27

27

nat

Setelah melewati masa-masa suram di sekolah dengan memantau papan tulis dengan berbagai macam tulisan serta angka yang sama sekali tidak dimengerti oleh para siswa, akhirnya jam pulang telah tiba.

Yang sebelumnya tertidur pulas di meja, kini kepalanya terangkat dengan semangat. Yang sebelumnya lemah, letih, lesu, kini sudah siap keluar gerbang dengan wajah secerah matahari di siang bolong.

Natta berdiri di depan kelas untuk menunggu Caska yang masih berada di dalam karena adanya kegiatan yang membuat Caska tertahan —piket kelas.

Padahal Caska ingin segera menghabiskan sorenya dengan berjalan pulang bersama kekasihnya itu. Namun, ketua kelas yang galaknya melebihi tirex mencegatnya di tengah pintu sembari melipat kedua tangannya di depan dada, membuat Caska akhirnya mengalah meskipun rasa terpaksa sudah terkumpul di dalam jiwa raga.

Setelah berkutat dengan kemoceng, sapu, juga penghapus selama lima belas menit, Caska melempar ketiga benda itu di masing-masing tempat. Lalu dengan kecepatan seribu bayangan, lelaki itu menarik tangan Natta dilanjutkan berlari menuju gerbang utama. Mereka tidak peduli dengan ketua kelas yang sudah teriak memanggil namanya sebanyak seratus kali.

Mereka berhenti karena merasa lelah, nafas keduanya terengah.

“Ini kita udah jauh kan, ya?” Tanya Caska susah payah karena nafasnya belum teratur.

“Aska.. kita baru lima langkah dari gerbang utama...”

Jawaban Natta membuat Caska sedikit melongo tak percaya, lelaki itu menoleh ke belakang. Masih terlihat jelas kegiatan pak satpam sekolahnya yang sedang membantu para siswa menyeberang.

Caska masih melongo. Ekspresinya kini benar-benar seperti orang dongo.

“Nat? Serius?”

Natta sangat ingin menarik rambut lelaki disampingnya ini dengan kuat. Namun ia urungkan karena tidak ingin melihat Caska botak.

”Nih... Minum dulu.”

Natta menyodorkan air minum miliknya. Memang tidak banyak, setidaknya cukup untuk Caska minum agar lelaki itu tidak pingsan karena dehidrasi.

Caska mengambil botol yang Natta berikan, lalu meminumnya dengan sekali tegukan.

“Makanya jangan banyak gaya pake la—”

Omelan Natta terhenti ketika Caska memberikan botolnya lagi.

“Airnya masih ada seperempat, lo minum gih.”

“Gak. Gue gak haus. Lagian itu airnya tinggal dikit tadi, abisin aja sekalian.”

“Kalau gua minum, lo juga harus minum.”

Kini langkah keduanya sudah berada di halaman kost yang Natta tinggali.

“Masuk ke dalem langsung ganti baju, terus bersih-bersih badan, dilanjut istirahat.” Ujar Caska sambil mengelus pelan rambut Natta.

Mata Natta terpejam nyaman, ia sangat suka perlakuan yang Caska berikan.

“Lucu.” Batin Caska.

“Gih masuk. Istirahat yang cukup, sayangnya Caska.”

Natta mengangguk menurut, lalu memberikan kecupan singkat di pipi Caska, membuat lelaki itu tersenyum salah tingkah.

Natta memasuki kamar kostnya setelah sesi perpisahan singkat dengan pria yang menjadi pacarnya selama hampir dua bulan itu.

“Natta!”

Natta yang baru saja meletakkan tasnya di sebelah kasur, langsung menoleh karena satpam kost nya memanggil namanya.

Pak Edu —satpam kostnya itu sudah berada di depan kamarnya dengan membawa bucket bunga.

Bunga kesukaannya.

“Apa iya Pak Edu naksir gue?” Tanya batin Natta.

Seperti mengerti akan kebingungan Natta, Pak Edu membuka suara, “Ini tadi ada yang nitip bunga ini buat Natta”

Oh, syukur. Batin Natta, lagi.

Tanpa babibu, Natta menerima bucket itu, tak lupa mengucapkan terimakasih pada satpam yang rela dijadikan penitipan.

“Biasanya kaya begini ada suratnya.” Katanya pada diri sendiri sembari membolak-balikkan bunga itu, mencari kertas yang sebenarnya entah ada atau tidak. Jikapun rusak tidak masalah bagi Natta asalkan rasa penasarannya terbayar.

“Nah! Ketemu.”

Dibukanya kertas yang berukuran 1 : 1 dengan warna silver dibalut pita, lalu matanya membaca kata demi kata hingga sebuah kalimat tercipta,

“Semoga langgeng ya sama yang baru.”

Tanpa berfikir panjang, Natta sudah dapat menebak siapa pengirimnya.


Report Page