010.

010.

secstorages

It’s suffocating become “mahasiswi semester akhir” in the middle of night especially. Gue kehilangan runtinitas gue satu per satu yang perlahan buat jam tidur nggak senormal dulu. I wish that im always being hectic like i used to but i dont have any idea how to.

Lucky me, having two best housemate yang bawa gue ke tempat japanase nail arts hari ini. After dari situ kita bertiga—gue, Audfia dan Lovia berakhir nyobain cake lucu-lucu di sebuah cafe nggak jauh dari chinatowns—tempat kita mengisi amunisi perut sejam lalu, interiornya warm tone senada sama langit yang mulai kehilangan warna biru.

“Sadar nggak sih, kalo kita nggak pernah ke club?”

Mungkin berlebihan tapi pertanyaan Audfia buat gue hampir kesedak barely tea dingin. I know she always be the random one between us tapi gue nggak expect dia bakal kepikiran hal itu. Meski nggak seaneh itu sebenernya mengingat kita bertiga emang cuman minum di kedai pinggir jalan atau paling sering di rumah kalo lagi mood netflix-an.

“Anjir iya, gue belom cerita!! Nyaris banget kemaren. Beneran kemaren gue hampir entering club diseret temen cuma karena gue produk imunisasi—sehat dan kuat, gue lari ampe itu pegangan kelepas!”

Kali ini Audfia beneran kesedak. Gue sendiri kontan ngakak ngeliat ekspresi Lovia yang selalu kocak tiap cerita.

“Kecilin suara lo ih. Jadi malu ini mana takutnya ada mahasiswa indo yang ikut denger kalo kita katrok nggak pernah ngedugem,” oceh Audfia dengan rempongnya.

Padahal ini kafe live musik yang isinya paling manusia paruh kepala tiga. Dan bisa dibilang kita tuh aneh karena disini justru ngerasa betah-betah aja.

“Terus lo dikejar-kejar lagi nggak sama temen?” kali ini gue buka suara.

“Iyalah dipaksa sampe gue teriak-teriak kalo gue nggak mau ikut pergaulan bebas mereka.”

Sirkel lo isinya mahkluk dari ras terkuat sih kayaknya,” komentar Audfia buat gue langsung ngangguk setuju.

“Gue minum soju aja paginya kliyengan anjir, nggak usah deh aneh-aneh nyobain alkohol. It’s burn overthingking tapi perut lo ikut gosong,” ungkap gue jadi sharing.

“Tapi, gue penasaran deh, An. Bukan sama minumnya tapi the vibes di clubnya itu lhoo,” kata Audfia jujur.

Samaa kok sama! Gue juga pengen tau rasanya kayak apa disana tapi tuh terlalu bahaya. Kalo ngebar masih okelah,” gue beropini.

“Duh gue setuju sama Kak Ta. Makanya gue nggak pernah join sama temen gila gue itu, dari cerita mereka club tuh serem banyak modus kriminal. Terus musiknya terlalu brutal gue nggak akan suka.”

Argumen kami berdua buat Audfia desah kecewa. “Yaudah kalo gitu gue kesana sendirian aja terus tereak, ‘Hallo guyss sekarang siapa yang mau jahatin aku please jujur aja dari awal’ gitu kali ya?!”

Baik Lovia ataupun gue gagal untuk nggak ketawa. “Orgil lu, ya?!” gue menepuk dahi Audfia gemas sampe kepalanya terjatuh ke belakang mengenai lengan gue, lalu misuh-misuh persis anak kecil dalam rengkuhan gue.

Kak Odfiiiii, lo lagi kemasukan arwah penari tiang kah?!” seloroh Lovia ikut gemas menepuk-nepuk kecil bahu Audfia yang masih berargumen gimana hidupnya berjalan boring karena selalu mendekam di zona nyaman.

Kalo lagi begini, hidup gue seakan beneran moving forward as it should be tapi hal-hal kayak ini somehow reminding me sama apa yang pernah kejadian di masa lalu. Kayak gue yang selalu ke banyak tempat sama dua sepupu gue, Diano dan Shena—that gelembung cousin friendship, yang gue pecahin untuk ngejar kebenaran nggak nyata.

Meskipun gue selalu, let it be, let it happens, gue udah leave it. And the world keep spinning around. But its just hurt to realized the absences of people who used to be presences the most.

Gue berhenti melamun, ngambil sesendok kue. Diam-diam mengunyah kue dengan perasaan bersalah ke Audfia dan Lovia karena merasa begitu disaat gue lagi sama mereka.

“Guys, kalo misalnya gue kayak immediately starting any random talk ke kalian atau ngechat panjang tanpa arah, nggakpapa kan? Nggak harus direspon juga, cuma recently gue pengen ngomong banyak dengan lebih intens aja.”

Suara gue yang agak ragu itu buat Audfia sama Lovia yang lagi sibuk menebak kadar soda diminumas mereka jadi berhenti bicara.

Lovia menatap gue tepat. “Im all ears, Kak.”

“ME TOOO! ME TOO!! Apaan mau cerita apa? Aku juga udah pasang telinga,” respon Audfia persis bocil usia lima.

Keduanya buat gue ketawa sesaat. “Ya, bukan sekarang. Nantian gue pasti ngechat lo semua. Atau gue bikin grup deh daripada salah satu dari kalian ngerasa left out gitu sama topiknya lagian gue ribet ngetik di dua roomchat.”

Audfia meringis kecil. “Ihihihi, kirain tuh sekarang. Ya, nggakpapa aku mah selalu pegang hape apalagi semenjak jadi korban jarak—OMG maaf jadi curhat.”

Aman aja, Kak. Gue pasti bakal gitu juga ke lo,” Lovia menyahut dewasa setelah mencibir Audfia yang menderita oversharing akut.

Sebelum lewat setengah sembilan, kita mutusin buat pulang worrying bakal ketinggalan bus terkahir kayak terakhir kali kita sneak out dan berakhir jalan.

Gue menguap ngantuk nungguin bus. Terus sadar, four years and still counting, with these people i'm on my way for make it true everything i wanted for.


Report Page