01

01

Tchbn Yuki🕊

Saat ini, Karasuno, Fukurōdani, Nekoma, dan beberapa sekolah lainnya sedang melakukan latihan tanding.


"Hey, hey, hey! Kuroo!"


Seorang Bokuto Kōtarō melangkahkan tungkainya antusias, menepuk pundak lelaki berambut gelap. Kuroo Tetsurō, si blocker Nekoma, yang juga merupakan sobat karibnya.


"Kau mau memblock spikeku, 'kan? Ayo kita berlatih!" Bokuto mengepalkan tangannya antusias, mengajak kawanannya itu.


"Ah—sekarang, ya?" Kuroo yang tengah sibuk melihat handphonenya itu menoleh ke arah Bokuto sejenak, lalu kembali fokus pada benda elektronik di tangannya, "Gomen. Sepertinya aku tidak bisa ikut hari ini."


"APAAA?!" Bokuto dengan dramatisnya mengepalkan tangannya. Matanya berkaca-kaca, menarik ujung baju Kuroo, "Why, bro?! Why you do this to me?!"


"Hahahaha," Kuroo berusaha melepaskan diri dari tarikan Bokuto, "Kau ajak si Megane-kun saja sana."


Yang dibahas adalah Tsukishima Kei, blocker berkacamata berwajah batu dari Karasuno. Lelaki itu memang biasanya berlatih bersama mereka.


"Anak-anak Karasuno sedang tidak bisa diganggu~ Mereka sedang—... Uh, apa namanya?" Bokuto memiringkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat.


"Meeting, Bokuto-san," Akaashi Keiji—

yang sedari tadi berdiri di balik Bokuto—menanggapi dengan suara kalemnya.


"Oh, benar! Meeting!" Bokuto menepuk tangannya, berseru dengan senyuman hiperaktif di wajahnya. Ya, anak-anak Karasuno memang mengalami banyak kekalahan di dalam latihan mereka—karena itu mereka mengadakan meeting kecil, untuk membahas serangan-serangan selanjutnya.


"Oh, apa boleh buat kalau ada meeting," balas Kuroo.


"Nah, bro," Bokuto menepuk pundak kawannya itu, "Karena itu, aku butuh blocking darimu~ Tsukki tidak bisa bergabung dengan kita."


Kuroo menarik senyuman di wajahnya, "Tidak bisa~"


"Heh, mengapa?!" Bokuto menarik baju kawannya itu, merengek, "Ayolah, ayolah, ayolah!!! Hanya kau yang bisa memblocking spikeku hari ini!"


"Tidak. Bisa," tegas Kuroo. Ia menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri, melepaskan diri dari Bokuto. Seringai pun muncul dari wajahnya, "Hari ini aku harus mengurusi anak kucingku yang manis. Dia sudah merengek."


"Huh, anak kucing?" Bokuto memiringkan kepalanya, menoleh ke arah Akaashi untuk meminta penjelasan. Namun, adik kelasnya itu juga mengendikkan bahunya—tidak mengerti apa maksudnya.


Si middle blocker Nekoma itu masih memasang seringai di mukanya, mengangkat handphone di tangannya tinggi-tinggi, "Dia sudah menghubungiku, jadi sebaiknya aku pergi~ Jaa~"


"Hah? Hah?" Bokuto menerjap bingung melihat punggung sahabatnya yang menjauh. Mulutnya menggerutu, "Mana ada anak kucing yang bisa menghubunginya! Dasar pembohong!"


"..." Akaashi menghembuskan napasnya panjang. Ah, kalau sudah begini mood si Ace burung hantu ini pasti buruk. Benar saja, Bokuto sekarang menghentakkan kakinya dan menekuk mukanya—seperti bocah kecil yang kesal karena tidak dibelikan mainan dari ibunya.


"Memang apa, sih, yang dia lakukan?" Bokuto duduk dan memeluk lututnya sendiri, menggerutu kesal. Ia benar-benar tidak tahu sebenarnya apa 'urusan penting' yang disebutkan oleh Kuroo.


"Oh!!!"


Teriakan Bokuto membuat perasaan Akaashi tidak enak, entah mengapa. Apalagi, ketika si burung hantu itu mengangkat kepalanya. Menatap Akaashi dengan mata berbinarnya, "Akaashi, ayo kita ikuti Kuroo! Ayo kita lihat apa yang dia lakukan!"


"Bokuto-san, itu—"


Bokuto langsung berdiri, "Kalau yang dilakukannya tidak penting, kita harus menariknya untuk latihan! Hahahaha!"


"—adalah privasinya..." Akaashi melanjutkan.


Namun, terlambat. Bokuto tidak mendengar dan sudah berlari dari sana. Akaashi mendengus panjang dan mengelus dada, kemudian tidak lama mengikuti langkah kakak kelasnya itu; seperti baby sitter yang begitu pengertian dengan anak asuhnya.


•🦉•


"Bokuto-san..." Lelaki berambut hitam itu menyeru nama Bokuto sembari berjalan mendekat.


"Sst!" Bokuto meletakkan telunjuk di depan mulutnya, berbisik penuh penekanan, "Kemarilah..."


Akaashi mendengus napas panjang, berjalan menghampiri Bokuto yang tengah bersembunyi di balik dinding. Bokuto pun menunjuk ke arah jendela—yang menghubungkan dengan gudang tak terpakai di sana.


Di dalamnya, samar-samar terdengar dua orang sedang memiliki percakapan di dalam situ. Itu suara Kuroo dan...


"Kozume?" bisik Akaashi. Agak terkejut.


"Ya, itu Purin-kun. Kuroo berbohong soal anak kucing," Bokuto melipat tangannya sembari mengerucutkan bibirnya. Purin-kun adalah panggilannya untuk Kozume Kenma; karena memiliki rambut seperti pudding, katanya.


Akaashi tidak menjawab. Manik birunya itu tidak lepas dari kedua lelaki yang berada di dalam gudang itu, tampak berbincang dengan santai. Kuroo terkekeh beberapa kali, sedangkan Kenma masih memasang wajah tenangnya di dalam obrolannya.


Kalau hanya mengobrol... kenapa harus di situ? pikir Akaashi.


Ah. Perasaan Akaashi tidak enak. Ia langsung menepuk pundak kakak kelasnya, "Bokuto-san, rasanya kita harus pergi dari-"


"Ssst, lihatlah! Heh-?" Bokuto mengangkat alisnya ketika melihat si teman masa kecil Kuroo itu tiba-tiba memeluk erat Kuroo. Ah, sial. Wajah Akaashi memerah. Terlambat sudah.


"Apa yang mereka lakukan?" Bokuto memiringkan kepalanya ke samping. Akaashi menepuk dahinya dan mendengus panjang, mukanya sangat memerah.


Bokuto dapat melihat dari jendela itu. Kuroo menggendong tubuh mungil Kenma, membawanya ke arah meja yang ada di sana. Mereka saling berpandangan dengan tatapan sayu, tangan Kuroo perlahan memasuki kaos Kenma—mengusap punggung halus Kenma dengan perlahan.


Mereka saling berpandangan dengan tatapan sayu, tangan Kuroo perlahan memasuki kaos Kenma—mengusap punggung halus Kenma dengan perlahan.


"Kau yakin ingin melakukannya di sini?" Bokuto maupun Akaashi dapat mendengar Kuroo bertanya demikian.


"Aku... ingin. Soalnya Kuroo sibuk berlatih akhir-akhir ini..."


"Kenma kesepian? Manisnya~" Kuroo mengecup bibir teman masa kecilnya itu dalam satu lumatan—ah. Bukan sebatas teman kecil saja, pikir Akaashi. Ia sangat yakin hubungan dua orang itu lebih sebatas dari teman masa kecil.


Muka Akaashi bertambah merah padam, kaki dan tangannya bergetar. Rasanya seperti... melihat adegan porno tepat di depan matanya? Ya, seperti itu. Meskipun sangat malu, kakinya tidak bisa bergerak dari sana.


Ya, Bokuto-san juga berbinar matanya. Tampaknya penasaran dan ingin terus 'menonton'. Bagaimana Kuroo membawa lelaki bertubuh kurus itu ke atas meja. Membelainya, menciumnya, dan melepas bajunya.


"Ahhh... rhh... K.. kuroo!"


"Kenma..."


Suara decakan, desahan, dan erangan tertahan muncul dari mulut seorang Kozume Kenma. Kuroo mewarnainya dengan gerakan yang begitu terbiasa. Wajah Kenma begitu imut bagaikan anak kucing. Ya, dia adalah anak kucing yang dikatakan Kuroo. Anak kucing milik Kuroo Tetsuro.


•🦉•


Pada akhirnya, malam itu Bokuto dan Akaashi tidak berlatih voli. Keduanya berjalan sepanjang lorong tanpa berucap apa-apa, mungkin sama-sama masih shock dengan apa yang mereka lihat—atau lebih tepatnya, mereka tonton.


"Jadi..."


Jantung Akaashi mendadak berdegup sangat kencang ketika Bokuto memulai pembicaraan. Astaga, mengejutkannya saja.


"Mengapa Kuroo melakukannya dengan Kozume, ya?"


Mendengar apa yang dikatakan oleh Bokuto, Akaashi menangkapnya sebagai pertanyaan serius. Wajah, nada, dan cara memanggil nama Kenma membuatnya yakin barusan adalah pertanyaan serius dari Bokuto.


"Uhm," Akaashi mengambil napas sejenak. Apakah ia perlu menjelaskannya kepada sang kakak kelas soal hal ini? Bokuto-san bukanlah lelaki polos, meski ia memang lugu.


"Hal seperti itu memang bisa dilakukan oleh sesama lelaki, Bokuto-san..." Akaashi menjelaskan dengan nada tenangnya, meski sebenarnya jantungnya berdebar kencang. Ia tidak mau menjelaskan ini lebih jauh lagi.


"Oh..."


Mungkin mereka berhubungan juga, batin Akaashi melanjutkan. Ya, terlihat sekali Kuroo dan Kenma sudah terbiasa melakukan kegiatan itu. Tampaknya, keduanya sudah terikat dan memiliki hubungan cukup lama.


"Kupikir yang seperti itu hanya bisa dengan perempuan saja," Bokuto melipat tangannya, mengangguk-angguk mengerti, "Jadi—adegan-adegan di majalah dewasa itu bisa dipraktekkan dengan lelaki juga, ya?"


Akaashi tidak menjawab, pipinya agak merona. Entah mengapa, ia sangat kagum dengan kefrontalan kakak kelasnya yang membahas hal dewasa ini secara terang-terangan.


"Bagaimana rasanya, ya?" Bokuto mengerucutkan bibirnya dan menoleh ke arah lelaki berambut gelap berantakan itu, berharap si setter itu bisa memberikan jawaban atas rasa penasarannya.


"A... aku tidak tahu, Bokuto-san," Akaashi mengambil napasnya, agak gelagapan, "Aku tidak pernah mencobanya."


"Hm, souka," Bokuto kembali mengarah ke depan. Keduanya melangkah, melangkah, dan terus melangkah tanpa percakapan. Dan tiba-tiba saja, si pemilik nama kecil Kotaro itu berhenti.


"Bokuto-... san?"


"Akaashi," si burung hantu menyeru dan menoleh, menarik senyuman lebarnya, "Kau tidak penasaran rasanya?"


Akaashi mendeguk ludah, perasaannya tidak enak.


"Kita coba, yuk! Ayo kita coba apa yang baru saja Kuroo lakukan!"


Nah, 'kan.


To be Continued...

Report Page