013.

013.

@myaasken
OPERA 🎭

“SAMU TUNGGUIN GUE BARENG!”

"OGAH LO BERAT.”

“Tapi—”

“Jalan aja tsum, deket kok 30 menit doang.” Miya pertama menarik pegangan kursi belakang sepeda—“KAN BUNDA NYURUHNYA KITA BONCENGAN.”—hampir membuat sang bungsu terjungkal.

“Lagian Bunda sama Ayah parno banget ga bolehin kita naik motor.” Sang Miya pertama meringis, “Bukannya parno Sam, lo inget terakhir kali kita naik motor?”

“Inget.. OH IYA HAMPIR HANYUT DI KALI.”

Mengingat kejadian memalukan semasa pendidikan menengah pertamanya itu, membuat semburat merah menghiasi pipi Osamu; jujur jika diingat lagi sang Bunda Miya menangis kencang takut kehilangan kedua putra kembarnya, tak ayal kejadian itu menjadi memori kelam dan kecemasan bagi sang Ibunda.

Mengesampingkan masa lalu, kini Osamu mengayuh sepeda dengan keberadaan Atsumu yang membonceng hadap belakang. Berat, berat sekali.

“Lo maka—ATSUMU!”

Bukan, kali ini bukan sebab Atsumu sepeda keduanya goyah dan membentur aspal jalanan, melainkan kelalaian dua pengendara sedan hitam yang melaju kencang membelah rambu-rambu.

“OSAMU LO GAPAPA?”

Si bungsu Miya yang tertimpa sepeda meringis kesakitan, memperlihatkan lututnya yang dihiasi memar merah. “Sumu, sakit.” Sang kakak membantu adiknya berdiri, mengusap sedikit celananya juga karena ternoda debu. “Emang anjing itu pengendara mobil, gue liat lagi platnya bakal gue kempesin ban mobilnya.”

“Udahlah tsum.”

Sang Miya sulung itu menggeleng, “Orang kaya gitu emang harus dikasih pelajaran, yaudah karena gue ga luka gue bonceng lo ya Sam. Kita mampir beli obat merah di minimarket sebrang.”

“Lah, lo bukannya jatuh juga ya?”

“Gapapa, cuman punggung gue yang kepentok. Paling cuma biru.”

“BIRU NDASMU! Nanti sekalian beli es buat kompres punggung lo, gue gamau sampe rumah dimarahin Bunda anaknya luka-luka.”


Report Page