2.0

2.0

Radhika

Radhika terbangun dengan tubuh yang sudah dipenuhi dengan perban, rasa ngilu dan nyeri menjalar diseluruh tubuhnya setelah melewati aktivitas yang panjang tadi malam. Ya, mereka melakukan hal gila itu lagi di ruangan itu. Ia terdiam lalu menatap kearah langit-langit. Hidupnya kembali merasakan kosong meski Joan sudah kembali. Ia termenung, membiarkan Joan yang masih terlelap dalam tidurnya.


Is that okay, if I die?


Batinnya begitu, kemudia ia menepis senya pemikirannya dan berusaha melepas tangan besar Joan yang melingkar di pinggangnya, namun Joan malah mengeratkan tangannya, menduselkan wajahnya diceruk leher Radhika.


"Good morning." Sapa Joan, dengan suara khas baru bangun tidurnya. Matanya masih terpejam, Radhika terkikik geli saat melihat tingkah manja pria didepannya ini. Menggemaskan, pikirnya.


"Good morning too." Balas Radhika dengan lembut dan melayangkan sebuah kecupan di pipi Joan.


Joan menarik tubuh Radhika agar dirinya bisa mendapat kecupannya lagi. "Gimme a morning kiss." Ucapnya dengan nata yang masih terpejam.


Radhika terdiam, mengabaikan permintaan Joan. Ia hanya diam sampai mata itu terbuka, menatap mata bulat itu dengan bingung. "You don't want to gimme a sweet kiss huh?" Radhika menggeleng, berusaha menahan senyumnya saat Joan mulai merasa kesal.


"Bercanda." Kekehnya dengan geli, Radhika menangkup pipi Joan, lalu mencium dan melumat bibir itu dengan lembut yang disambut hangat oleh Joan.


Lumatan lembut itu berubah menjadi sangat intens dan menuntut, Joan membalikkan tubuh Radhika dan beralih mengecupi leher dan pundaknya yang terlilit oleh perban.


Keduanya terbakar oleh nafsu di pagi hari, kecupan demi kecupan, Joan bubihkan ditubuh Radhika dengan lembut, tanpa unsur kekerasan. Radhika hanya melenguh dan mengusap pundak Joan dengan lembut, keduanya berbagi kehangatan dipagi hari.


Joan tau, Ia harus berhenti. Tapi tubuhnya tetap ingin menyatu dengan Radhika. Radhika pun tidak menolak, ia hanya menatap Joan dengan lembut. Mempercayakan semua kendali berada pada Joan.


"Gue gamau nyakitin lo, tapi nafsu gue udah terbakar, kalau sakit. Lo bisa cakar punggung gue." Radhika mengangguk, Joan mencium bibir ranun itu dengan lembut namun menuntut. Memberikan kesan hangat dan basah yang nyaman.


Deru nafas tersapu dikulit keduanya, mata mereka saling menatap dengan lembut. Joan bangkit dengan bertumpu pada kedua lututnya, melepas handuk kimono miliknya dan melemparnya dengan asal.


Radhika yang menatap Joan dari bawah hanya memerah, pemandangan didepannya ini sangat, sial panas sekali. Joan melirik wajah Radhika yang memerah lalu terkekeh dengan pelan. "I'll bring you to my heaven." Ucapnya sambil mengecup random wajah Radhika.


PLAK!!


Mata Radhika refleks terbuka dan menatap kearah Joan yang sedang menatapnya dengan tatapan tajam. "Penis lo kenapa tegang gitu hah?!" Bentaknya hingga membuat Radhika tersadar.


Itu semua hanya mimpinya belaka, Ia mendengus kesal. Ternyata dirinya sedang mimpi basah. Tapi ia lebih kesal saat adegan yang hampir saja didalam mimpi itu mereka menyatu, Joan malah membangunkannya.


Radhika menghela nafas kasar, "Gapapa, gue cuma habis mimpi basah aja." Ucapnya dengan sedikit tegas.


PLAK!!


"Gue ngga pernah ngajarin lo buat ngomong kaya begitu ke gue." Balas Joan dengan sinis.


Radhika hanya diam, membiarkan pipinya ditampar beberapa kali. Merasa sudah puas, Joan duduk dihadapannya sambil menangkup kedua pipi gembil milik Radhika.


Jujur saja, Ia tidak terbiasa dengan perlakuan yang tiba-tiba melembut padahal beberapa detik sebelumnya sifat Joan berbanring terbaluk dengan sekarang.


"Mimpi apaan lo?" Radhika mendengus kesal, ia tepis kedua tangan milik Joan.


"Dibilang mimpi basah."


Joan tertawa, menarik tubuh itu mendekat kearahnya, memeluknya sambil mengelus punggungnya dengan pelan. Memberikan rasa aman dan nyaman untuk Radhika.


Sungguh, untuk saat ini ia hanya ingin memberhentikan waktu untuk sementara. Untuk kali ini ia ingin egois atas Joan. Radhika mengeratkan pelukan dan membenamkan wajahnya dibahu Joan. "Kangen," katanya.


Joan terkekeh geli, "Kangen gue?" Radhika mengangguk. Tolong ingatkan Joan agar tidak menggigiti pipi lelaki dihadapannya ini.


"Sama," Joan melonggarkan pelukan itu dan langsung dieratkan oleh Radhika. Tidak mau melepas pelukan itu.


"But, it's seem you're not missing me huh?" Radhika mendongak, menatap mata Joan dengan tatapan sendunya.


Joan menggelengkan kepalanya, "Gue juga kangen lo, maaf gue harus kerja sekarang." Joan melepas pelukan itu, dan meninggalkan Radhika sendirian di kamarnya.


Radhika menghela nafasnya dengan pelan. Jika saja Ia bisa membeli waktu Joan, sudah pasti ia tidak akan menyia-nyiakan waktu bersamanya.


Radhika kembali menatap langit-langit. Sedari dulu, quality time bersama Joan adalah hal yang paling Ia inginkan. Bahkan disaat Joan senggang pun, Radhika merada tidak enak untuk meminta waktunya.


Bukannya Ia takut untuk meminta, hanya saja Joan sangat kelelahan dengan pekerjaannya.


Seorang penjaga masuk kedalam kamarnya, membawa sarapan untuk Radhika. Rafhika hanya tersenyum dan menatap makanan yang lezat itu dengan tidak selera.


Setelah penjaga itu keluar, Radhika melempar makanan itu kearah lantai. Membuat semuanya berantakan.


Joan memantau keadaan Radhika melalui monitornya, ia mengepalkan tangannya dengan kuat saat melihat kejadian itu. Yang sialnya lelaki itu mulai mengambil pecahan beling itu. Tanpa aba-aba Joan mulai betlari dari ruangannya menuju kamar milik Radhika.


Radhika terkejut saat melihat Joan dengan tatapan marahnya, dengan cepat ia membuang beling itu dan berdiri.


"Kenapa sarapannya ngga lo makan?" Tanya Joan dengan suaranya yang mulai memberat.


"Gamau," balas Radhika dengan cuek. "Mending gausah makan aja, biar mati sekalian."


Ucapan Radhika membuat Joan kembali tertawa, mendorong lelaki itu kearah kasur dan mencekik lehernya dengan kuat. "Lo pikir, dengan siapa lo berhadapan hah?"


Radhika menendang perut Joan, hingga membuat lelaki itu sedikit terdorong. Radhika menarik tubuh itu dengan cepat dan mengunci pergerakan lelaki didepannya.


"Gue benci banget sama lo."





Erangan itu terus memenuhi ruangan itu. Radhika terikat diatas kasur dengan Joan yang terus menerus menumbuk anal Radhika tanpa berhenti. Bahkan tubuh Radhika juga sudah terdapat banyak luka-luka baru.


"Aahkkhh! Ahk! S-stop! Sa-sakit akhhh!" Badan Radhika menggeliat tak nyaman, analnya perih dan tubuhnya ngilu. Tapi Joan tidak ingin berhenti.


"Shhh lo mau mati kan? Gue buat lo mayi dengan cara begini," Joan menghentak kuat anal Radhika, tak ia pedulikan darah yang keluar dari anal lelaki itu.


Sedari siang sampai jam sudah menunjukkan waktu jam sepuluh malam, Joan masih belum berhenti menyiksa tubuh Radhika.


Radhika menggeleng kuat saat merasakan perih dianalnya makin terasa sangat menyakitkan. Pandangannya menggelap, nafasnya tercekat, hingga lelaki itu mulai tidak sadarkan diri dengan Joan yang masih terus menghentak pinggulnya dengan kuat, mengeluarkan spermanya lagi didalam anal milik Radhika.


"Ck, lemah banget lo," Joan memukul kepala Radhika dengan kuat. Emosinya mulai tidak terkendali, Ia bangkit dan merapihkan dirinya. Meninggalkan Radhika dengan kondisi yang sangat miris.




Dokter Radin menggelengkan kepalanya dengan pelan, memijat pelipisnya yang tidak pening saat menghadapi lelaki didepannya ini. "Hampir aja dia mati, gara-gara lo sialan," Ucapnya dengan tegas dan diakhiri dengan umpatan.


"Lagian dia mancing emosie gue, gimana gue ngga bablas," Balas Joan sambil mencebikkan lehernya.


"Untuk beberapa hari, kayanya lo ga perlu ketemu dia dulu," Radin melemparkan sebuah folder kearah Joan.


Joan melirik kearah folder itu dan membaca isinya. "Trauma?"


Radin menganggukan kepalanya, "Bahkan dia takut buat dipegang skin to skin. Gue harus makai sarung tangan duku buat meriksa keadaan dia."


"He's not that weak."


"But you never give him a quality time that he want-akhh!" Joan mencekik leher wanita itu dengan kuat hingga Radin merasakan nafasnya tercekat.


"Lo emang dokter pribadi yang gue tugasin buat Radhika, tapi bukan berarti lo bisa semena-meba atas gue. Gue tau apa yang gue lakuin," Joan menghempas tubuh itu dengan kuat.


Radin menatap sinis kearahnya, "Ini gabakal menutup kemungkinan lo bakal kehilangan dia."


"Jiwa dia, terikat sama gue. Darah gue juga mengalir didalam tubuhnya."


"Ga ada yang tau masa depan, Joan."


Joan menatap wanita itu tidak suka, Radin mengambil folder itu kembali dan keluar dari ruangan itu. Selepas wanita itu pergi, Joan melirik kearah cermin, memegangi lehernya sendiri dan mengingat rasa cekikan yang Radhika berikan dilehernya.


Sedetik kemudian Ia tertawa dengan keras, memutar kembali adegan dimana dirinya mengasari tubuh Radhika dibawahnya. Dilain sisi, Radhika hanya terdiam sambil sesekali tertawa miris.


Wanita yang merawatnya tadi mengatakan hal yang membuat dirinya ingin sekali membunuh Joan. "Joan memiliki seseorang selain dirimu."


Ucapan itu terngiang-ngiang di benaknya. Persetan, Joan itu miliknya dan selamanya akan begitu.


Tapi siapa orang itu, sampai Joan bahkan puas dengan orang itu? Radhika menangis, memeluk tubuhnya sendiri sambil terus memukul dadanya.


"Sakit bego," Racaunya. "Gue benci banget rasa kalah kaya gini, benci banget sialan!" Radhika memekik kesetanan, mulwi memukul tembok dengan tenanganya. Tidak peduli dengan rasa sakit yang Ia rasakan di tangannya.


"Kalau gue gabisa milikin dia, ga ada yang boleh milikin dia juga. Siapapun, gaboleh."


Radhika tertawa mengejek


"Ya, gaada yang boleh. Termasuk teman-temannya pun."


Kemudian Radhika tersadar dan mulai menampar wajahnya. Menyadarkan dirinya agar tidak memikirkan hal itu lagi.


"Sialan, gue gaboleh mikir gitu anjing."


"Tapi dia bangsat, gila, psikopat, sialan!"


"Udah ngumpatnya?" Radhika menoleh kearah sumber suara dan mendapati Joan yang sudah melipat kedua tangannya didepan dadanya sambil tersenyum miring.


"Ck, ngapain lo kesini? Keluar sana!" Ketus Radhika sambil berjalan kearahnya.


Joan mencekal tangan Radhika dengan kuat, melihat luka di tangan milik lelaki itu lalu menghela napasnya pelan. "Obatin-"


"Gausah, lo keluar aja. Gue lagi gamau di ganggu sama lo."


"Lo marah?"


Radhika menatao datar kearah Joan, seolah mengatakan "pikir saja sana sendiri."


Joan menghela napasnya lagi, kemudian pergi dari kamar milik Radhika dan tak lupa ia mengunci pintu itu dari luar.


Radhika terdiam menatap pintu itu. Ia ingin lepas, rasa kalah itu membuat dirinya benci kenyataan bahwa ada orang lain yang lebih baik daripada dirinya.


Radhika tersenyum getir, lalu kembali merebahkan dirinya diatas kasur. "Joan, lo kenapa beda banget di mimpi gue sama di realita?"


"Bikin gue betah tidur lama-lama, karena cuma di mimpi doang, gue bisa menghabiskan waktu bareng lo."


"Gue cuma pengen waktu lo buat dihabisin bareng gue... Itu aja cukup, dibandingkan lo yang cuma ngabarin tiap saat."


"Gue... Kehilangan..."


Radhika terkekeh, dan memejamkan matanya kembali, dan tertidur dengan lelap. Joan masih berdiri didepan pintu kamarnya. Mendengar semua keinginan Radhika. Namun ia hanya tersenyum kecut, "maaf," ucapnya dengan pelan sambil perlahan meninggalkan kamar itu.


Report Page