21.

21.

Arsa.

"I couldn't be more in love, my love". They were staring at each other. The guy doesn't give any smile or down smile. He's just holding on his universe. "Ah.. how lucky I am" gumamnya. Para astronot harus melaju dengan roket untuk mengamati semesta. Sementara ia cukup dengan duduk berdampingan, semesta-nya berada dalam genggaman. Bertaut.


Tatapan itu tak pernah berubah, seolah mampu menyapu semua resah. Seolah sihir menelungkup relung, mendekap dahi tak berpayung. Lengkung sinar di pelupuk mata dan lengkung manis di kedua sudut bibir, sempurna. Mereka sedang bersandar pada bumi, tanah sebagai alas dan langit kanvas sedang mereka lukis dengan khayalan tingkat tinggi.

"Anindita". Sang lelaki berucap, menuai tolehan kepala kekasihnya di sebelahnya. Tanda tanya muncul begitu saja, siapa? apa? bagaimana?. "Kamu Anindita". Ucapnya sekali lagi. Yang berambut lebih panjang itu membalikkan tubuhnya menghadap seseorang yang masih menatap kanvas langit. Hingga kedua manik mata itu berhadapan. "Iya, kamu Anindita. Anindita artinya sempurna, sayang". Wajah yang hampir merengut pun tak kuasa menahan merahnya menguasai telinga dan pipinya.


Jangan ditanya mengapa. Ini baru kedua kalinya si lelaki itu berkata apa yang ada di hati. Hati menyentuh hati. Hangat menjalar dari hati hingga ke wajah. Menyadari dirinya terlihat memalukan dengan wajah tomat, ia menunduk. Namun bukannya makin reda, gejolak ingin terbangnya semakin terasa ketika kecupan lembut ia terima di pucuk dahi. "You're getting better to express your feeling. I'm glad i'm the one who can have it". He speaks about fact. "Just try to flex to the sky, my star are prettier".

Report Page