<3

<3

superara

Tentang bayang yang sulit menjadi satu.

Tentang hati yang tak tahu di mana ia harus berlabuh.

Tentang aku dan kamu yang mustahil bisa bersatu.


•••


“Ra! Tolong bawakan ini ke Levi ya, terima kasih,” wanita muda itu tersenyum lembut ke arah Rara. Rara menerima sesuatu tersebut yang terlihat seperti surat lalu menganggukkan kepalanya.


“Karna tidak bisa ketemu jadi main surat-suratan ya sekarang.” Rara dan wanita tadi tertawa pelan.


“Benar, hanya ini caranya kami berkomunikasi. Sejujurnya Kakak sangat merindukan dia.”


Rara memicingkan matanya, menatap ‘Kakak’ di depannya dengan raut jahil. “Baru seminggu tidak ketemu, Kak. Dasar orang dimabuk cinta.”


Wanita bernama Petra itu terkekeh pelan, ia lalu mengacak-acak rambut Rara yang membuatnya berantakan dalam sekejap, “jangan goda Kakak terus, Ra. Antarkan suratnya.”


“Siap Kakak dimabuk cinta!”


•••


Rara berjalan menelusuri lorong yang panjang, hendak menuju kamar calon Kakak iparnya, Levi Ackerman. Rara tidak lagi memancarkan wajah cerianya semenjak pengumuman di hari itu. Hatinya retak, mulutnya ingin menjerit, matanya ingin menangis. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa, ia mencintai sosok Levi, namun takdir berkata lain.


Petra merupakan anak pertama, ia akan mewarisi tahta, bukan Rara. Levi adalah pewaris tahta dari kerajaan hebat, tak pantas jika ingin bersanding dengan Rara. Walaupun ia selamanya tidak akan rela, Rara harus bisa bersikap dewasa, menerima semuanya dengan lapang dada.


Melihat orang yang kita cintai mencintai orang lain, itu sangat tak mudah. Rara menjadi saksi kedua orang itu saling jatuh cinta, di depan matanya, namun ia hanya bisa tersenyum parau seraya mengucapkan ‘selamat’.


Entah mengapa memikirkan hal itu membuat dada Rara kembali sesak. Ia menggenggam erat surat di tangannya.


Kenapa bukan aku?


Kenapa harus dia?


Haruskah aku mengorbankan perasaanku demi melihat kalian bahagia?


Bagaimana denganku?


Rara mengetuk pintu besar kamar Levi. Seketika pintu itu terbuka, menampilkan sosok pria tampan yang selama ini selalu Rara kagumi. Rara menampilkan senyumnya.


“Hai calon Kakak ipar.” Rara menerobos masuk kamar Levi dengan paksa. Ia meletakkan surat dari Petra di atas meja, dan berjalan ke balkon. Bulan sudah menggantikan posisi matahari, bintang berkelip indah. Suasananya sangat damai, namun tidak dengan hati Rara yang terus menerus berisik.


“Sudah aku bilang jangan panggil begitu ‘kan?” Levi menutup pintu, mengambil surat di atas meja lalu berdiri di samping Rara.


“Memangnya kenapa? ‘Kan Kakak memang calon Kakak iparnya Rara.”


Levi membuka surat itu, “terlalu kaku. Panggil saja seperti biasa.”


“Iya iya, nanti Rara dihukum mati kalau tidak patuh.”


Keduanya terkekeh. Levi membaca surat itu dengan seksama. Rara masih menatap bintang-bintang yang selalu berhasil mendamaikan hatinya.


Peraturan kerajaan. Jika ada yang ingin menikah, maka calon pengantin tidak boleh bertemu selama satu bulan. Masing-masing calon pengantin juga tidak boleh keluar dari kamar mereka, namun orang lain bebas jika ingin bertemu mereka. Maka dari itu Rara menjadi perantara bagi Levi dan Petra untuk komunikasi. Rara akan ke kamar Levi setiap seminggu sekali. Ini Minggu pertamanya ia ke sana, masih sisa tiga kali kesempatan lagi untuk gadis itu bertemu dengan Levi.


Sebelum Levi menikah tentunya.


“Apa yang Kak Petra katakan di sana? Pasti kalimat-kalimat orang dimabuk cinta.” Rara kembali menatap Levi yang tampak senyum-senyum sendiri sehabis membaca surat itu.


Levi balas menatap Rara, “kau benar. Hanya kalimat-kalimat orang dimabuk cinta.” Levi terkekeh, namun Rara hanya tersenyum.


Hatinya sakit, namun di saat yang sama ia juga bahagia kalau Levi bahagia.


Mereka mengobrol di balkon selama beberapa jam, membahas hal-hal random yang mereka lakukan selama seminggu ini. Levi mengeluh tentang pekerjaannya yang semakin banyak setelah pengumuman pernikahannya, sedangkan Rara hanya tertawa, membuat Levi sesekali menghela napas jengkel. Rara cerita mengenai persiapan pernikahannya, di mana ia harus mengatur dekorasi dan undangan tamu-tamu pernikahan.


Keduanya bercerita dengan puas, hingga jam besar kerajaan berbunyi, menandakan sudah pukul 12 malam.


“Sudah larut, kau pulang lah. Hati-hati diculik hantu ksatria berbadan kekar yang wajahnya hancur dan-”


“Dan membawa pedang berdarah di tangannya. Kamu tau, Kak? Itu tidak berhasil lagi untuk bikin Rara takut.”


Levi tersenyum lalu mengacak rambut Rara perlahan, “ternyata kau sudah besar ya.”


Rara memanyunkan bibirnya kesal, “memangnya Rara itu apa? Bangsa elf?” Levi lagi-lagi terkekeh. Melihat Rara yang kesal entah mengapa selalu berhasil membuat beban pekerjaannya tidak lagi terasa.


Rara pamit, ia keluar dari kamar Levi. Walaupun kedua calon pengantin tak dapat bertemu, namun mereka di tempatkan dalam satu istana, yang di mana pada saat ini mereka sedang berada di istana milik kerajaan Levi.


Kamu bahagia dengannya, namun tidak denganku. Apakah takdir memang sekejam ini?


•••


Ini menjadi kedua kalinya Rara berkunjung ke kamar Levi sebagai ‘perantara’, yang artinya sudah Minggu kedua. Tinggal dua Minggu lagi pernikahan akan dimulai.


“Halo calon Kakak ipar.”


“Sudah ku bilang jangan panggil begitu, dasar anak nakal.”


Rara tertawa, begitu pun dengan Levi. Seperti biasa Levi akan membaca surat dari Petra lalu bercerita tentang pengalaman seminggunya kepada Rara, dan sebaliknya. Seperti biasa pula mereka akan berdiri di balkon kamar Levi seraya melihat bintang-bintang yang menghiasi langit malam.


•••


Sudah Minggu ketiga, Rara lagi-lagi mengunjungi kamar Levi. Ia mengetuk, dipersilahkan masuk, lalu jalan menuju balkon.


Setelah membaca surat, Levi berdiri di samping Rara, ikut melihat bintang bersama gadis itu.


“Tinggal seminggu lagi. Saat Rara ke sini untuk terakhir kali, besoknya kalian akan menikah. Rara tidak sabar mau pakai gaun baru pemberian Mama!”


Levi tersenyum tipis, “apa kau tidak ingin menikah juga, Ra? Atau mau aku carikan calon suami?”


Rara tertawa nanar. Sakit sekali rasanya disuruh mencari pasangan oleh seseorang yang ingin kita jadikan pasangan. “Emang ada yang mau sama Rara ya? Musang peliharaan kerajaan saja mungkin tidak mau sama Rara.”


“Pasti ada. Dan aku yakin calon suamimu akan suka menekan hidungmu supaya kau bersin,” Levi menekan hidung Rara dengan telunjuknya yang berhasil membuat Rara bersin sampai tiga kali. Levi tertawa, sedangkan Rara sangat kesal dibuatnya.


“Kak! Jangan jahil!”


“Iya maaf habisnya kau lucu,” Levi kembali tertawa.


Tak lama kemudian mereka hening untuk beberapa saat. Hingga Rara memecahkan keheningan tersebut. “Kak, kalau Kakak sudah menikah nanti. Apa Rara masih bisa ketemu Kakak?”


Levi menatap Rara yang sudah menatapnya duluan. “Tentu saja. Kau bisa berkunjung kapan pun kau mau, Ra. Memangnya kenapa?”


Rara tersenyum tipis. “Tidak apa-apa. Hanya takut kita tidak bisa ketemu dan mengobrol seperti ini lagi. Rasanya sepi di saat kalian sudah menikah nanti. Kalian akan sibuk mengurus kerajaan bersama atau bahkan mengurus anak. Kita tidak akan bisa main kejar-kejaran bersama, memancing ikan, mengambil berri hutan, me-”


Kalimat Rara terputus di saat air mata tiba-tiba menetes dari mata cantik gadis itu. Levi tersentak pelan. Rara mengelap air matanya dengan jempol. “Eh.. Rara menangis.”


Levi ikut menyeka air mata yang entah mengapa terus-terusan mengalir. “Shh... Jangan menangis lagi. Kita masih bisa bertemu, oke? Aku tidak akan meninggalkanmu untuk waktu yang lama. Aku janji akan selalu menyempatkan berkunjung, supaya kita bisa mengobrol seperti yang biasa kita lakukan,” Levi memeluk Rara yang masih menangis, berusaha menenangkan gadis itu.


Aku sungguh tidak bisa menentang untuk siapa hatimu kau taruh.

Aku sungguh tidak masalah jika kau bahagia dengan pilihanmu.

Aku hanya kasihan dengan hatiku, yang tak tahu apa-apa namun harus tersakiti dengan cara yang paling kejam.


Rara membalas pelukan Levi. Pelukan yang mungkin tidak akan pernah lagi ia rasakan.


Aku sungguh akan berusaha merelakanmu.

Meski harus mengorbankan perasaan dan jiwaku.


•••


Hari pernikahan telah tiba. Semua penjuru kerajaan sedang berbahagia. Bunga tergeletak di mana-mana. Seluruh rakyat merayakan akan hari bahagia ini. Bahkan semua orang di dunia merayakannya. Tak heran karena Levi merupakan salah satu Pangeran yang paling berpengaruh di dalam jalannya pemerintahan.


Festival ada di mana-mana, semua orang bersorak gembira. Banyak pendatang dari negeri lain yang ikut menghadiri acara pernikahan. Pelabuhan ramai oleh kapal-kapal bangsawan. Musik gembira bertabuh di seluruh penjuru kerajaan. Suasananya sangat menyenangkan.


Kini saatnya mengucapkan sumpah pernikahan. Levi menggenggam erat tangan wanita cantik di depannya, Petra. Namun satu hal menarik perhatian Levi sedari tadi. Pikirannya tak berhenti tertuju pada seseorang, yang tak lain tak bukan adalah Rara.


Di mana gadis itu?


Bahkan kemarin Rara tidak menemuinya di kamarnya.


Levi berusaha tenang. Mungkin Rara sedang sangat sibuk di luar sana, pikirnya.


“Levi Ackerman, apakah kau bersedia menerima Petra sebagai istrimu?”


Baru saja Levi ingin berbicara, seorang pelayan tiba-tiba membuka pintu aula pernikahan dengan keras, menarik perhatian semua orang yang ada di dalamnya. Sang Raja, Ayah dari Petra dan Rara, menatap dalam pelayan itu.


Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Lantas sang Raja berdiri, diikuti sang Ratu.


“Hentikan pernikahan ini! Siapa pun yang menentang perintahku, aku tak segan menghunuskan pedangku kepadanya!” sang Raja berteriak lantang. Lantas semua orang di dalam semakin kebingungan, terutama Levi.


Tangan Petra gemetar, ia menatap Levi parau. “Maaf Levi..”


Sang Raja, Ratu, dan Petra mulai berlari meninggalkan aula pernikahan. Levi sampai mematung dibuatnya. Hingga Levi menghampiri pelayan yang tadi, ingin bertanya apakah ada masalah.


“Tunggu. Ada apa ini? Kalian menyembunyikan sesuatu dariku?” Levi terlihat sedang menahan amarahnya.


Pelayan itu menunduk, ia meminta maaf kepada Levi terus-terusan. Sekujur tubuhnya gemetar karena takut.


“Aku tidak butuh kata maaf! Katakan padaku apa yang terjadi,” sentak Levi.


“Tuan Putri...”


“...menghembuskan napas terakhirnya.”


•••


Aku bodoh. Aku sangat bodoh. Mengapa aku terus-terusan membohongi perasaanku sendiri?


Kalimat itu selalu terputar di benak Levi. Sudah seminggu semenjak kematian Rara yang disebabkan racun tanaman yang tak sengaja tergores pada tangannya saat sedang bermain di hutan. Selama seminggu pula Levi terus terdiam di kamar Rara yang gadis itu tempati selagi di kerajaannya.


Hatinya hampa, kosong. Semua orang khawatir akan keadaannya. Namun Levi terus-terusan menolak orang yang ingin menenangkannya, termasuk Ibunya sendiri. Jikalau merasa sudah tidak kuat, ia hanya akan minum air putih. Levi kacau sekali, rambutnya acak-acakan, pakaiannya masih yang ia kenakan pada saat hari pernikahan. Matanya sembab dikarenakan menangis terus-terusan.


Tak menyangka hari itu akan menjadi hari terakhir ia bersama Rara. Tak menyangka hari itu hari terakhir ia melihat Rara. Ternyata pelukan saat itu adalah pelukan perpisahan.


Mengapa tidak ada yang memberi tahunya kalau Rara sedang sakit?


Mengapa?


Ia bisa saja menolong Rara. Ia tidak peduli dengan tradisi tidak boleh keluar kamar. Seandainya.. Seandainya ada yang memberi tahu dirinya.


Mengapa?


Mengapa Tuhan mengambil Rara dari dirinya?


Tangan Levi terus menggenggam secarik kertas dengan tulisan Rara di dalamnya. Yang tak sengaja ia temukan di bawah bantal.


‘Seminggu lagi acara pernikahan akan dimulai. Rara tidak sabar ingin lihat wajah Kak Levi yang tampan walaupun tingkahnya seperti kambing!


Tadi Kak Levi peluk Rara, hangat dan nyaman. Kak Petra beruntung bisa merasakan pelukan itu untuk selamanya. Rara iri, Rara cemburu. Bagaimana juga Rara masih mencintai Kak Levi, entah sampai kapan perasaan ini akan hilang. Dan Rara pikir perasaan ini akan selamanya menetap.


Senyum itu.. Ah, rasanya Rara ingin lihat senyum Kak Levi terus-terusan. Tapi alasan Kak Levi senyum itu karena Kak Petra, bukan karena Rara. Alasan mata Kak Levi berbinar itu karena Kak Petra, bukan karena Rara. Rara hanya sebutir debu kalau dibandingkan dengan Kak Petra.


Terus tadi Kak Levi suruh Rara cari suami. Dia tidak sadar ya? Hati Rara akan selalu sepenuhnya untuk dia. Rasanya hati ini memang diciptakan untuk mencintai Kak Levi. Ugh! Rara suka gombalin Kak Levi dan Kak Petra pakai kalimat “orang dimabuk cinta” padahal itu Rara sendiri! Haha!


Rara terlalu pengecut. Rara hanya bisa ungkapin perasaan Rara dengan sebuah alat tulis dan selembar kertas. Sejujurnya Rara capek mencintai dalam diam seperti ini. Rara mau Kak Levi jadi punya Rara, tapi kenapa? Kenapa Rara harus mengalah? Apa Rara boleh egois? Tidak. Rara tidak boleh hancurin kebahagiaan mereka. Rara itu anak baik, ‘kan? Kak Levi pernah bilang seperti itu.


Mungkin ini tantangan terberat dalam hidup Rara. Rara harus siap melihat mereka bahagia bersama. Atau saat mereka punya anak nanti... Haha, sejujurnya Rara tidak kuat. Entah seberapa rapuh hati Rara nanti. Tapi semoga Rara kuat! Karena Rara itu mirip banteng kalau kata Kak Levi!


Bahagia selalu ya Kak Levi. Rara di sini selalu mencintai Kakak. Mau sampai bintang tidak berkelip, sampai matahari tidak bersinar, sampai angin berhenti berhembus, sampai Pak Ganas sudah tidak ganas, Rara akan tetap cinta sama Kakak. Rara akan menjauh agar kalian bisa bahagia. I love you more than everything in this world, Kak.’


“I love you more than everything in this world too, Rara.” Levi kembali memeluk selembar kertas itu seraya menangis.


“Maaf.. Aku sangat bodoh. Kenapa aku baru sadar kalau aku mencintaimu setelah kau pergi? Entah sudah berapa banyak air mata yang sudah keluar dari matamu, Ra. Aku benar-benar minta maaf. Izinkan aku menjagamu sekali lagi. Izinkan aku jadi malaikat pelindungmu sekali lagi. Kenapa kau harus pergi? Bukankah kau masih ingin menangkap kunang-kunang bersama?” Levi menangis terisak, ia sepertinya akan merasa gila.


Sejak saat itu, Levi memutuskan untuk tidak akan menikah dengan siapa-siapa. Sampai ia tua, ia tidak butuh sosok Ratu di sampingnya. Ia kembali menjadi sosok yang dingin dan tegas. Tidak seorang pun yang berani menatap mata tajamnya.


Namun dibalik sifat dan tingkahnya yang dingin, ia selalu mengenakan mahkota bunga berwarna-warni di kepalanya, yang pernah Rara rangkai untuk dirinya.


Levi duduk di depan meja kerjanya. Lelaki itu melepas mahkota di kepalanya, menatap barang itu dengan cukup lama, lalu tak lama tersenyum tipis. Sepintas ingatan melintas di pikirannya.


“Kalo Kakak udah jadi Raja, Rara mau Kakak pakai mahkota ini ya! Susah membuatnya. Rara harus maling bunga dari kursi tahta Ayah, dan benang emas punya Mama.”


Levi mengambil alat tulis dan selembar kertas. Ia mulai menuliskan sesuatu.


𝓗𝓪𝓲, 𝓡𝓪𝓻𝓪

𝓐𝓴𝓾 𝓲𝓷𝓰𝓲𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓰𝓪𝓽𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓼𝓮𝓼𝓾𝓪𝓽𝓾


𝓑𝓪𝓰𝓪𝓲𝓶𝓪𝓷𝓪 𝓴𝓪𝓫𝓪𝓻𝓶𝓾 𝓭𝓲 𝓼𝓪𝓷𝓪? 𝓐𝓴𝓾 𝔂𝓪𝓴𝓲𝓷 𝓴𝓪𝓾 𝓼𝓾𝓭𝓪𝓱 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓶𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓼𝓪𝓴𝓲𝓽 𝓵𝓪𝓰𝓲, 𝓴𝓪𝓾 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓽𝓮𝓷𝓪𝓷𝓰 𝓼𝓮𝓴𝓪𝓻𝓪𝓷𝓰


𝓚𝓪𝓾 𝓽𝓪𝓾, 𝓹𝓮𝓻𝓷𝓲𝓴𝓪𝓱𝓪𝓷 𝓴𝓪𝓶𝓲 𝓭𝓲𝓫𝓪𝓽𝓪𝓵𝓴𝓪𝓷. 𝓓𝓪𝓷 𝓪𝓴𝓾 𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓼𝓮𝓴𝓪𝓵𝓲 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓶𝓮𝓶𝓹𝓮𝓻𝓶𝓪𝓼𝓪𝓵𝓪𝓱𝓴𝓪𝓷𝓷𝔂𝓪, 𝓫𝓪𝓱𝓴𝓪𝓷 𝓪𝓴𝓾 𝓶𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪 𝓵𝓮𝓰𝓪. 𝓢𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓵𝓮𝓰𝓪


𝓐𝓷𝓭𝓪𝓲 𝓪𝓴𝓾 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓶𝓮𝓷𝔂𝓪𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓵𝓮𝓫𝓲𝓱 𝓪𝔀𝓪𝓵 𝓽𝓮𝓷𝓽𝓪𝓷𝓰 𝓹𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪𝓪𝓷𝓴𝓾, 𝓹𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪𝓪𝓷 𝓴𝓲𝓽𝓪. 𝓜𝓾𝓷𝓰𝓴𝓲𝓷 𝓴𝓲𝓽𝓪 𝓶𝓪𝓼𝓲𝓱 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓫𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓼𝓮𝓴𝓪𝓻𝓪𝓷𝓰, 𝓴𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓪𝓴𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓷𝓭𝓾𝓷𝓰𝓲𝓶𝓾


𝓐𝓴𝓾 𝓼𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓶𝓮𝓻𝓲𝓷𝓭𝓾𝓴𝓪𝓷𝓶𝓾, 𝓫𝓮𝓻𝓬𝓪𝓷𝓭𝓪 𝓭𝓮𝓷𝓰𝓪𝓷𝓶𝓾, 𝓶𝓮𝓷𝓪𝓷𝓰𝓴𝓪𝓹 𝓴𝓾𝓷𝓪𝓷𝓰-𝓴𝓾𝓷𝓪𝓷𝓰, 𝓶𝓮𝓵𝓲𝓱𝓪𝓽 𝓫𝓲𝓷𝓽𝓪𝓷𝓰 𝓭𝓪𝓻𝓲 𝓫𝓪𝓵𝓴𝓸𝓷. 𝓐𝓷𝓭𝓪𝓲 𝔀𝓪𝓴𝓽𝓾 𝓫𝓲𝓼𝓪 𝓭𝓲𝓹𝓾𝓽𝓪𝓻. 𝓐𝓴𝓾 𝓲𝓷𝓰𝓲𝓷 𝓶𝓮𝓻𝓪𝓼𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓵𝓪𝓰𝓲 𝓴𝓮𝓷𝓪𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓲𝓽𝓾 𝓫𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓪𝓶𝓾


𝓐𝓴𝓾 𝓶𝓮𝓷𝓬𝓲𝓷𝓽𝓪𝓲𝓶𝓾, 𝓡𝓪𝓻𝓪. 𝓢𝓪𝓽𝓾 𝓱𝓪𝓵 𝔂𝓪𝓷𝓰 𝓴𝓪𝓾 𝓱𝓪𝓻𝓾𝓼 𝓽𝓪𝓾, 𝓪𝓴𝓾 𝓽𝓲𝓭𝓪𝓴 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓲𝓴𝓪𝓱 𝓼𝓪𝓶𝓹𝓪𝓲 𝓴𝓪𝓹𝓪𝓷𝓹𝓾𝓷. 𝓚𝓪𝓻𝓮𝓷𝓪 𝓱𝓪𝓽𝓲𝓴𝓾 𝓱𝓪𝓷𝔂𝓪 𝓾𝓷𝓽𝓾𝓴𝓶𝓾


𝓓𝓲 𝓴𝓮𝓱𝓲𝓭𝓾𝓹𝓪𝓷 𝓼𝓮𝓵𝓪𝓷𝓳𝓾𝓽𝓷𝔂𝓪, 𝓪𝓴𝓾 𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓶𝓮𝓷𝓮𝓶𝓾𝓴𝓪𝓷𝓶𝓾. 𝓐𝓴𝓪𝓷 𝓴𝓾𝓹𝓪𝓼𝓽𝓲𝓴𝓪𝓷 𝓴𝓲𝓽𝓪 𝓪𝓴𝓪𝓷 𝓫𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓪. 𝓑𝓪𝓱𝓪𝓰𝓲𝓪 𝓼𝓮𝓵𝓪𝓶𝓪𝓷𝔂𝓪


𝓨𝓸𝓾𝓻 𝓴𝓲𝓷𝓰,

𝓛𝓮𝓿𝓲 𝓐𝓬𝓴𝓮𝓻𝓶𝓪𝓷


•••


“Anak-anak, hari ini kelas mewarnai. Kalian sudah membawa krayon masing-masing ‘kan?”


“Sudah, Bu!” anak-anak itu menjawab dengan serempak seraya mengangkat krayon mereka ke atas.


“Bagus sekali! Sekarang kalian mewarnai gambar yang ada di atas meja kalian sesuai dengan imajinasi masing-masing ya!”


Guru itu tersenyum di saat anak muridnya mulai mewarnai dengan krayon mereka. Namun pandangannya tertuju pada seorang anak kecil yang terlihat kebingungan. “Rara, ada apa? Kamu tidak membawa krayon?”


Anak kecil bernama Rara itu mengangguk. “Maaf Bu guru.. Tadi Ra udah bawa krayonnya, tapi kayaknya ketinggalan di atas meja makan.”


“Apa ada yang ingin berbagi krayon dengan Rara?” semua anak murid menatap secara bergantian, tidak ada yang ingin meminjamkan krayon.


“Bu guru.. ngga ada yang mau berbagi krayon..” Rara mulai meneteskan air matanya, menangis. Guru itu menghampiri Rara, menyeka air matanya.


“Ibu pinjamkan krayon sekolah ya, tunggu sebentar. Jangan menangis, anak cantik.”


Rara menatap punggung Ibu guru yang semakin menjauh. Ia mengusap-usap air matanya dengan punggung tangan.


“Kamu bisa pakai krayon punyaku. Jangan menangis, aku tidak suka melihat orang menangis. Cengeng.”


Rara mendongak menatap anak laki-laki yang sepertinya beda setahun dengannya. Anak laki-laki itu meletakkan krayonnya di atas meja Rara, sembari menatap Rara dengan sorot dingin.


“Terima kasih...”


“Ingusmu keluar. Kamu ini jorok sekali ya.” Anak laki-laki itu mengambil tisu dan memberikan tisunya kepada Rara.


Rara menatap anak laki-laki itu dengan bingung seraya membersihkan hidungnya menggunakan tisu. Anak itu memberikan bantuan namun juga mengata-ngatai dirinya. Sungguh orang yang aneh namun baik hati.


“Terima kasih, namamu siapa? Ayo kita menjadi teman. Sebenernya Ra takut temenan, tapi kamu keliatan seperti orang baik.” Rara menyodorkan tangannya, hendak bersalaman.


Anak laki-laki itu membalas salamannya.


“Levi.”


“Levi Ackerman.”

Report Page