#1

#1

Asha.

Hari ini, hari pertamaku berkuliah di Aussie. Meninggalkan keluarga dan teman terdekat di Indonesia, tidak terlalu membuatku sedih. Aku sudah terbiasa sendiri sebelumnya.


"Hey! Are you okayy Natasha???"

"Yess, of course, what happen?"


Aku mengernyitkan jidatku karena melihat temanku yang sedikit panik saat melihatku.


"Nothing, I just saw you like little gloomy earlier."

"Ohhh, hahahhahaha it's okay Nala, I just not used to the situation here."


Hanya berbohong yang aku bisa, itu cara satu-satunya agar temanku itu tidak gelisah melihatku. Sejujurnya, aku memang sedang merasa gelisah sekarang. Aku berangkat ke Aussie dengan keadaan sedang bertengkar dengan pacarku.

Aku tidak berani membuka WAku selama di Aussie. Aku takut. Takut membaca pesan yang membuatku buyar, entah itu dari Raden, aa ku, atau Azka, pacarku. Tapi karena keadaan, aku tidak bisa terus menjauh bahkan menghilang, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka WAku itu.



27 missed call, 97 unread messages



Aa raden ♡

'Dek'

'Balas chat gua'

'Gua tau lu pegang hp'

'Gausah buat gua khawatir ajg'

'Gua banyak urusan, lu kyk gini bikin gua ga fokus bgst'

'Dekk'

'Ajgg, nyesel gua ngizinin lu ke Aussie'

*19 others spam



Bundaa ♡

'Kalau dichat tuh jawab Asha.'

'Kamu ini kemana sebenernya, sudah 3 hari penuh ga balas WA.'



Ayah ♡

'Asha'

'Kemana kamu?'


Dan masih banyak lainnya. Hanya chat mereka yang aku balas. Aku membalas dengan sabar dan sedikit menahan tangis karena rindu dan merasa bersalah juga kepada mereka. Tapi itu aku lakukan karena terpaksa. Maaf untuk bunda, ayah, dan aa.

-

Aku sudah mulai aktif di WA seperti biasa. Hari ini aku pulang cepat, aku sudah balik ke apart sebelum pukul 7 malam tepat. Aku membereskan apart, dan membersihkan diri sendiri. Menyiapkan makanan, dan mulai membuat agenda untuk esok hari.


Aku merasa sudah normal dalam hari pertama. Aa ku juga tetap sama, sangat posesif jika sedang jauh dariku. Ia menelfonku setiap saat jika aku sedang tidak dalam kegiatan yang sibuk. Dan aku harus meladeninya.

-

Tak terasa sudah 3 bulan aku di Aussie, dan tidak terasa juga aku sudah tidak berkomunikasi dengan pacarku, selama tiga bulan.

Siang ini, aku ada waktu senggang untuk sedikit 'me time.' Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat, yaitu gedung theater. Banyak gedung theater yang sangat memukai di Aussie. Sekitar jam 11 siang aku berangkat menggunakan mobil pribadiku di sana.

Hanya 20 menit dari apartku untuk samlai di gedung theater itu. Aku sangat exited, karena sudah lama aku ingin mengunjungi tempatnya tapi terhalang dengan waktuku yang selalu sibuk.

Sesampainya aku di sana, aku langsung membeli tiket untuk masuk ke gedung itu. Gedungnya sangat megah, juga indah untuk dipandang dari seluruh penjuru mata.


"Mmm excuse me sir, may you take a picture of me?"


Aku menepuk pelan pria yang memakai kaos dan celana santai itu. Parasnya tinggi, rambut yang tebal dan hitam, juga ada satu piercing yang ada di telinga kanannya. Saat pertama kali melihatnya, diriku sedikit merasa tidak asing. Tapi akhirnya kubiarkan, karena aku hanya ingin berfokus dengan jalan-jalanku.

Saat ia sudah memalingkan badan, jujur aku kaget, aku merasa ini semua ga mungkin bisa terjadi. Kenapa dia bisa di sini?? Apa yang harus aku katakan sekarang?? Arrggg rasanya menyesal tadi.


"Oh, of course girl. Here's your phone, let me take a photo."


Mendengarnya aku hanya bisa diam, menatap sendu mata indah yang sudah lama tidak aku lihat. Susah untuk membuka mulut, sekedar menyapapun tidak bisa. Masih aku rasakan sakit hati dari kejadian itu. Aku melihat matanya dengan sangat jelas. Mata indah yang sekarang berubah menjadi hitam, bau rokok yang tercium jelas dari tangan dan bajunya.


"Sha?"

"Iya."


Dia, sosok yang sangat membuat hatiku getar saat itu. Azka, mengapa aku bisa bertemunya di sini? Tak ada kata apapun lagi yang keluar dari mulutnya. Hanya diam dan saling tatap. Tersadar sudah lama aku menatapnya. Akupun memilih pergi dari ruangan itu untuk ke ruangan yang lain di dalam gedung tersebut.


"Sha, tunggu."

"Sha, please gua mohon, tunggu sebentar."


Azka terus mengejarku, aku enggan berbicara dengannya, masih sakit. Aku mempercepat langkahku dan, tasku berhasil ditahannya.


"Sha."

"Apa lagi?"

"Dengerin gua dulu Sha.."

"Engga ada yang perlu didengerin lagi, udah jelas semuanya. Udah ya, biarinin gua damai di sini. Buat status kita, kita putus aja, thanks for everything Azka."

"Sha? Are you sure? Jangan ambil keputusan mendadak, gua gabisa gini Sha."

"Ga mendadak, udah dipikirin."


Aku meninggalkannya di ruang gallery yang sepi, tidak jauh dari ruang opera sebelumnya. Dia tidak mengejarku lagi, tapi aku harus tetap berjalan tanpa melihatnya lagi; gagal, aku gagal berjalan untuk menjauhinya, langkah kakiku terhenti saat mendengarnya berbicara lagi.


"Sha. I love you for a thousand years, and more, and forever. Sha, I know whatever I do is always hurt you. I knew it since we met.


Gua minta maaf Sha. Maaf. Gua tau ini ga cukup, tapi maaf, gw gatau harus gimana Sha. Gua selalu mikir buat ninggalin lo, tapi gua gabisa, kenapa gua harus kenal orang sebaik lo, sedangkan gua brengsek banget Sha. Maaf buat lo selalu hancur saat sama gua.


Sha, gua nyesel banget, harusnya gua gapernah ngerebut lo dari dekapan kasih sayang abang dan ortu lo. Lo selalu jadi plester gua, tapi gua gapernah bisa jadi plester lo, malah gua yang buat luka itu terus.


Sha, gua tau apa yang gua bilang ini gakan ngerubah pikiran lo sekarang. Gua cuman mau lo tau Sha, gua siap nanggung semua resiko dari apa yang gua perbuat ke lo. Sekarang gua harus nerima lo pergi dari hidup gua, Sha.


For the last time Natasha. I love you, just the way it was when we first met. Good bye, my soul, Brisbane, tempat gua lahir ini bakal jadi saksi, saksi yang ngelihat gua ngeluarin kata-kata paling jujur, buat lo. Cinta terakhir gua."


Disela-sela omongnya, aku mendengar sedikit sisak tangis darinya, aku juga berusaha menahan air mata. Tidak, jangan menangis. Aku memalingkan badanku untuk kembali melihatnya. Masih di tempat yang sama. Hanya berjarak 2,5 meter, aku melihat matanya dengan jelas.


"Take me back to remember all of our beautiful memories, I want to make it last forever, without the real you."

"Sha.. biarinin gua natap lo yang lama, buat terakhir kalinya. Ini bakal jadi kenangan yang abadi tanpa gua Sha. Gua gakan muncul dihadapan lo lagi. I promise."


Sungguh aku sudah tidak kuat menahan tangis. Aku benar-benar keluar dari gedung itu. Dengan cepat aku masuk ke mobil untuk kembali ke apart.




















Report Page