan Imam Ath-Thahawy (w. 321 H) menyatakan dalam penjelasan aqidah beliau yang masyhur, “Adapun haji dan jihad bersama penguasa kaum muslimin –yang baik maupun fajirnya- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidaklah dibatalkan oleh suatu apapun dan tidak ada yang menggugurkannya.” [10]
Juga Imam Al-Muzany (w. 264 H), murid Imam Asy-Syafi’iy, menjelaskan bahwa diantara hal yang disepakati oleh para ulama terdahulu hingga masa beliau, “Dan jihad itu bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang jahat, (demikian halnya) ibadah haji.” [11]
Dan bekata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) berpendapat (wajibnya) menegakkan haji, jihad dan (sholat) jum’at bersama para penguasa, yang baik maupun yang fajir.” [12]
Dan berkata Imam besar dan ahli fiqih di zaman ini, Syaikh Muhammad bin Shôlih Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Tidak boleh suatu pasukan mengobarkan peperangan kecuali dengan izin dari imam, bagaimanapun keadaan yang terjadi. Sebab yang diperintah untuk menegakkan perang dan jihad adalah para penguasa, bukan individu manusia. Individu manusia hanyalah ikut kepada pihak yang berwenang (Ahlul halli wal ‘aqdi). Maka tidak seorangpun boleh melakukan perang tanpa seizin imam kecuali hanya dalam rangka membela diri, (yaitu) apabila musuh menyerang secara tiba-tiba, dan mereka khawatir kebinasaan karenanya, maka ketika itu mereka membela diri-diri mereka dan wajib mengobarkan peperangan.
Sesungguhnya (berperang tanpa pemimpin) tidak diperbolehkan karena perkara (jihad) tergantung pada seorang imam, maka berperang tanpa izinnya adalah melanggar dan melampaui batasan-batasannya. Andaikata dibolehkan bagi manusia untuk berperang tanpa izin imam maka akan terjadi kekacauan, siapa saja yang ingin (berperang) maka ia akan menunggangi kudanya dan berperang. Dan andaikata manusia diberi kelapangan dalam hal tersebut maka akan terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Mungkin akan terjadi sekelompok manusia (yang nampaknya) bersiap untuk memerangi musuh dan ternyata mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap penguasa atau mereka hendak melakukan kesewenang-wenangan terhadap sekelompok manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9)
Karena tiga alasan ini dan juga alasan-alasan lainnya maka tidaklah boleh melakukan perang kecuali dengan seizin imam.” [13]
Demikianlah sedikit keterangan dalam masalah ini, yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan penegakan jihad hujum tanpa seizin imam. Hal ini merupakan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dimana tidak pernah ternukil dalam sepotong riwayat pun bahwa para shahabat menegakkan jihad tanpa seizin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang merupakan Imam mereka, baik di fase Makkah maupun fase Madinah.
Maka kami tegaskan disini, siapa yang keluar dari jalan ini, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dan bersiaplah menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)
Dan juga kami tegaskan berdasarkan keterangan-keterangan yang telah lalu bahwa “Tidak ada jihad di bawah bendera kafir” dan “Tidak ada jihad tanpa bendera seorang pemimpin muslim”.
[1] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 25 dan Muslim no. 22. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 1399, 2946, 6924, 7284, Muslim no. 20, 21, Abu Daud no. 1556, 2640, At-Tirmidzy no. 2611, 2612, An-Nasa`i 5/14, 6/4-5,7, 7/77-79 dan Ibnu Majah no. 71, 3927 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan juga dikeluarkan oleh Muslim no. 21 dan Ibnu Majah no. 3928 dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 392, Abu Daud no. 2641-2642, At-Tirmidzy no. 2613 dan An-Nasa`i 6/6, 7/75-76 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Thoriq bin Asy-yam radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 23. Dan Al-Kattani menyebutkannya sebagai hadits mutawatir dalam Nazhmul Mutanatsir Min Al-Ahadîts Al-Mutawatir hal. 50-51.
[2] Dari kitab Mujmal Masa`il Al-Îman Al-‘Ilmiyah fii Ushul Al-‘Aqîdah As-Salafiyah hal. 31 (Penerbit Markaz Al-Imam Al-Albany, Amman, cet. pertama 1421 H /2000 M) oleh Markaz Al-Imam Al-Albany. Dan kitab ini telah dibaca oleh sejumlah ulama, diantaranya; Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Prof. DR. Rabî’ bin Hadi Al-Madkhaly, Syaikh Sa’ad Al-Hushoyyin, Syaikh DR. Husain alu Asy-Syaikh, Syaikh DR. Washiyyullah ‘Abbas, Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Ba Zamul, Syaikh DR. ‘Abdussalam Barjis, Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al-Madkhly dan lain-lainnya.
[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155.
[4] Syarah Muslim 12/230.
[5] Fathul Bari 6/136.
[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3606 dan Muslim no. 1847.
[7] Telah berlalu takhrijnya pada hal. .
[8] Al-Mughny 13/16.
[9] Ushulul Sunnah.
[10] Al-‘Aqîdah Ath-Thahawiyah hal. 437 -dengan syarh Ibnu Abil ‘Izzi dan tahqîq Al-Albany-.
[11] Syarhus Sunnah karya Al-Muzany hal. 88.
[12] Majmu’ Al-Fatawa 3/158.
[13] Syarhul Mumti’ 8/25-26.
(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik.html)
Sumber: salafy.or.id/blog/2009/09/21/pembagian/
Disunting tanpa mengurangi maknanya.
Gambar dari publisher telegraph.