14.

14.

Ala.


Cuaca sore hari ini terasa amat panas. Anehnya, langit sudah berubah menjadi kehitaman yang artinya mendung telah tiba. Entah kapan rintik hujan akan mengguyur bumi dan menghempas segala debu berserak di jalanan yang mulai kotor ini. Satu hingga dua dedaunan yang kering mulai rontok lagi.

Musim gugur hampir tiba.

Pria itu sesekali menebarkan pandangannya ke seluruh penjuru taman, tempatnya duduk saat ini. Banyak anak-anak yang bermain pada sore yang tak tergambar jelas bagaimana suasananya. Mereka tertawa bahagia. Sebagian bermain di perosotan dan sebagiannya lagi saling mengejar satu sama lain.

Kedua sudut bibir pria itu sama-sama tertarik hingga terlihat senyuman yang begitu manis. “Kopi panas satu, kan? Cuca sedang panas begini tapi kamu masih memesan kopi?” Pria itu menoleh, lalu mengangguk mengetahui orang yang baru saja berbicara padanya itu adalah Zabrina, kekasih hatinya.

Zabrina duduk di sebelah pria itu. Suasana sore yang tak bisa digambarkan hanya dengan kata itu rupanya mendukung pertemuan di antara keduanya. “Anak-anak itu lucu ya mas.” Ucapnya. Pria yang dipanggilnya mas itu mengangguk menyetujuinya. “Seperti kamu.” Balasnya. Zabrina memukul kecil lengan Abi, kekasihnya.

“Ternyata, kita sudah berjalan begitu jauh, ya?”

Abi menoleh. “Maksudmu?” Zabrina menyandarkan kepalanya pada pundak Abi. Tanpa dikomando, Abi mengusap perlahan rambut Zabrina dan siap untuk mendengarkan segala apa yang diungkapkannya. “Kita sudah empat belas bulan, mas.” Ungkapnya diikuti suara tertawa yang amat pelan.

Sunyi, tak ada jawaban dari Abi.

Zabrina lantas kembali ke posisi awal dan menatap Abi kesal. “Mas lupa ya?” Abi tersenyum. Namun entah kenapa senyuman itu terlihat seperti pertanyaan besar. Mengapa ia tak mengatakan sesuatu? Pikir Zabrina. Lagi, Zabrina memukul kecil lengan Abi. “Kamu benar-benad lupa, mas?” Abi merasa sedih melihat wajah Zabrina yang mendadak menjadi nelangsa itu.

“Ya.. sedikit.” Balas Abi, “mungkin karena pekerjaan. Akhir-akhir ini aku sibuk, kamu tahu sendiri, kan?”

“Ih..”

Dalam hati, Abi ingin tertawa. Namun, ia harus menutupinya. “Sayang?” Panggil Abi. Namun sepertinya Zabrina tidak ingin mendengar apa-apa dari Abi. Ia mengalihkan pandangannya dari Abi. “Sayang, dengarkan dulu.” Abi terkekeh.

“Aku tahu, aku tidak lupa. Mana mungkin aku melupakan tanggal yang aku sukai?”

“Benarkah?”

Abi mengangguk.

“Aku punya hadiah untukmu.”

“Apa itu?”

“Tebak.”

Abi merogoh sesuatu dari sakunya, lalu memberikan kotak kecil itu pada Zabrina. Zabrina beralih sumringah dan bersemangat untuk membuka hadiah dari Abi. Itu dia isinya. Benda kecil yang amat cantik. “Cincin?” Abi mengangguk, “pakailah kalau kamu bersedia menikah denganku.”

“Tapi.. bagaimana?”

“Apa yang bagaimana?”

“Bagaimana bisa kamu mantap untuk menjadikanku istrimu?”

Abi tersenyum mendengar pertanyaan Zabrina. “Aku ingin hidup lebih lama denganmu. Bahkan selamanya, hingga kita nanti hanya tinggal nama. Aku mau kamu sepenuhnya menjadi milikku, begitupun sebaliknya. Kamu bisa buang cincin itu kalau kamu belum bersedia.”

Zabrina menggeleng, “kenapa aku?”

“Karena kamu milikku. Aku bukan memilihmu karena kamu bukanlah pilihan bagiku. Kamu adalah segalanya untukku. Untuk memutuskan hidup bersama denganmu dalam waktu yang lama, aku seperti tidak perlu berpikir panjang lagi—atau bahkan tidak perlu berpikir dua kali.”

“Siapa yang tidak mau menikah denganmu, mas?” Zabrina memakai cincin itu lalu tersenyum pada Abi, membuat sore yang panas itu menjadi sangat menenangkan. Ketika mereka berdua berpelukan dan dibalut oleh perasaan yang sangat bahagia, anak-anak yang tadinya bermain bersorak ke mereka. Mereka senang melihat dua insan bersatu dan memeluk satu sama lain di depan mereka.

Dalam kehidupan sekarang atau nanti, aku akan terus membuatmu bahagia, lebih dari apa yang pernah aku lakukan dulu, Ing. Kamu adalah segalaku dan aku akan membuktikannya, bahwa kamu adalah segalaku. Terima kasih untuk menerimaku kembali dalam hidupmu. Aku mencintaimu, dengan segala kesungguhanku.

Report Page