#1—Jeluang Lapuk

#1—Jeluang Lapuk

Ganeeta
Lapuknya tak sirna, frasa tuntutan sering bersua.

Cuit-cuit kicauan milik makhluk yang bertebrangan menyusuri gendang telinga mereka. Pada fana merah jambu yang muncul sedemikian rupa, menghiasi tatanan bumantara yang membentuk moleknya sang lembayung.

Belah keluarga ini bersimpuh, mengagah luasnya bentang danau yang ada pada netra, disuguhkan suasana penyejuk kalbu, tanpa adanya belati yang bersekat.

Gelora tawa saling beradu, bergores dengan syahdu tanpa adanya hal palsu. Bahkan, orangtuanya sudi bersenggama, dengan kurva yang tertarik dengan leluasa.

Dalam hati sudah beranggapan bahwa ini hanyalah eksistensi palsu yang dibuat oleh fananya bunga tidur. Argumen-argumen pada kalbu saling bersahutan, yang satu menyuruh untuk membuka netra, yang satu menyuruh untuk menetap.

Namun wanodya satu ini, hanya haus akan lukis-lukis harmonisnya keluarga. Pada akhirnya ia memilih menetap. Mengagah atensi palsu, yang selalu saja terhadir di kala ia membungkam netra.

Tokokan pada pintunya terdengar bergemuruh, dengan terpaksa ia terbangun, meninggalkan bunga tidur yang terasa indahnya. Ia beranjak, membiarkan denai tungkainya bersentuhan pada ubin dingin, pula lapuk.

Kemudian hastanya terulur, membuka gerbang pembatas ruang kamar dengan ruang lainnya dengan pelan. Nampak, gelagat amarah pada mimik muka milik sang ayahanda. Ia tersenyum dengan miris, merasa bodoh akan mimpi yang menyusuri. Karena pada dasarnya, sang ayah tak akan pernah mengagahnya sehalus itu, pada dunia nyata yang ia singgahi.

Pais-pais jeluang yang ada pada hasta sang ayah berhambur begitu saja, tertubruk dengan muka milik Saera. Tatapannya bengis, tak habis pikir dengan buah hatinya. "Peringkat dua, dua Saera. Bikin malu keluarga! Kamu ini saya didik untuk jadi nomor satu. Bisa-bisanya kalah dengan anak bernama Ghandhi. Tahu begini saya ndak perlu hadir untuk mengambil nilaimu. Bikin malu saja!"

Netranya berkejap dengan cepat. Muka nanap dengan segenap nyawa yang belum terkumpul ia tunjukkan. Baru kali ini, usaha pula peringkatnya direnggut oleh taruna dengan jenama Ghandhi. Tatapan jelaganya bergetar bukan main, ia beranikan menatap balik netra seluas samudera yang sedang menatapnya dengan bengis.

"Baru kali ini, memangnya tidak bisa ayah maklumi itu? Saya jua manusia, ada kalanya lelah dengan doktrinan yang selalu ayah beri."

Suai sawalah yang diberi, ayahnya kian menajuk amarah. Dikuncinya pintu kamar milik Saera, sembari memaki Saera dengan prakata yang tak patut didengar. Lagi-lagi, ia terkurung pada mahligai kelam, milik putera semata wayang keluarga Abdiwijaya.

Mirisnya lagi, Saera tak bisa membantah lebih dari itu. Pias-pias bahana selalu tercekat pada pangkal tenggorokan; tak sudi untuk disuarakan.

Denai penunjangnya beranjak dari sana, melanglang pada tingkap di ujung ruangan. Semampai, jika kabur dari sana, hilang sudah nyawanya.

Kini yang bisa dilaku, hanya menunggu eksistensi saudara kembar terhadir membantu. Terduduk pada susur ruang menyimpan beribu umpatan yang ayahnya beri. Andai saja, ia bisa terbang bebas, pula indah, bagai burung merpati.

—28 Oktober, 2010. Pada pukul 17.58. Warta penyurat milik; @ganeeganeeta.

Report Page