01 :

01 :

sazelo


─ 230718 ─


Drrt ...! Drrt ...!

"Ck," decakan beralun nada kesal melesat keluar dari bibir seorang lelaki yang awalnya tengah tertidur pulas. Ya, awalnya. Sebelum dering ponsel merusak waktu tidurnya, memaksa untuk kembali terjaga.


Dengan kelopak mata setengah terbuka, Sazelo mengambil ponselnya dari atas nakas. Lantas, jarinya menggulir layar yang terdapat tampilan nama kontak serta ikon telepon hijau. Ia mengangkat telepon itu. "Apaan?"

"Hey, happy 1095 days together."

"Hah?"

Pelakon lain di seberang sana, Geno namanya, mendengus pelan sebelum memberi jawaban singkat kepada Sazelo. "Ini tanggal 20 Juli."


"Wait ... hah?!"


Geno menghela napas pelan. Sungguh, baginya wajar saja jika Sazelo agak lupa tanggal dan hari. Lelaki itu tengah dikejar tugas-tugas yang datang dari berbagai arah. Namun tetap saja, rasa kecewa cukup sulit ditahan.

"Iya, hari ini hari kita," jawab Geno pelan.

Sazelo menggigit bibir. "Err─ gue minta maaf."

"Gapapa, kalau lo hari ini sibuk. Gue maklumi kok. Kita ngerayain kecil-kecilannya bisa besok atau lusa atau kapan pun lo kosong aja. Santai."


Kening Sazelo mengerut. Ia terkikik geli sesaat. Terkesan sedih sekali ucapan Geno, padahal ia tidak memaksudkan berkata 'maaf' ke arah sana. "Bukan itu. Gue minta maaf udah lupa tanggal. Tapi, pas lo bilang ini tanggal 20 Juli, gue langsung ingat kok. Oh ya, happy 1095 days together too."

Selagi berbicara, Sazelo beranjak dari ranjang menuju pintu kaca yang membatasi kamarnya dengan balkon. Disibak olehnya tirai penutup, ia putar kunci yang terganjal di sana, lalu ia geser pintu kaca tersebut. Sepoi-sepoi angin malam menyambut sosoknya. Membelai lembut wajah rupawan sang pelakon, juga menusuk-nusuk kulit bagian tubuh yang terekspos.


Sazelo duduk di kursi rotan, buatan papanya. Pandangannya spontan tertuju pada petak kamar sang tetangga. Dapat dilihat oleh manik mata kepalanya, siluet seorang lelaki memegang ponsel di dekat telinga. Garis bibir Sazelo merekah, "Woy! Pakai mantel lo, terus ke balkon gih. Gue lagi di balkon."

"Dini hari gini banget?"

"Iya, banget."


Cklek!

Sazelo melongo. Rasanya ia meminta Geno untuk memakai mantel, tetapi lelaki itu justru membungkus diri dengan selimut. "Mantel lo ke mana? Gue tanya." Yang ditanya menyengir lima jari. "Gak tau ah malas cari. Biarin aja sih. Lo sendiri, mana mantel atau apa pun lo?"

"Cie perhatian,"

"Aw, apa sih yang enggak buat lo?"

Sazelo mendelik geli, "Stop, jijik."

Suara tawa khas Geno menggelegar kencang di tengah gelapnya dunia malam. Bahkan Sazelo sampai harus memberi peringatan agar tidak terlalu keras, takut mengganggu warga lain. "Heh! Suara lo itu dikondisikan." Geno terkikik sambil mengangguk-angguk.


"Eh gue lompat ke situ ya,"

"Hah? Biar apa lo begitu?"

"Biar gue bisa berbagi selimut."

"Ngapain? Gue juga punya kali."

Belum juga cibiran sekaligus pertanyaan Sazelo dibalas oleh Geno, lelaki Agustus itu sudah mulai melakukan aksi lompat-melompat ke balkon tetangga. Geno memang sering kali melakukannya, sebab jarak antara balkon mereka tidak terlalu jauh.


Kala kakinya menapak lantai balkon sang tetangga, Geno duduk di kursi rotan yang tidak ditempati. Ia membalut lelaki yang lebih tua dengan selimut tebal bergambar anak anjing menggemaskan. "Biar lo gak kedinginan," tutur Geno. Pada akhirnya membalas pertanyaan Sazelo beberapa menit lalu.

"Iya. Tapi, gue punya selimut sendiri."

"Terus kenapa? Begini lebih nyaman."

"Aneh lo."

"Iya, aneh."

Sazelo menggeleng. Netra kelamnya melirik ke arah lain, selagi merasakan kehangatan dari suasana yang tercipta. Senyum kecilnya terbit perlahan. Ia akui, memang jauh lebih nyaman dibanding bergelung dalam selimut sendirian. Padahal, ia bukan tipe yang suka bersentuhan dan terlalu berdekatan dengan orang lain.


Ah, Geno bukan orang lain bagi Sazelo.

Report Page