Perihal Ganjil dan Genap

Perihal Ganjil dan Genap


Sekar sudah berada di kafe dua jam sebelum ia dan Kara akan berjumpa nanti. Ia tengah melukis sekarang. Lukisannya hari ini tak punya arah untuk dituju. Lukisannya hari ini hanya mewakili aduan hatinya.

Rasanya lebih menenangkan ketika ia sudah menumpahkan segala warna diatas kanvas itu. Baik warna kelam maupun cerah, semuanya mampu mengaburkan untaian jahat yang seringkali membuat dirinya menerjunkan tetesan air mata.

"Hai." Gadis itu menghentikan kegiatannya. Menengok ke sumber suara dimana ia bisa melihat kekasih yang sudah bersamanya sekitar satu tahun itu.

Pria itu lalu duduk di sebelah gadisnya sambil memandang lukisan yang tidak seperti biasanya. Lukisan gadisnya hari ini entah kenapa membuatnya sedih. Kara tak paham, kara tak mengerti.

"Kamu udah lama disini?" Ucap si pria sembari menghilangkan segala rusuh yang menyapai dirinya.

"Dua jam sebelum kamu dateng." Si pria mengerti. Ia tak akan menanyakan kenapa si wanita tiba lebih dulu, sebab ia tahu waktu sendiri merupakan salah satu yang kasihnya sukai.

"Gimana Kar hari-hari kamu? Mau cerita?" Setidaknya. Untuk terakhir kalinya. Sebelum ia benar-benar meninggalkan Kara dan segala sayangnya, ia bisa tahu apa yang sedang dilalui prianya.

"Hari-hari aku berajalan baik, kamu tau kan projek yang baru-baru ini aku kerjain? Semua berjalan lancar. Bahkan mereka nawarin aku kerjasama lagi untuk potret majalah gitu. Aku senang banget." Sekar mengangguk, lalu tersenyum. Ia turut senang untuk segala yang kekasihnya capai. Ia berdoa semoga segala baik-baiknya dunia selalu berteman dengan kekasihnya.

"Tapi ada yang bikin aku kesel sih. Mamah tuh, dia marah-marahin aku terus. Katanya, kamu tuh jangan keseringan nginap di studio. Pulang sekali-kali, ini dua minggu full disana. Dikira orang rumah ga khawatir?" Sekar tertawa, lalu menghela napas.

"Jangan dibuat kesel Kar. Semua marah yang kamu anggep ngeselin itu aslinya rasa sayang mamah kamu loh, semua marah yang mamah kamu kasih itu bentuk aslinya cinta tau. Dan seharusnya segala sayang dan cinta itu kamu terima dengan cara yang sebaik-baiknya. Besok-besok jangan gitu. Inget Kar, terima dengan cara yang paling baik." Kara tersenyum. Segala yang Sekar ucapkan selalu menjadi solusi untuk segala masalahnya. Segala yang Sekar ucapkan selalu menjadi obat untuk segala lukanya. Ia harap Sekar akan selalu bersamanya. Hingga waktu yang bahkan tak bisa semesta akhiri.

"Kalau kamu gimana sayang? Cerita dong, mau denger banget nih aku."

Pertanyaan Kara sekaligus lukisan yang ia selesaikan membuat dirinya diam. Memikirkan dan menimang-nimang apa yang ingin ia ucapkan dan hasil yang akan ia dapatkan setelah ia menjawab pertanyaan Kara.

"Sayang cerita dong, dalam hitungan tiga harus cerita ya. Satu... Dua..." Semoga pada paling akhir hari ini ia bisa mendapatkan obat yang selalu ia harap.

"Mungkin orang ngeliatnya aku baik, tapi yang aku rasain nggak. Semua hari-hariku gak baik Kar. Rasanya semua berat buat aku jalani. Rasanya beban tuh ngajak teman-temannya buat singgah di aku, padahal mereka tau aku ga sekuat itu buat nampung mereka. Kenapa mereka jahat ya?"

Kara diam. Ia tahu saat ini kekasihnya tengah membutuhkan telinga. Hanya sekedar telinga. Tidak jawaban, maupun selaan.

"Terus kata-kata jahat rasanya gampang banget mereka hujani ke aku, padahal aku gak punya wadah sabar yang besar dan kokoh buat nampungnya. Aku gak punya payung yang kuat buat lindungi diriku dari hujan itu. Hingga kemudian hari aku sakit karena hujan itu. Bukan demam. Yang aku rasian itu sebuah rasa bingung." Gadis itu berhenti lalu menatap lukisannya.

"Lukisan ini mewakili rasa bingung ku Kar. Aku bingung kenapa aku harus ketemu kamu terus jatuh cinta ke kamu. Aku bingung kenapa kita harus saling berbagi sayang dan cinta. Aku bingung kenapa kamu gampang banget ngasih aku sayang yang kamu punya. Aku bingung kenapa dengan murah hatinya kamu ngasih cinta kamu ke aku. Padahal harusnya kamu tau kalo aku gak sepantas itu buat nerimanya." Sekar benar-benar mengucapkannya.

Hancur. Kara hancur sekarang. Ia tak mengerti kenapa kata-kata itu sangat mudah untuk gadisnya ucapkan. Ia rasa semuanya sudah lama gadis itu pendam hingga meledak-ledak ia sekarang.

"Aku ngerasa udah gak pantas buat kamu. Kamu yang selalu ditatap puja sama semua tatap mata kenapa harus bersanding sama aku yang ditatap rendah sama sebelah mata? Kenapa kamu yang selalu dilimpahkan kasih sayang harus bersanding sama aku yang fakir akan kasih sayang? Aku gak pantas buat kamu..." Sekar menangis membuat Kara menggenggam tangan gadisnya.

"Kamu tau gak Kar? Segala yang kamu beri udah gak jadi obat buat aku, sekarang segala yang kamu kasih malah jadi luka buat aku. Yang setiap harinya buat aku bingung aku harus nyari obat dimana buat sembuhinnya."

"Kara tolong bantuin aku buat dapetin obatnya. Tinggalin aku Kar, itu obatnya." Sekar menatap Kara penuh harap. Ia berharap Kara mengangguk menyetujui apa yang ia pinta.

Salah ia berharap. Kara tak mengabulkannya. Pria itu menggelengkan kepalanya.

"Gak gitu caranya Sekar. Meninggalkan dan menghindari masalah bukan obat. Itu cuma cara buat nunda, buat ngeredain, bukan nyembuhin." Kara semakin mengeratkan genggamannya.

"Harusnya kamu gak lari, harusnya kamu samperin dan selesaiin masalahnya. Kalau kamu gak mampu sendiri buat laluinnya, aku temenin. Kita hadapin sama-sama."

"Kalau segala jahat itu hujani kamu dan kamu gak punya wadah yang kokoh buat nampung, jangan kamu paksa, panggil aku. Aku mampu nampung segala jahat yang ada di wadah kamu. Kalau kamu gak punya payung yang kuat buat lindungi diri kamu, panggil aku. Aku mampu buat payungin kamu. Aku ada buat kamu."

"Ganjil dan genap, salah satu dari mereka pasti ada di setiap manusia. Dan kamu harusnya tau kenapa Tuhan nyiptain manusia berpasangan? Kenapa Tuhan memberikan hambanya kekurangan dan kelebihan? Ya karena untuk saling melengkapi. Sekar, kamu inget gak buku yang pernah kamu kasih ke aku untuk aku baca? Si wanita bilang, Kalo kekasihnya adalah segala genap untuk segala ganjil yang selalu dia temui. Dia juga bilang kalo dia ada untuk kekasihnya dan kekasihnya ada untuk dia. Harusnya kamu tau makna itu." Sekar menundukkan kepalanya. Tak berani menatap lama kekasihnya.

Ditengah hening yang menjadi penguasa saat itu. Sekar kembali berpikir. Mencerna setiap kata yang kekasihnya ucapkan.

Baik Sekar salah. Sekarang ia mengerti kenapa segala sayang yang Kara beri rasanya seperti beban. Sekarang ia mengerti kenapa segala yang Kara beri menjadi luka untuknya. Sekar terlalu mempercayai ucapan manusia hingga ucapan itu turut andil mengendalikan dirinya.

"Kara aku minta maaf..." Sekar kembali menatap kekasihnya.

"Aku minta maaf untuk segala ucapan jahat yang seharusnya gak kamu terima. Aku minta maaf untuk segala ucapan yang jadi luka buat kamu. Aku minta maaf karena terlalu memikirkan ucapan jahat orang-orang sampai aku turut jadi orang jahat itu buat kamu. Aku minta maaf..."

Kara menggelengkan kepalanya. Membawa gadisnya kedalam dekapan yang semoga memberi hangat untuk segala dingin yang gadis itu rasakan.

"Gak, kamu gak perlu minta maaf. Namanya kita pertama kali jadi manusia, kita gak akan tahu masalah apa yang kita hadapain, dan dengan cara seperti apa untuk menyelesaikan masalahnya. Jadi gapapa gausah minta maaf. Yang penting kita bisa belajar dari sebelum-sebelumnya. Supaya kita bisa jadi ahli untuk masalah kita selanjutnya." Sekar melepaskan pelukannya lalu tersenyum.

Kara bukan luka. Ia obat paling ampuh untuk segala masalahnya. Ia obat paling ampuh yang tidak bisa ia temukan dengan mudah hadirnya untuk segala lukanya. Ia harap ia pun turut menjadi obat yang mampu membantu Kara di segala jahatnya dunia.

Ia harap...

Report Page